Oleh: Gushevinalti

JawaTengah.Online — Telepon selular berkembang sejak tahun 1983. Sampai saat ini telepon seluler telah menjadi kebutuhan sebagian besar penduduk dunia termasuk masyarakat di Indonesia. Terbukti data yang dirilis We Are Social pada Januari 2021 pendudk Indonesia yang terhubung dengan telepon selular sebanyak 345,3 Juta..Nah, data ini tentu melebihi dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 274,9 juta. Dengan kecanggihan digital yang ada pada telepon selular maka sering kali kita menyebutnya sebagai smartphone.

Bagi beberapa orang, smartphone merupakan telepon yang bekerja menggunakan seluruh perangkat lunak sistem operasi yang menyediakan hubungan standar dan mendasar bagi pengembang aplikasi. Bagi yang lainnya, Smartphone hanyalah merupakan sebuah telepon yang menyajikan fitur canggih seperti surel (surat elektronik), internet dan kemampuan membaca buku elektronik (e-book) atau terdapat penyambung VGA. Dengan kata lain, smartphone merupakan komputer kecil yang mempunyai kemampuan sebuah telepon.

Sebagai smartphone, tentunya banyak sekali fasilitasi yang sangat mudah digunakan oleh pengguna, namun sayangnya kecanggihan smartphone tidak menjamin penggunanya menjadi smartusers, bahkan dengan mudah pengguna terdampak hal negatif atas pemanfaatan smartphone.

Mengapa demikian? Telah banyak fakta di Indonesia bahwa penyebaran informasi palsu sangat marak bahkan mereka menggunakan smartphone. Beberapa situs telah teridentifikasi penyebar hoax bahkan data Kominfo menuliskan terdapat 800.000 situs pembuat dan penyebar hoax. Keberadaan hoax ini menujukkan tingkat literasi masyarakat penerima informasi dipertaruhkan karena menjadi sasaran empuk. Bagaimana tidak? Kemudahan mengakses informasi tidak dibarengi oleh upaya Tabayyun, sebuah istilah yang sering saya dengar dalam majelis taklim upaya untuk selalu cek dan ricek kebenaran semua informasi. Seharusnya, dengan dibekali smartphone, kita bisa mencari informasi yang lebih valid dan tidak termakan atau malah ikut membumbui hoax tersebut. Berbagai kemudahan yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan informasi maupun pemanfaatan untuk kepentingan apapun. Namun, dampak lain kehadiran smartphone mudahnya mengakses internet membuka ruang lebar bagi kehadiran informasi atau berita-berita bohong tentang suatu peristiwa yang meresahkan publik. Tingginya tingkat kepercayaan pengguna di Indonesia dengan konten online ini, berbanding terbalik dengan tingkat kepercayaan penduduk dunia. Dimana hanya satu dari tiga (35 persen) penduduk dunia yang menganggap konten yang mereka lihat dapat dipercaya (dikutip dari cnnindonesia.com).

Tidak ada seorang pun pengguna smartphone yang ingin menjadi korban, namun begitulah kenyataannya, hoax sangat cepat tersebar. Inilah yang terjadi di era smartphone ini. Penyebaran hoax sangat masif dan sudah menjadi konsumsi sehari-hari. Apalagi masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, infodemi telah menimbulkan kebingungan masyarakat karena sulit membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah.

Kondisi ini juga akhirnya menimbulkan gerakan moral untuk menyadarkan masyarakat tentang bagaimana medsos digunakan secara positif melalui smartphone. Kedua mengajarkan dan mengajak masyarakat untuk memahami bahaya penyebaran hoax dari sisi hukum, agama, kesusilaan, dan kesopanan. Di Indonesia sudah ada KUHP tentang fitnah dan hasut, serta UU ITE Pasal 28 tentang penyebar berita bohong yang menyesatkan. Lebih banyak literasi, membaca, dan menulis di medsos supaya masyarakat tidak main share, tanpa tahu berita itu benar atau tidak, tapi bisa memilah mana berita benar, mana yang tidak. Literasi digital menjadi keterampilan yang sangat dibutuhkan saat ini.

Hoax itu dibuat oleh orang pintar

Disebarkan oleh orang malas

Dipercaya oleh orang bodoh..

Selain masalah hoax, masalah lain adalah bijak dalam menggunakan sosial media. Berpikir kritis dapat kita dilakukan atas sesuatu yang kita tulis maupun sebar luaskan. Apabila terdapat sebuah trend, kita harus melihat baik buruknya terlebih dahulu bukan langsung mengikutinya. Kehadiran smartphone juga disinyalir pengguna  di Indonesia juga tak terlalu peduli dengan data pribadi mereka dan kemungkinan penyalahgunaannya. Dikutip dari cnnindonesia.com, hanya 15 persen pengguna smartphone di Indonesia yang peduli kalau perangkat itu bisa digunakan untuk mengoleksi data pribadi. Alasannya, kehadiran perangkat-perangkat ini membuat hidup mereka lebih mudah dan mengakbatkan perilaku instant. Dengan demikian, pengguna smartphone Indonesia dinilai belum menyadari adanya risiko dibalik dari gaya hidup serba terhubung ini. Padahal, konsumen di negara lain skeptis terhadap cara perusahaan menggunakan data pribadi mereka melalui smartphone. 

Penulis: Gushevinalti, pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Bengkulu

email: gushevinalti@unib.ac.id