Catatan Hari Kebebasan Pers di Indonesia 2021

Oleh: Lintang Ratri Rahmiaji

Setiap tanggal 3 Mei, dunia merayakan hari kebebasan pers, sebuah janji sekaligus evaluasi terhadap indikator kualitas pers dan sekaligus perputaran informasi di tiap-tiap negara. Tema tahun ini adalah “Information as a Public Good”, Audrey Azoulay, Dirjen UNESCO menekankan pentingnya informasi yang terverifikasi dari jurnalis dalam upaya menangani misinformasi dan konten berbahaya lainnya.

Artinya jurnalis punya tanggung jawab penuh atas perputaran informasi yang aman untuk dikonsumsi masyarakat di era keberlimpahan informasi, sehingga menuntut jurnalis meningkatkan kapasitas literasi media dan informasi. Sebuah tanggungjawab besar, sekaligus rumit dan berbahaya. Menyajikan informasi yang baik dan benar, seringkali berseberangan dengan kepentingan berbagai pihak, baik secara ekonomi maupun politik.  

Di Hari Pers Nasional 2021, pemerintah melalui  Sekretaris Kabinet Pramono Anung, menyatakan perlunya kritik yang terbuka, pedas, dan keras selayak jamu yang menguatkan sehingga mampu mengawal pembangunan lebih terarah dan tepat sasaran. Namun, mengutip sinisme netizen, “jangan terburu senang begitu, ferguso”, fenomena tingginya angka penangkapan jurnalis paska mengkritik, mewujud antitesa baru yang pahit. Hal ini ditegaskan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), bahwa senyatanya kebebasan mengkritik sama besarnya dengan kebebasan mengintimidasi dan mengkriminalisasi.

Data Merah Kebebasan Pers di Indonesia

Reporter Sans Frontiers, lsm pemantau media menempatkan Indonesia pada peringkat ke-113 dari 180 negara dalam indeks kebebasan pers berdasarkan evaluasi terhadap pluralisme, independensi media, kualitas kebijakan media dan keamanan jurnalis di setiap negara dan wilayah (RSF, 2021). Angka yang belum bisa dibanggakan karena labelnya masih merah meskipun naik beberapa peringkat, dan terutama tertinggal jauh di bawah negara pecahan Indonesia, yakni Timor Leste dengan peringkat ke-71.  

Merujuk pada data LBH Pers, tercatat 10 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis sepanjang 2020, yang mana 8 kasus berangkat dari adanya pelanggaran undang-undang ITE. Abdul Manan, mantan Ketua AJI Indonesia, juga menyoroti kekerasan terjadi sebagian besar paska kritik jurnalis terhadap UU Cipta Kerja, yang menjadi soal adalah pelaku kekerasan tersebut mayoritas polisi, dan karena kultur impunitas yang kuat, banyak kasus tidak berlanjut proses hukumnya.

Doxing, Ancaman Baru di Era Digital

Pandemi dan Infodemi memposisikan media massa sebagai garda terdepan verifikasi informasi, jurnalis memikul tanggung jawab edukasi khalayak sekaligus menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap pemerintah. Sayangnya, beberapa informasi investigasi berdasarkan riset dan pendekatan sains yang bertentangan dengan pemerintah kemudian dianggap sebagai kritik yang seringkali dilekatkan dengan stigma anti-pemerintah. Sebelum internet ada, upaya ‘meredam suara” dilakukan melalui berbagai cara penghalangan fisik, sekarang, jurnalis ‘cukup’ diserang melalui media sosial. Serangan penyebarluasan data pribadi sehingga memicu ujaran kebencian hingga persekusi offline dikenal sebagai istilah doxing. Doxing menjadi intimidasi gaya baru di platform digital.

Di wilayah Jakarta, setidaknya ada lima kasus doxing jurnalis terkait pemberitaan (Ni’matun, 2020). Pertama dialami jurnalis detik.com saat meliput “Aksi Bela Tauhid”. Kedua, jurnalis kumparan.com dikarenakan alpa menuliskan “habib” pada Rizieq Shihab dalam pemberitaanya. Ketiga jurnalis CNNIndonesia.com karena menulis “Amien: Tuhan Malu Tak Kabulkan Doa Ganti Presiden Jutaan Umat”. Keempat, Febriana Firdaus, terkait berita tentang kerusuhan di Papua. Kelima, jurnalis kompas.com, Jessi Carina terkait pemberitaan soal ‘Gubernur DKI Rasa Presiden’. Tak satupun kasusnya yang diusut kepolisian.

Kasus terbaru di tahun 2020 dialami oleh jurnalis Detik.com, Isal Mawardi, yang mengalami doxing hingga ancaman dihabisi nyawanya. Kasus ini bermula ketika jurnalis detik.com menulis berita tentang rencana pembukaan mal di Bekasi oleh Presiden Jokowi. Namun dalam perjalanannya, pernyataan tersebut diluruskan oleh Kabag Humas Pemkot Bekasi. Klarifikasi informasi langsung diunggah detik.com di hari yang sama meski justru hal tersebut menuai badai. Isal Mawardi, ramai-ramai dihakimi di twitter, netizen mengunggah beberapa screenshot jejak digital penulis, identitas pribadi, menggiring opini keberpihakkan penulis bahkan memprovokasi untuk persekusi offline.

Literasi Digital : Sebuah Harapan

Kualitas kebebasan pers dibutuhkan sebagai tonggak indikator demokrasi. Jurnalis hari ini tidak hanya berjibaku menghadapi tekanan penguasa wacana, namun juga jemari netizen yang kini memiliki kekuatan besar seiring masa matinya kepakaran. Terma ‘Maha Benar Netizen’ menjelaskan bagaimana cara netizen mengatasi perbedaan pendapat, kesalahpahaman, stigma dan ketidakpercayaan terhadap media, yakni menyerang ‘lawan’ dengan perspektif tunggal, tidak mau membuka ruang untuk kebenaran lainnya.

Di sisi lain, penguasa yang insecure sangat antuasias untuk menyeragamkan opini, yang lain dianggap liyan (baca: menyimpang) dan karenanya harus ‘dimusnahkan’. Solusi yang bisa ditawarkan adalah meningkatkan literasi digital pengguna internet sehingga tidak melakukan doxing di media sosial terhadap siapapun yang berbeda pendapat dengan kita. Kritik belum tentu dimulai dari niat buruk, maka jangan anti kritik. Warga maupun penguasa, sama haknya dalam berbicara di ranah publik.

*Lintang Ratri Rahmiaji adalah pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Diponegoro, Semarang