Oleh: Ni Made Ras Amanda G

JawaTengah.Online — Kelompok Percakapan Digital adalah kelompok masyarakat yang berbasis pada aplikasi percakapan seperti pada platform whatsapp yang dikenal dengan WAG atau melalui platform percakapan lainnya. Platform percakapan ini adalah platform yang menjadi favorit para pengguna internet.

WhatsApp pada November 2020 mencatat penggunanya mencapai 2 milliar pengguna di dunia. Whatsapp juga mencatat dalam satu hari terdapat 100 miliar pesan setiap harinya. Angka ini meningkat dua kali lipat dibandingkan pada tahun 2014. Indonesia bahkan menjadi negara keempat terbesar yang menggunakan platform whatsapp setelah India, Brazil dan Jerman. Tercatat 4 dari 10 orang di Indonesia menggunakan aplikasi ini.

Tingginya peredaran pesan di platform whatsapp mendorong tingginya peredaran informasi bohong atau hoaks. Sebenarnya whatsapp telah melakukan beberapa langkah agar penggunanya tidak termakan hoaks. Salah satunya adalah membatasi penerusan pesan hanya pada 5 akun saja. Whatsapp menyatakan, langkah ini telah mengurangi jumlah pesan yang diteruskan lebih dari 25 persen.

Namun hoaks tetap beredar luas di WAG, terutama di WAG berbasis keluarga. Siapa penyebarnya? Menurut Buzzfeed, golongan penyebar hoaks paling besar adalah warga usia 65 tahun ke atas dengan angka mencapai 11 persen dari pengguna di kelompok usia ini. Apabila dibandingkan dengan usia 18 hingga 29 tahun, hanya 3 persen yang menyebarkan hoaks. Hal ini disebabkan beberapa hal di antaranya kurang memahami karakteristik dan layanan platform, menurunnya tingkat kognitif, hingga kurang mampu mendeteksi kebenaran dari informasi yang diteruskan oleh mereka.

Hal ini dapat dikarenakan pengguna usia di atas 65 tahun tergolong pada digital immigrant. Digital Immigrant adalah mereka yang tumbuh dengan mengkonsumsi informasi dari media massa konvensional sehingga kerap kali dinilai masih gagap secara digital. Berbeda dengan usia yang lebih muda yang lebih adaptif dengan perkembangan teknologi informasi atau dikenal sebagai digital native.

Seringkali anak muda menyaksikan salah satu anggota keluarganya menyebarkan hoaks. Namun mereka memilih untuk diam dan tidak berkomentar. Hal ini disebabkan banyak hal. Salah satu faktor terkuat adalah faktor budaya menghormati yang lebih tua. Sistem sosial di Indonesia masih termasuk pada sistem hierarkis berdasarkan usia atau senioritas. Sehingga ada keseganan anak muda untuk membenarkan informasi hoaks yang disebarkan oleh para orang tua mereka. Untuk itu mereka memilih diam tidak berkomentar.

Indonesia memiliki jumlah angkatan muda produktif yang tinggi. Data pada awal 2021 dari agensi pemasaran media sosial, we are social, mengungkapkan bahwa dari 274 juta jiwa di Indonesia titik tengah berada di usia 29,9 tahun. Angka ini tergolong muda dan produktif.  Dari sumber yang sama juga diketahui bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 202,5 juta jiwa atau sekitar 73 persen dari jumlah penduduk Indonesia dengan jumlah pengguna media sosial mencapai 170 juta jiwa.

Ironisnya, pada akhir Februari netizen Indonesia disebutkan sebagai netizen yang memiliki tingkat etika yang rendah. Ini adalah hasil riset tahunan dari Microsoft yang cukup membuat netizen Indonesia berreaksi. Dalam rilisnya, Microsoft menyatakan kesimpulan rendahnya digital cizilitation index di Indonesia dikarenakan tingginya angka hoaks atau informasi bohong di Indonesia yakni mencapai angka 47%.

Di sini maka harapan menciptakan dunia digital yang sehat dan beradab di Indonesia, berada di pencegahan dan penanggulangan hoaks tersebut. Kemudian anak muda adalah pihak yang mampu menjadi garda terdepan dalam melawan penyebaran hoaks yang kian massif. Anak muda yang lebih adaptif terhadap kemajuan teknologi memiliki kecenderungan lebih mudah mendeteksi informasi yang beredar adalah informasi yang benar atau tidak. Namun harapan ini terhambat pada keengganan anak muda untuk menjelaskan atau berkomentar terhadap informasi salah yang disebarkan keluarganya yang lebih tua.

Kini saatnya anak muda untuk berani mengambil peran tidak hanya menjadi “silent reader” di wag-wag khususnya WAG berbasis keluarga. Mari anak muda, mulailah dengan beranggapan apakah kita hanya akan diam saja melihat keluarga kita, om, tante kita jatuh ke dalam lubang? Terjebak dalam informasi salah yang menyebabkan ketakutan berlebihan atau persepsi yang salah akan sesuatu? Berkomentar langsung  memang tidak mudah, kerap dinilai tidak sopan atau lancang.

Untuk itu terdapat beberapa cara untuk membantu pelurusan informasi yang salah di WAG. Pertama walau diketahui bahwa informasi itu salah, kita tidak langsung mengomentari bahwa informasi tersebut hoaks. Namun dapat bersama-sama mengidentifikasi apakah informasi itu tergolong hoaks atau bukan. Hal ini kemudian dimulai dengan menanyakan dari mana mendapatkan informasi tersebut? Lalu dilanjutkan dengan memberikan informasi serupa yang mencounter informasi sembari menanyakan kira-kira mana yang benar? Biarkan mereka yang menyatakan dan menemukan bahwa informasi yang mereka terima adalah informasi yang salah. Dengan ini kita masih dapat menjaga nama baik mereka dan mengajarkan secara tidak langsung bagaimana mengidentifikasi dan memverifikasi informasi yang diterima.

Jadi anak muda? Kenapa tidak kalian coba untuk dapat lebih berperan dan membantu membangun ruang digital yang lebih sehat melalui kelompok terkecil yakni keluarga kita sendiri. Mungkin ini hal sederhana namun diyakini hal sederhana yang kita lakukan akan menyelamatkan seseorang. Mari anak muda kita mulai berani demi keadaban ruang digital di Indonesia. Gunakan kekuatan netizen Indonesia untuk hal yang positif.

* Ni Made Ras Amanda G adalah dosen Universitas Udayana dan penggiat Japelidi