
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H. Anggota DPD RI. lahir di Palembang, 17 April 1956. Meraih sarjana hukum dari FH Universitas Indonesia (1982), kemudian menjadi pengajar di almamaternya. Pendidikan S2 (1987) di UI (1987). Gelar Doktor Ilmu Hukum diraih dari Fakultas Pasca Sarjana UI, Sandwich Program kerja sama dengan Rechtssfaculteit Rijks-Universiteit dan Van Voolenhoven Institute, Leiden (1990). Saat ini menjadi anggota DPD RI. Pernah menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dan Ketua Majelis Kehormatan MK (MKMK).
JAKARTA, JAWATENGAH.ONLINE – Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie S.H., M.H., sudah dekat sejak Prabowo Subianto masih muda. Ia melihat keinginan untuk menjadi presiden, saat Prabowo aktif ikut konvensi di Partai Golkar. Sejak awal reformasi keinginan menjadi presiden tak pernah lekang. “Wajar saja, saya juga punya cita-cita jadi presiden juga, tidak kesampaian, “ katanya.
Jimly muda dikenal sebagai aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pemuda Masjid dan organisasi
keagamaan, yang kerap diundang menjadi khotib. Ia dikenal di kalangan TNI, antara lain Susilo Bambang
Yudhoyono dan Prabowo Subianto. Keduanya bahkan lebih dulu mengenal Jimly dari tulisan-tulisannya.

Dengan Prabowo sudah berhubungan ketika bertugas di Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Kala itu Jimly beberapa kali diundang diskusi. Sampai suatu kali Jimly dengan teman-temannya melibatkan sejumlah perwira, membuat kajian semacam think tank dan mendirikan yayasan. Kemudian Jimly ikut mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ia juga turut menyiapkan berdirinya Bank Muamalat. “Terjadi iklim baru dalam politik nasional waktu itu.
Di tentara ada yang disebut Kelompok “ijo royo-royo”. Kami sering mengadakan pertemuan dengan perwira yang punya latar belakang Pelajar Islam Indonesia,” katanya. Saat itu untuk memasukkan konsep dan pemikiran Islam, tidak mudah. Karena pimpinan di pemerintahan, ABRI, maupun perbankan banyak yang non-muslim.
Ketika menjadi di ketua panitia lokakarya tentang bunga bank tahun 1989, dan merekomendasikan dibentuknya Bank Muamalat, susah sekali merealisasikannya. “Kami merasa tidak ada tempat mengadu. Satu-satunya hanya ke Menko Kesra Alamsyah Ratu Perwiranegara.
Beliau kemudian memperkenalkan dengan Pak Habibie,” katanya. Di level lebih berikutnya, lobi melalui Prabowo yang merupakan menantu Pak Harto. Agar gagasan tersebut bisa sampai melalui “pintu belakang”. Jimly menilai Prabowo sempat menjadi kambing hitam, atas terjadinya kerusuhan sosial dan politik di tahun 1998. Tuduhan itu antara lain datang dari aktivis demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Prabowo-Habibie

Saat itu Jimly melihat dekatnya hubungan antara Prabowo dan Habibie. Jadi kalau terkesan ada konflik di antara keduanya, hanya kesalahfahaman saja. Begitu menjadi presiden, Prabowo tak bisa bertemu Habibie lagi. Menurut Jimly yang tidak bisa bertemu Habibie bukan hanya Prabowo tetapi juga staf yang lain. Suasana komunikasi jadi harmonis karena ada isu-isu pasukan gelap, yang digerakkan Prabowo. Momentum tersebut sangat krusial. Bahkan Habibie juga tak bisa lagi bertemu dengan Pak Harto.
“Jadi kalau kita baca sejarah, banyak hal yang perlu didudukkan karena persepsi masing-masing berbeda,”
katanya. Hal yang sama juga terjadi pada hubungan Prabowo dengan Pak Harto, sebagai bagian dari miskomunikasi. Ada spekulasi kurang lebih menganggap Habibie dan Prabowo “main”, sehingga menyebabkan Pak Harto harus lengser. Sejak itu sampai Pak Harto berpulang tak ada lagi
komunikasi.Prabowo kemudian mengalami masa-masa sulit, sampai akhirnya muncul kesempatan untuk ikut Konvensi Calon Presiden di Partai Golkar.
Sebelumnya sempat tinggal di luar negeri. Jimly menilai Prabowo sempat menjadi kambing hitam, atas terjadinya kerusuhan sosial dan politik di tahun 1998. Tuduhan itu antara lain datang dari aktivis demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). “Segala kejadian itu dialamatkan ke dia. Padahal tidak sepenuhnya begitu,” katanya.
Gibran Sah
Mengiringi terpilihnya Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil persiden, ada pro kontra mengenai usia. Prabowo dianggap terlalu tua, sementara Gibran dianggap terlalu muda. Jimly mengingatkan persyaratan menjadi Capres awalnya 35 tahun, lalu dinaikkan menjadi 40 tahun.
“Antara 35 dan 40 tidak ada yang salah. Apalagi sekarang jumlah pemilih muda tahun 2024 ada 60 persen,” katanya. Secara objektif soal angka usia tidak ada masalah. Presiden atau kepala negara di dunia ada dua fenomena. Ada fenomena menua seperti Presiden AS Joe Biden. Di Malaysia ada Mahathir Muhammad sampai usia 93 tahun dan penggantinya beda tipis, Anwar ibrahim 75 tahun.
Belum lagi Putin di Rusia dan Xi Jinping di Cina. Pada saatyang sama perdana menteri atau kepala pemerintahan atau kepala negara yang usia muda juga banyak. Tampilnya Gibran menjadi wakil presiden menurut Jimly secara hukum tidak ada masalah. Putusan MK dalam hal judicial review, pengujian undang-undang, sama dengan putusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR itu membentuk UU, mengadakan pasal-pasal, sedangkan MK itu membatalkan undang-undang, atau meniadakan pasal pasal.
Menurut konstitusi putusan MK final dan mengikat, begitu juga putusan DPR jika diketok palu, presiden harus mengesahkan. Terlepas perilaku oknum di DPR, UU itu sah. Walaupun misalnya ada anggota Pansus terima suap, diproses hukum, dan masuk penjara. UU yang sudah diputuskan DPR tetap berlaku. “Jadi secara hukum Gibran itu sah. dia sudah ditetapkan menjadi pasangan Cawapres. Sedangkan UU tidak berubah. Jadi gak ada masalah secara hukum,” katanya. (01)