Oleh: Asfira Rachmad Rinata, M.Med.Kom
JawaTengah.Online — Fenomena menjadi seorang penggemar bukan jadi hal baru saat ini, terlebih di era digital. yang mana kemudahan tersebut di dukung dengan teknologi internet yang semakin canggih. Saat ini untuk mengidolakan seseorang bintang dan menjadi penggemar akan sangat mudah karena kemudahan akses yang didapat melalui kegiatan berselancar di dunia maya. Salah satu contoh fenomena pengemar di media sosial yang sangat tinggi yakni menjadi penggemar Kpop karena terpaan dari Gelombang Korea atau yang sering di kenal sebagai korean wave / hallyu.
Popularitas Korean wave atau yang lebih dikenal dengan Hallyu awalnya bekembang di negara Asia Timur lalu menjadi populer di seluruh dunia hingga ke Indonesia. Perkembangan budaya Korea saat ini sangat populer di kalangan remaja dan dewasa baik perempuan ataupun pria dari usia belasan tahun hingga tiga puluhan tahun. Korean wave atau Hallyu memiliki produk yang beraneka ragam dari drama televisi (K-drama), Musik (K-pop) video-game dan makanan, Produk dan layanan Hallyu (pariwisata, produk kosmetik, bedah plastik, barang mode, dan layanan bahasa), saluran distribusi dari berbagai platform media (Choi, 2015 dalam Tae, 2017 : xii).
Korean wave dalam perkembangannya, Tersebar melalui berbagai cara yang juga dipermudah dengan akses internet dan banyaknya media sosial yang memudahkan siapapun dapat mengakses informasi yang tersedia dalam berbagai bahasa. Keterbatasan akan perbedaan bahasa pun dapat diatasi dengan makin banyaknya fans ataupun non-fans yang membuka jasa terjemah subtitle K-drama atau pun Musik K-pop. Dengan begitu, orang-orang yang menaruh minat pada budaya pop Korea Selatan akan semakin mudah dan semakin mencintainya.
Penggemar K-pop kerap melakukan sebuah aktivitas yang disebut dengan fangirling / fanboying yakni sebutan yang digunakan untuk mendeskripsikan kegembiraan berlebih atau bahkan ekstrim terhadap kelompok idola tertentu. Dalam kegiatan fansgirling / fanboying penggemar K-pop yang pertama kali dilihat adalah gambar dari idola. Penggemar lebih tertarik melihat gambar terlebih dahulu yang disuguhkan dari postingan- postingan di media sosial Idola.
Dikutip dalam pemberitaan kumparan, bahwa akun media sosial penggemar K-pop digunakan untuk mengakses berbagai informasi tentang idola mereka sebanyak 56 persen penggemar K-pop menghabiskan waktu 1-5 jam berselancar di media sosial untuk mencari tahu segala informasi tentang idola mereka. Sebanyak 28 persen penggemar bahkan menghabiskan 6 jam lebih di dunia maya untuk melihat berbagai aktivitas sang idola (Kumparan, 2017) .
Akan tetapi menjadi seorang penggemar selalu dicirikan sebagai suatu kefanatikan yang potensial. Terlebih kelompok penggemar juga dilihat sebagai perilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan kegilaan. Jenson (dalam Storey, 2010:157). menunjukkan dua tipe khas patologi seorang penggemar, “individu yang terobsesi” (biasanya laki-laki) dan “kerumunan histeris” (biasanya perempuan). Individu yang terobsesi terhadap suatu hal biasanya tidak lagi menjadi penonton saja melainkan juga turut menjadi peserta aktif dalam membangun makna dari sebuah teks informasi yang telah ada di media sosial.
Saat ini penggemar tidak hanya menikmati informasi mengenai idola mereka yang disajikan pada media sosial saja, melainkan juga turut membuat informasi tersebut. Aktivitas penggemar dalam mencari informasi mengenai idola juga tidak lepas dari berita bohong atau hoaks. Hal ini juga kerap kali terjadi jika sang idola menjadi satu – satunya idola yang memiliki banyak penggemar. Banyak sekali informasi mengenai idola yang tersebar di internet, belum lagi jika informasi tersebut tidak berasal dari platform media sosial dan website yang terpercaya.
Salah satu contoh yang dilakukan oleh penggemar yakni dengan membuat beragam cerita fiksi tentang idola serta dipublikasikan melalui media sosial penggemar, cerita fiksi yang dikenal dengan fanfictions ini berisikan informasi-informasi fiksi atau tidak nyata yang dibuat oleh penggemar sesuai dengan keinginannya. Akan tetapi dalam penyebarannya banyak sekali penggemar, terlebih yang masih remaja terkena disinformasi serta tidak mengecek kebenarannya terlebih dahulu tentang informasi tersebut. Tak jarang juga jika aktivitas seperti di atas yang dilakukan oleh penggemar K-pop merujuk pada perilaku fanatisme dan kelompok penggemar dihantui oleh citra penyimpangan.
Citra penyimpangan dan perilaku fanatisme yang diperoleh penggemar selama melakukan aktivitasnya juga tidak serta merta memiliki dampak yang negatif, melainkan juga dapat memberikan manfaat dan dampak yang positif. Seperti pada aktivitas penggemar BTS atau yang lebih dikenal dengan ARMY, yang melakukan social campaign terkain vaksin covid di media sosial dengan turut mengadakan vaksin massal dan mengajak penggemar lainnya serta masyarakat untuk vaksin. Selain itu juga banyak aktivitas penggemar Kpop yang melakuklan social campaign dengan berbagi kegiatan dan turut serta dalam program-program dari pemerintah.
Bijak menjadi seorang penggemar di media sosial memang tidak mudah, akan tetapi jika kita bisa menelisik lebih dalam lagi bagaimana menggunakan media sosial dengan baik maka kita bisa mengaplikasikannya dalam semua aktivitas penggemar kita di media sosial. Selain itu juga, penggemar tidak patut untuk menghakimi postingan yang ada di media sosial idola. Hal tersebut kerap kali muncul di kolom komentar postingan idola jika penggemar tidak mendukung kegiatan dari sang idola. Citra yang menempel pada penggemar Kpop sampai saat ini masih “negatif”. Akan tetapi dengan berbagai kegiatan positif yang telah di lakukan di media sosial telah memudarkan citra negatif penggemar Kpop.
Be nice fans. . .
Asfira Rachmad Rinata, M.Med.Kom, pengajar di UNITRI, Malang