Mengenang Prof Muladi (26 Mei 1943-31 Desember 2020)

Oleh Bambang Sadono

Tahun 2019 menjadi tahun yang sibuk bagi Prof. Dr. Muladi SH.  Sebagai Koordinator Tim Ahli Pemerintah dalam Perumusan Rancacangan Undang-Undang (RUU) Kitab undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP), ia merasa ikut bertanggjawab ketika banyak kritik, bahkan demo besar-besaran yang menyebabkan pengesahan RUU tersebut ditunda.

“Mudah mudahan DPR segera bisa mengesahkan undang-undang yang sudah ditunggu puluhan tahun,” kata guru besar Hukum Pidana di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, yang di Surakarta, 26 Mei 1943 ini.

Bagi Muladi, RUU KUHP ini sudah yang terbaik dan mampu menggantikan KUHP produk kolonial yang sekarang masih dipakai. Sebenarnya gagasan membuat KUHP yang baru sudah muncul sejak tahun 1963, dengan diselenggarakan seminar nasional di Universitas Diponegoro, Semarang. Para penggagasnya antara lain Prof. Sudarto, SH, Prof Oemar Seno Aji, SH, Prof. Roeslan Saleh, SH. Prof. Dr. Muladi, SH adalah mahasiswa dari para guru besar tadi.

“Sejak awal, saya sudah diarahkan Prof. Sudarto untuk fokus di soal KUHP. Bayangkan ini ide lama yang sudah melewati 7 presiden,” kata mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 1986-1991 ini.

Sebagai guru besar Hukum Pidana, Muladi merasa malu, bertahun-tahun mengajarkan produk hukum kolonial. Terlebih usia KUHP bikinan Hindia Belanda ini sudah 101 tahun. Pertama kali diberlakukan pada 1 Januari 1918 untuk wilayah Hindia Belanda. Saat itu hukum Belanda mewarisi hukum Perancis yang menjajah Belanda di era itu.

“Sekarang di Belanda sudah tidak pakai lagi, sudah banyak berubah. Sedangkan kita masih pakai,”ujar Muladi yang pernah menjadi Anggota Komnas HAM 1993-1998 ini.

Kelebihan RUU KUHP

Dari segi kualitas legislasi, bahkan pertanggungjawaban akedemisnya, RUU ini menurut Muladi bisa dipertanggungjawabkan. Kemungkinan karena kurangnya komunikasi dan sosialisasi mengakibatkan   munculnya gelombang demonstarasi menolak  RUU ini.

Pertanggungjawaban akademis tersebut bisa dilihat pada Buku I RUU ini yang berisi, filsafat, teori, dan konsep Hukum Pidana yang sama sekali berbeda dengan yang ada pada KHUP lama peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Kalau ada kontroversi itu karena materi perumusan tindak pidana di Buku II yang memang secara sosial politik bisa diperdebatkan sesuai kepentingan dan aspirasi masing-masing.

“Dari banyak pasal yang diperdebatkan itu kalau dijelaskan dengan baik, dikaitkan dengan berabagi teori dan argumentasinya, sebenarnya akan lebih mudah dimengerti masyarakat,” kata Mantan Rektor Undip 1994-1998 ini.

Kelebihan RUU KUHP sekarang, seperti yang dimuat dalam Buku I, filosofi berubah, hukum pidana yang semula hanya fokus pada perbuatan menjadi hukum pidana yang mempertimbangkan orang, baik pelaku maupun korban. Kriminalisasinya, untuk menyatakan perbuatan sebagai tindak pidana, dilakukan sangat hati-hati. Diperketat, dan harus jelas ada korbannya. Ketiga, konsep pidana dirumuskan dengan jelas. Tujuan pidana dirumuskan antara lain mencegah pidana, mencegah konflik, penyelesaian masalah. Kemudian hakekat pidana tidak boleh merendahkan martabat manusia. Dalam Rancangan UU KUHP memiliki pedoman 8 pedoman pemidanaan, yang memberi panduan bagi hakim dalam menjatuhkan vonis, sehingga mengurangi disparitas pidana atau perbedaan vonis antar hakim yang terlalu jauh.  

Sedangkan dalam Buku II dilakukan konsolidasi hukum pidana, selain RUU KUHP ini memperbaharui peraturan yang ada di KUHP lama, juga memasukkan hukum-hukum pidana di luar KUHP lama. Terutama hukum pidana yang tidak didahului oleh hukum administratif, contohnya hukum perlindungan anak dan perempuan, kejahatan korporasi dan sebagainya. Maka wajar bila jumlah pasal di RUU KUHP ini sebanyak 726 pasal. Sementara KUHP yang berlaku sekarang 589 pasal.

Karena itu untuk memahami perubahan yang mendasar, orang harus baca Buku I. Karena itu membongkar KUHP kolonial, mulai dari filosofi, pedoman-pedoman terhadap kriminalisasi, tujuan dan hakekat pidana. Buku satu ini yang melandasi buku dua.

“Sementara yang banyak diperdebatkan di publik adalah pasal-pasal di Buku II,” kata Menteri Kehakiman, Maret-Mei  1998 tersebut.

Sosialisasi Kurang

Kata kunci keberhasilan perumusan undang-undang menurut Muladi terletak pada sosialisasinya. Bahkan  RUU KUHP setelah disahkan, diberikan masa tenggang sampai 2 tahun. Dibutuhkan waktu untuk memahami dan menyesuaikan dengan ketentuan pidana yang baru tersebut. Memang ada doktrin bahwa semua warga negara dianggap otomatis tahu materi undang-undang, setelah secara sah diundangkan.

“Namun dalam praktek kenyataannya tidak seperti itu, tetap butuih sosialiasi yang massif, agar benar-benar dimengerti,” kata mantan Menteri Sekretaris Negara pada masa Presiden Habibie 1998-1999 ini.

Penjelasan mengenai materi undang undang perlu dilakukan baik oleh pemerintah maupun DPR. Tim ahli sudah mendampingi pemerintah mendiskusikan RUU KUHP ini dengan DPR sekitar empat tahun. Seminar yang dilakukan untuk membahas secara ilmiah materi sudah ratus kali. Maka wajar saja, kalau tidak mudah bagi masyarakat awam untuk mengikuti logika undnag-undang itu, jika tidak disertai penjelesan yabg memadai.

“Bahkan penolakan tidak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga negara luar , yang merasa kepentingannya terganggu,” kata mantan Gubernur Lemhannas 2005-2011 ini.  

Delik perzinahan yang banyak diperdebatkan misalnya, menurut MUladi dalam RUU ini dinyatakan sebagai deil aduan. Artinya tidak akan bisa diproses secara hukum jika tidka ada yang mengadu, dan dibatasi hanya keluarga yang bersangkutan yang bisa mengadu.

Penghinaan Presiden

Mengenai pasal penghinaan kepala negara yang diprotes karena dianggap menghidupkan kembali pasal otoriter, Muladi menjelesakan bedanya dengan pasal yang sama pada KUHP yang berlaku sekarang. Pasal penghinaan yang dirumuskan sebagai kegiatan yang merendahkan harkat dan martabat presiden yang diambil dari pasal penghinaan raja di Negeri Belanda, pada RUU KUHP dirumuskan sebagai delik material, bukan sekadar delik formal. Artinya penghinaan itu diberi syarat, menimbulkan kerusuhan di masyarakat. Jika persyaratan itu tidak dipenuhi maka tidak memenuhi sebagai delik yang bisa dipidana. Selain itu ini juga delik aduan, hanya presidn sendiri yang bisa mengadu pada penyidik.

“Menghina itu sifatnya ofensif, merendahkan, destruktif, dan belum tentu benar. Tujuannya memang merusak martabat,” kata Ketua Tim Permus Revisi KUHP tersebut.

Banyak hal lain yang bisa dijelaskan, misalnya mengenai hubungan KUHP dengan UU Pers, UU Narkotika, UU Antikorupsi, UU Terorisme, dan sebagainya. Secara prinsip KUHP hanya mengatur pidana yang bersifat umum. Sedangkan pidana khusus mengikuti undang-undang  yang mengatur secara khusus, bahkan bukan substansi pidananya, tetapi juga soal hukum acaranya.

Puluhan Tahun

Muladi mengawal reformasi KUHP ini sejak muda. Mulai tahun 1980 itu sudah mulai terlibat. Setelah menyelesaikan pendidikan doktoirnya di Universitas Pajajaran tahun 1984, jadi semakin aktif.  Bahkan dari awal disertasinya sudah diarahkan ke perubahan KUHP.  Ketika senior sekaligus mentornya Prof Soedarto meninggal tahun 1986, Bersama dengan koleganya  Barda Nawawi Arif, Muladi meneruskan mengawal upaya pembaruan KUHP ini. Sampai saat menjadi Dekan 1986, kemudian menjadi Rektor Undip 1994, bahkan langsung terlibat saat menjadi Menteri Kehakiman tahun 1997.

Bahkan sebagai Ketua Tim Perumus RUU KUHP, meneruskan posisi Prof. Soedarto, yang kemudian beralih ke Prof. Ruslan Saleh, kemudian ke Prof. Boy Mardjono dari UI, kemudian Muladi juga menjadi Ketua Tim RUU KUHP. RUU itu muncul lengkap dan dikirim ke DPR RI pada era Presiden SBY.  Ketika menterinya dari Yusril Ihza Mahendra sampai Andi Matalata.  Tapi macet waktu itu, padahal sebenarnya sudah masuk di Prolegnas prioritas.   Saat Presiden Jokowi, tahun 2015 dikirimkan lagi.

Sampai akhir hayatnya Prof. Muladi masih mengajar Hukum Pidana di beberapa program Pascasarjana, dan menjadi piembimbing para calon doktor, baik di Universitas Diponegoro maupum Universitas Semarang.

“Saya percaya, RKUHP ini akan segara disahkan DPR,” kata  ketua Pembina Yayasan Alumni Undip yang menaungi Universitas Semarang ini.

Bambang Sadono, mantan Ketua PWI Jawa Tengah dan Sekjen PWi Pusat. Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Suara Merdeka, dan mantan pemimpin redaksi Suara Karya. Lulusan Fakultas Hukum Undip 1983, lulus Magister Hukum 1991, dan lulus doktor Hukum 2009. Pembimbingnya saat menempuh program Magister maupun promotornya saat menempuh program Doktor adalah Prof. Muladi.