Oleh: Novi Kurnia
JawaTengah.Online — “Anaknya jatuh dan nangis kok dibiarkan, malah videonya diunggah di media sosial. Bukannya anaknya ditolong, kasihan, pasti malu nanti kalau lihat videonya sendiri”, komentar warganet atas postingan video seorang ayah tentang anak balitanya di sebuah media sosial.
Video atau komentar seperti itu sering kita temukan di media sosial sebagai praktik berkeluarga dan berinteraksi di era digital. Banyak orangtua berbagi informasi mengenai anak di media sosial dengan mengunggah momen-momen keseharian anak.
Tulisan ini mendiskusikan persoalan sharenting sebagai kebiasaan orangtua berbagi informasi anak di media sosial. Sharenting berasal dari paduan kata share yang artinya berbagi dan parenting yang artinya pengasuhan anak. Sharenting merupakan aktivitas orangtua berbagi informasi anak baik yang berupa tulisan, foto maupun video di media sosial yang berlebihan dan cenderung membahayakan anak.
Selain berpotensi menganggu hak anak, sharenting juga membuka kesempatan bagi pengguna media sosial lainnya untuk menyalahgunakan informasi tersebut. Dengan begitu, ada kewajiban orangtua untuk menggunakan media sosial secara bijak untuk melindungi data diri anak di dunia maya.
Manfaat dan Kerugian Sharenting
Membicarakan anak adalah kegiatan menyenangkan bagi orangtua termasuk berbagi informasi mengenai anak di media sosial yang memberikan ruang berbagi tulisan, foto maupun video anak dengan cepat dan mengatasi persoalan jarak.
Dalam survei daring mengenai sharenting yang saya lakukan tahun 2018 terdapat lima motivasi orangtua berbagi informasi anak di media sosial: menyimpan dokumen anak, menunjukkan proses tumbuh kembang anak, menunjukkan kasih sayang terhadap anak, menunjukkan rasa bangga terhadap anak, serta mendapatkan dukungan sosial dari keluarga maupun teman. Survei tersebut melibatkan 269 responden yang terdiri dari 83,64% perempuan atau ibu dan 16,36% laki-laki atau ayah.
Jika dilihat manfaatnya, survei tersebut menunjukan beberapa manfaat sharenting: mempermudah berhubungan dengan keluarga dan teman, menyadari peran saya sebagai orangtua, merasakan dukungan sosial, dan mendokumentasikan perkembangan anak. Sayangnya manfaat tersebut lebih dirasakan oleh orangtua ketimbang anak.
Survei yang sama ternyata juga menunjukkan kesadaran orangtua bahwa sharenting juga bisa menimbulkan kerugian yang dirasakan oleh anak: mengganggu privasi anak, menyebabkan anak menjadi malu, menyebabkan anak mendapatkan penilaian negatif, mengundang pelecehan terhadap anak, dan mengundang potensi kejahatan terhadap anak.
Pertimbangan untuk menghindari Sharenting
Untuk menghindari kerugian yang membahayakan anak, tentu saja orangtua perlu mempunyai berbagai pertimbangan untuk menghindari sharenting.
Pertama, tidak semua informasi mengenai anak akan bermanfaat bagi orang lain. Misalnya saja, saat kita mengunggah video anak yang sedang marah-marah dan ngambek karena tidak mau makan, maka selain informasinya kurang bermanfaat buat orang lain, justru kita malah bisa mempermalukan anak di media sosial.
Kedua, tidak ada informasi tentang anak yang benar-benar terlindungi privasinya meskipun kita sudah mengatur setelan privasi media sosial kita. Selain itu, apapun unggahan kita mengenai anak meskipun sudah dihapus namun rekam jejak digital anak bisa dianggap bersifat permanen.
Ketiga, informasi mengenai anak adalah milik anak sekalipun kita orangtuanya. Oleh karena itu sangatlah penting kita meminta persetujuan anak jika ingin berbagi informasi tentangnya. Jikalau anak belum cukup umur untuk dimintai pertimbangan, sebagai orangtua, kita harus memprioritaskan kepentingan anak.
Keempat, informasi mengenai anak bisa disalahgunakan oleh pengguna media sosial lainnya yang berniat jahat. Misalnya saja foto anak bisa dimanfaatkan untuk kepentingan imaginasi seksual para pedofil, komersialisasi, maupun penculikan.
Perlukah melindungi data pribadi anak di media sosial?
Banyak orangtua yang beranggapan bahwa mengunggah informasi tentang anak adalah hak orangtua terhadap anaknya termasuk membagikan data pribadi tentang anak. Namun, mereka lupa bahwa perlindungan data pribadi anak juga merupakan tanggungjawab orangtua.
Sama halnya dengan data pribadi orang dewasa, data pribadi anak bisa berupa data umum dan data khusus. Data umum misalnya nama, kewarganegaraan, tempat tanggal lahir, nama orangtua, alamat rumah maupun alamat sekolah. Sedangkan data khusus misalnya data kesehatan anak.
Berbagai jenis data anak ini biasanya dipegang oleh orangtuanya, sehingga kelalaian untuk membagikannya di media sosial bisa mengundang resiko untuk anak. Misalnya saja kita sering menggunggah foto anak berikut informasi mengenai nama anak dan alamat rumah secara lengkap di media sosial. Di saat yang lain, kita membuat status tentang kangen anak karena sedang bekerja di luar kota. Orang yang berniat jahat dan mengikuti unggahan kita di media sosial bisa menyimpulkan bahwa anak sedang di rumah tanpa orangtua meskipun mungkin dengan anggota keluarga yang lain atau asisten rumah tangga. Informasi seperti ini bisa menjadi pintu masuk penculikan anak. Bahaya lain yang mungkin muncul adalah pelecehan anak maupun penjualan anak.
Oleh karena itu penting sekali kita sebagai orangtua untuk selalu mawas diri dalam berbagi informasi dan data pribadi anak di media sosial. Orangtua perlu memastikan beberapa hal sebelum mengunggah informasi anak di media sosial: persetujuan anak, manfaat berbagi informasi mengenai anak, rekam jejak digital anak, data pribadi anak dan mitigasi resiko terhadap potensi yang bisa membahayakan anak. Kewaspadaan orangtua ini sangat penting sebab menjaga dan melindungi anak di dunia maya sama pentingnya dengan menjaga dan melindungi mereka di dunia nyata.
*Novi Kurnia adalah Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM dan juga Koordinator Jaringan Pegiat Literasi Digital Indonesia (Japelidi)