Oleh: Rita Gani
JawaTengah.Online — Memasuki bulan Kartini tahun ini, adakah yang berubah dalam kehidupan para perempuan masa kini? Jawabnya sangat banyak, berbagai penyesuaian dilakukan para perempuan seiring dengan masa pandemic Covid 19 yang belum juga usai hingga saat ini.
Perubahan besar terjadi pada bentuk interaksi perempuan di dunia digital. Mereka yang akrab disapa “mamak-mamak” ini, dari tahun lalu seolah “dipaksa” untuk dekat dengan aktivitas internet, pada ruang-ruang online yang hampir menguasai semua aktivitas harian kita saat ini. Dalam sebuah sesi pelatihan tentang media literasi beberapa waktu lalu, Saya sempat “memancing” apa saja yang dilakukan oleh para perempuan yang hadir di kelas tersebut ketika terhubung di internet. Jawabnya sangat beragam, mulai dari hal serius seperti mencari bahan bacaan untuk berbagai keperluan, belajar berbagai hal dari kelas-kelas how to do it atau do it your self, tiktokan, hingga stalking ga penting di berbagai akun media sosial dan jualan onlen untuk sekedar membunuh waktu.
Namun secara umum aktivitas para perempuan tersebut adalah berselancar di media sosial dan cek ricek katalog di ecommerce. Ini seolah menjadi jawaban bagi apa yang dilakukan oleh perempuan umumnya ketika terhubung dengan internet. Yup, perempuan saat ini menjadi sangat akrab dengan “kehidupan dunia maya”.
Asumsi saya ini tidak berlebihan bila melihat data yang terungkap tentang bagaimana kesibukan kita, para perempuan di dunia maya. Secara umum survey APJII 2019-2020 menegaskan bahwa saat ini pengguna internet di seluruh dunia baik mobile maupun fixed mengalami kenaikan terus menerus. Berdasarkan laporan International Telecommunication Union (ITU) yang merupakan badan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) jumlah pengguna internet dunia 2018 sebesar 3,9 miliar melebihi setengah populasi dunia.
Sedangkan di tanah air, secara keseluruhan survey ini mencatat bahwa jumlah pengguna internet saat ini mencapai angka 73,3 persen. Artinya ada sekitar 196,71 juta jiwa pengguna internet dari total populasi 266,91 juta jiwa penduduk Indonesia.
Lalu bagaimana dengan perempuan? Data Indonesian digital mum survey 2019 mengemukakan data bahwa ada tiga aktivitas besar yang sering dilakukan oleh para perempuan yakni mengunjungi berbagai situs yang memberikan pengetahuan tentang parenting (99%), berselancar di social media (98%) dan sibuk dengan kegiatan online shopping (95%).
Tiga besar kesibukan mamak-mamak di dunia maya tersebut memunculkan sebuah tanya apakah mereka sepenuhnya bisa “memainkan” gawai mereka dengan baik dan cerdas, atau sekedar mengikuti alur yang ada tanpa mengerti bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah “kesalahan”?
Tanya ini menguap mengingat pada faktanya perempuan lebih banyak terpapar berita hoax. Kita tentu masih ingat bagaimana kasus Ratna Sarumpaet begitu luar biasa menghabiskan energi banyak pada tahun 2018, atau kasus perempuan penyebar hoaks Omnibus Law Cipta Kerja pada Oktober tahun lalu, termasuk para mamak yang asyik bergosip di WAG tentang sebuah isu, dan sejenisnya.
Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Agustina Erni dalam webinar dengan tema “Kiat Menjadi Bijak Menghadapi Informasi Hoaks di Masa Pandemi Covid-19” pada 22 Agustus 2020, dengan tegas mengatakan bahwa alasan perempuan lebih banyak dan mudah terpapar informasi hoax karena dipicu dari psikologis dan emosinya, terutama terkait isu kesehatan.
Pernyataan ini sejalan dengan pandangan Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, dalam webinar “Perempuan Periksa Fakta” pada 23 Desember 2020 yang mengatakan bahwa mengatakan bahwa perempuan adalah pihak yang aktif yang menyebarkan sekaligus meluruskan berita hoax khususnya isu tentang kesehatan.
Pernyataan-pernyatan tersebut seolah menegaskan bahwa interaksi para perempuan di dunia maya ternyata “belum baik-baik” saja. Karena itu salah satu hal yang harus dilakukan adalah bersama menggerakkan mamak-mamak ini untuk melek media dan mendorong literasi digital bagi kaum perempuan secara umum, terutama tentang pola, bagaimana memanfaatkan teknologi dalam keseharian.
Media literacy dikonsepkan sebagai “…the ability to access, analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts (Livingstone, 2003)”. Sedangkan Wikipedia, the free encyclopedia, menyebutkan bahwa media literacy adalah ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian).
Secara sederhana mereka bisa menerapkan konsep ini misalnya untuk mengecek kembali kebenaran informasi yang diterima, menyaring lagi apa saja muatan-muatan yang layak untuk diintip, dan menahan diri untuk tidak larut dengan dunia maya hingga melupakan perannya sebagai perempuan dalam dunia nyata. Dengan demikian mamak-mamak ini sudah menjadi bagian dari publik yang mampu memanfaatkan media secara kritis dan bijak.
Ini tentu menjadi tantangan besar bagi para perempuan, tapi tidak ada yang berat bila mulai melakukannya. Sebagai agen utama dalam gerakan literasi media, maka para mamak harus harus cerdas mengelola kehidupannya di dunia maya. Selamat hari Kartini, mari bersama menjadi mamak-mamak digital yang cerdas didunia maya
*Rita Gani, dosen Fikom UNISBA dan pegiat Japelidi