Oleh Bambang Sadono

JawaTengah.Online — Ketika saya mengadakan live streaming untuk mengenang almarhum dokter Bimo Bayuadji, koleganya juga, dokter Imam Budiwiyono masih menyatakan siap untuk bergabung. Namun Ketika acara itu akhirnya berlangsung, 19 Juni 2021, dokter Imam tidak muncul. Saya fikir mungkin ada kegiatan lain yang tidak bisa ditinggalkan.  

Sejak sama-sama menjadi wartawan Suara Merdeka, saya dengan kode S-10, dan dokter Imam dengan kode S-11, kami sering bertemu dalam urusan kesehatan. Dokter Imam bertangan dingin, setidaknya bagi saya dan keluarga, isteri, anak, bahkan sampai ke cucu. Saya dibantu sejak sering kolik karena kencing batu, sampai ketika ada masalah liver, dan saya diberi obat Cina, yang setiap kali minum 10 butiran kecil berwarna kuning.

Tanggal 20 Juni saya kontak karena ingin memeriksakan anak bungsu saya, karena khawatir, kakaknya yang sebelumnya juga diperiksa dokter Imam, ternyata positif covid 19. Jawabannya melalui WA mengejutkan saya, “maaf saya tidak praktek mala mini, PCR saya positif, dan saya isolasi mandiri,” tulisanya. “Kok bisa Dok ?” balas saya. “Resiko dokter,” balasanya dengan emoji tertawa.

Setelah itu komunikasi terputus, saya hanya bisa mengkontak putrinya dr. Raissa, dan putranya Yoan. Keduanya mengkonfirmasi bahwa dokter Imam dirawat di ICCU. Saya menanyakan dua tiga kali perkembangan kesehatannya, sampai akhirnya Rabu malam, 30 Juni 2021, sekitar pukul 20.00 diberitahu bahwa  dokter, wartawan, dan pejuang ini telah wafat.

Merawat Isteri Covid

Saya dan keluarga merasa sangat berhutang kepada almarhum, karena bantuannya merawat kesehatan kami, bahkan pada hari Minggu atau hari libur, asal ada di rumah, kami pasti diterima, kalau tidak di rumah saya biasa konsul lewat telepon. Yang tidak mungkin kami lupakan, adalah saat isteri saya terpapar covid, Agustus 2020. Betapa kami panik, karena harus mengambil keputusan yang tidak mudah. Banyak yang menyarankan agar masuk ke rumah sakit saja, tetapi beberapa dokter termasuk dokter Imam menyarankan, lebih baik isolasi di rumah saja.

Dilemanya, kami hampir sepakat masuk rumah sakit. Tetapi isteri saya mengajukan syarat harus ada yang menunggu, masalahnya tidak ada RS yang mengizinkan pasien covid untuk ditunggu. Akhirnya saya meminta bantuan dokter Imam untuk menjelaskan pertimbangannya, kenapa lebih baik isolasi mandiri. Isteri saya bisa menerima saran itu, tetapi minta syarat agar dokter Imam berkenan menengok setiap hari.

Di luar dugaan dokter Imam setuju, dan persoalan kami terpecahkan. Dokter Imam tidak hanya menjenguk dan memeriksa keadaan isteri saya setiap hari, tetapi sekaligus juga membawakan obat Cina Lianhua, yang sekali minum harus 4 kapsul, selain obat resep yang lain. Juga membawakan madu, dan racikan minyak kayu putih yang keras untuk merangsang penciuman yang hilang. Sekitar 10 hari dokter Imam tidak pernah absen, mulai dari menengok dari luar kamar hanya pintu yang terbuka, sampai akhirnya isteri saya dinyatakan negatif.

Dokter Pejuang

Sebagai wartawan dokter Imam tidak terlalu produktif seperti dokter Bimo, Namun kalau ke kantor selalu dikerubuti oleh para wartawan, redaktur, atau karyawan lain, untuk konsultasi dan minta resep. Banyak yang merasa cocok, dan sembuh jika diobat dokter Imam. Sebagai dokter sangat komunikatif dan kepeduliannya sangat tinggi.  

Selain sebagai dokter, aktivitasnya yang lain di organisasi sosial, terutama Agama Budha. Dokter Imam sangat aktif melayani kegiatan umat Budha di Semarang, bahkan di Jawa Tengah. Ia sangat dekat dengan pengurus kelenteng-kelenteng di Jawa Tengah. Saya dan isteri pernah diajak di Kelenteng Gedung Batu Semarang, untuk sekadar menebak jenis kelamin sang bayi, ketika iteri saya hamil yang terakhir. Dokter Imam melihat kegalauan isteri saya karena tiga anaknya perempuan, dan yang terakhir itu mengharap agar yang dikandungnya bayi laki-laki.

Ketika saya menjadi ketua Partai Golkar Jawa Tengah, dokter Imam menjembatani keinginan Kelenteng Blora, yang gedung dan lahannya dipakai untuk kantor Partai Golkar Blora. Akhirnya persoalan selesai, Partai Golkar Blora membangun kantor sendiri, dan gedung Kelenteng Blora kembali ke pemiliknya. Bukan itu saja, saya juga pernah menyaksikan bagaimana dokter Imam menengahi ketika ada beberapa fihak yang memperebutkan pengelolaan rumah ibadah Budha di Semarang.

Dokter Imam Budiwiyono telah pergi, pasti banyak yang mempunyai kenangan tak terlupakan atas tangan dinginnya, termasuk saya dan keluarga. Salah satu yang ironis, almarhum berjuang keras membantu para pasien covid, tetapi dia sendiri akhirnya menjadi korban virus covid itu sendiri.  Sebagai seorang dosen Fakultas Kedokteran Undip juga dekat dengan berbagai kalangan, kami semua menjadi saksi bahwa almarhum adalah dokter, wartawan, tokoh masyarakat yang baik dan berdedikasi tinggi.

Semarang, 30 Juni 2021.