ANALISIS BUDAYA AKTUAL

Oleh Bambang Sadono

JawaTengah.Online — Tanggal 15 Agustus 2020 ini adalah 100 hari meninggalnya maestro Campursari Didi Prasetyo, atau yang lebih dikenal dengan nama populernya Didi Kempot. Dalam tradisi Jawa, bagi orang yang dihormati, maka yang ditinggalkan terutama keluarganya, akan melakukan apa yang disebut dengan mikul dhuwur dan mendhem jero. Artinya mengangkat tinggi-tinggi, dan mengubur dalam-dalam. Mengingat ingat kenangan yang serba baik, dan melupakan berbagai kesalahan dan kekurangannya. Karena manusia memang tidak ada yang sempurna.

Di sisi kreatif, sebagai penyanyi dan pencipta lagu, banyak yang menilai Didi Kempot sudah mencapai puncaknya, karenanya layak menyandang gelar maestro. Bahkan ada yang menyimpulkan ia layak menerima penghargaan itu karena merupakan anugerah yang turun dari langit.

Bagaimana kehormatan itu bisa dicapai, budayawan Jaya Suprana mengatakan sikap ketulusan dalam berkarya Didi Kempotlah yang akhirnya mengantarkannya ke puncak karir sebagai penyanyi dan pengarang lagu Campursari hebat di Indonesia. Ternyata ketulusan yang menjadi karakter utama Didi Kempot bukan hanya di bidang kreatif penciptaan dan pembawaan lagu lagunya. Namun juga ketika mengikhlaskan karya dan didikasinya diberikan untuk kepentingan sosial. Bahkan Jaya juga menyebut sampai mewakili aspirasi sosial politik masyarakat.

Bupati Ngawi Budi Sulistiyono Kanang yang mengenal Didi Kempot sejak muda menandainya sebagai orang yang sangat sederhana mulai dari cara berpakaian, gaya bicara, dan perilaku lainnya. Maka banyak yang tidak mengira, kalau Didi Kempot akhirnya menjadi figur yang begitu popular dan dikenal di mana mana.

Kalau sudah bicara Ngawi , Didi Kempot sudah tidak ada ukurannya, kata Bupati Kanang. Pernah suatu kali di Jakarta, ketika Bupati mau mengumpulkan komunitas orang Ngawi, waktu itu hanya ada uang Rp 5 juta. Mungkin buat tiket crew, pas pasan. Walaupun demikian, Didi Kempot tetap siap akan membantu menghibur masyarakat Ngawi yang ada di ibukota.

Banyak orang yang mengenal Didi Kempot sebagai orang baik. Ketulusannya tidak hanya saat mencipta lagu yang dihayatinya sepenuh hati. Tetapi juga dalam menjalani hidup sehari hari. Pengacara dan sahabatnya, Yusroni meyebutnya orang yang humble. Sejak sebelum banyak dikenal, sampai di puncak keartisannya, ia tetap sederhana, bisa diajak bicara dan bergaul dengan siapa saja. Masih tetap mau makan di pinggir jalan, di Warung Tegal juga tidak jadi masalah.

Seorang dosen Prodi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Heri Priyatmoko  menandai bahwa Didi Kempot adalah tokoh yang dianggap berhasil merawat dan menyemangati komunitas Jawa di Suriname. Bukan hanya menyanyi, dengan sentuhan lagu lagunya, bahkan dianggap sebagai saudara yang datang dari tanah Jawa. Kedatangan Didi Kempot pentas ke Suriname dimaknai sebagai momentum niliki sedulur lawas. Dalam konsep kebudayaan Jawa, realitas sosial ini merupakan bukti historis betapa orang Jawa ora kepaten obor alias tidak kelangan alur pasedulurane.

Dosen di Etnomusikologi, Institut Kesenian Jakarta, Ribeth Nurvijayanto bahkan mencatat kepergian Didi Kempot juga akan menjadi momentum bagi para seniman musik pop Jawa untuk mengeksplorasi dan mengkomodifikasi “kesedihan”. Para musisi lokal, penyanyi campursari, atau dangdut, media, hingga tempat karaoke masih bisa memanfaatkan karya-karya Didi Kempot sebagai ladang uang mereka. 

Ternyata Didi Kempot tidak hidup sendiri menikmati jerih payahnya, dia tidak sekedar hidup untuk musik dan sebaliknya, tetapi juga telah menghidupi orang-orang yang berada di ekosistemnya, bahkan lebih dari itu. Didi Kempot, musik Campursari,  dan orang-orang di lingkarannya saling berkelindan merajut sebuah ekosistem.

Salah satu bukti ketulusannya dalam berempati pada masyarakat yang sedang menderita karena pandemi corona adalah ketika menggagas Konser Amal dari Rumah, bersama Kompas TV, Sabtu 11 April 2020. Dalam konser tersebut berhasil mengumpulkan Rp 5,3 Miliar, kurang dati sebulan sebelum ia meninggal. Konser dari rumah tersebut, dibuka dengan “Stasiun Balapan”, salah satu lagu andalannya. Kemudian menyusul lagu “Layang Kangen” dan “Suket Teki”. Ia juga membantu pemerintah dalam konser tersebut dengan menyampaikan pesan kepada masyarakat yang di perantauan agar tidak mudik. Untuk itu juga dinyanyikan lagu yang diciptakan khusus untuk itu,“Ora Iso Mulih”.

Ketulusan dan keihklasan Didi Kempot inilah yang kemudian juga mensihir masyarakat luas, khususnya para penggemarnya, yang akhirnya tergugah untuk mengulurkan tangan membantu saudaranya yang terdampak oleh pandemi corona. Ternyata tidak mudah untuk melakukan hal seperti ini. Tidak semua orang bisa dan mau. Yang mau belum tentu bisa, bahkan dilakukan oleh tokoh yang punya nama besar sekalipun.

Dibutuhkan tokoh panutan, yang bisa membangun frekuensi yang sama dengan orang banyak. Tokoh yang dipercaya karena ketulusannya. Tokoh yang dipercaya karena kesederhanaannya. Bukan tokoh yang punya pamrih, walaupun sekadar untuk membangun citra. Ketulusannya yang membuat orang percaya, simpati, dan ikhlas mengikutinya. Ketulusan telah menggetarkan ketulusan yang lain yang juga masih banyak tersimpan dan terpendam di lubuk hati masyarakat yang terdalam.

2 Agustus 2020