SEMARANG, Jawa Tengah. Online: Buntut penemuan cluster penyebaran baru Covid -19 di Semarang, membuat kalangan pengusaha di Jawa Tengah gusar. Melalui asosiasi yang mewadahi mereka Apindo ( Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mereka meminta pemerintah untuk melakukan Rapid Tes masal.
Frans Kongi Ketua Apindo Jateng meminta Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang melakukan rapid test untuk semua karyawan di Kota Semarang. Hal itu menyikapi timbulnya klaster baru Covid-19 di tiga perusahaan besar Kota Semarang.
Apindo menyatakan jika kondisi penyebaran Covid-19 ini meluas, roda perekonomian sektor industri di Kota Semarang terancam hancur.
“Kalau pandemi ini terus berkembang, ekonomi betul-betul akan merosot jauh dan kita semua akan celaka. Sehingga kami dukung pemerintah untuk melaksanakan protokol kesehatan,” kata Frans di Semarang saat dimintai tanggapnya tentang penemuan cluster baru Covid-19 di Semarang baru-baru ini.
Dari hasil penelusuran Jawa Tengah.Online di lapangan dua lingkungan industri yang diketahui menjadi sumber baru penyebaran Covid 19 itu adalah Kawasan Industri WK di daerah Mangkang dan Kawasan Industri GS di Krapyak Semarang.
Beberapa pabrik yang ada di dua kawasan tersebut, yang diketahui karyawannya positif Covid-19 saat di lakukan tes swab telah dilakukan penutupan hinga 14 hari ke depan.
Dikatakannya Frans sejak bulan Maret, pihaknya telah menerima anjuran pemerintah mengenai protokol kesehatan. “Kami terima dengan baik. Apindo selaku organisasi pengusaha juga telah betul-betul mengimbau dan memotivasi para pengusaha untuk melaksanakan protokol kesehatan secara benar dan baik,” katanya.
Tetapi, ia tak menyangka penyebaran Covid-19 secara mengejutkan terjadi di tiga perusahaan di Kota Semarang. “Hal itu bisa saja terjadi, karena karyawan itu selama delapan jam hidup di dalam perusahaan. Sisanya itu, mereka kan di luar,” katanya.
Menurut Frans, rata-rata perusahaan telah menjalankan protokol kesehatan. Misalnya ketika masuk dites suhu tubuhnya. “Melalui penerapan protokol kesehatan ini mestinya bisa mendeteksi, meski tidak akurat. Karena misalnya suhu tubuh mendekati batas ketentuan, maka karyawan tersebut disuruh pulang untuk isolasi dan berobat,” bebernya.
Ketika mereka masuk, di dalam perusahaan juga telah disediakan disinfektan serta fasilitas cuci tangan. Termasuk sistem pengaturan physical distancing atau menjaga jarak. “Tapi mungkin juga protokol kesehatan ini tidak dijalankan dengan baik di perusahaan tertentu,” katanya.
Pemberlakuan physical distancing sendiri, kata dia, berdampak pada pengurangan karyawan. Praktis, hal itu juga berdampak menurunkan produktivitas, karena jumlah karyawan tidak seperti di hari normal.
“Kejadian ini kami sesalkan, tapi memang bisa terjadi. Saya kemarin sudah instruksikan kepada semua anggota Apindo di seluruh Jawa Tengah, baik kabupaten maupun kota, untuk betul-betul serius memperhatikan penerapan protokol kesehatan ini,” katanya.
Sebab, lanjut dia, konsensus di dunia usaha memang apabila ditemukan kasus Covid-19 langsung dilakukan penanganan medis di rumah sakit. Misalnya ditemukan indikasi awal seperti suhu tubuh tinggi, batuk, pilek, dan seterusnya.
“Sebab ini kepentingan kita bersama, kalau Covid-19 ini tidak segera bisa diatasi, maka kita semua akan semakin terpuruk,” ujarnya.
Pihaknya meminta baik Pemkot Semarang, Pemkab, maupun Pemprov Jateng melakukan rapid test massal bagi karyawan. Apabila ditemukan positif langsung dilakukan penanganan medis.
“Kami mendukung upaya pemerintah dalam penanganan Covid-19 ini. Maka pemerintah harus tes semua karyawan. Tidak apa-apa. Pemerintah harus membiayai rapid test tersebut, karena kami sendiri kan sudah susah terkait keuangan,” katanya.
Kondisi pandemi seperti ini, lanjut Frans, rata-rata perusahaan telah kesulitan dalam pembiayaan. “Untuk protokol kesehatan saja itu butuh biaya ekstra. Kasus ini memang harus diselidiki terus agar jangan sampai menyebar luas,” katanya.
Dia mendukung, Kota Semarang tidak menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sehingga roda perekonomian terutama industri masih bisa berjalan. “Kalau PSBB, wah (industri) bisa celaka. Masyarakat tidak punya uang, itu yang kita hindari. Makanya dunia usaha kita perhatikan. Beberapa waktu lalu, ada kabar di Surabaya, PT Sampoerna kena, kami semua hati-hati. Wah, ternyata kita kena juga,” katanya.
Selain mendukung protokol kesehatan, pihaknya meminta agar pemerintah membantu kendala dan kesulitan para pengusaha. “Kami pernah menyampaikan untuk relaksasi pajak. Baik pajak penghasilan perusahaan, pribadi dan lain-lain, kami minta pajak ini bisa ditunda, enam bulan lah. Bukan berarti kita tidak bayar, tapi kita utang dulu,” katanya.
Hal lain yang menjadi beban bagi pengusaha adalah cicilan bank. Termasuk tagihan PLN. “Pemerintah sebetulnya telah mengeluarkan kebijakan relaksasi, tetapi hingga saat ini belum ada realisasi. Tiap bulan bayar. Relaksasi ini bukan berarti tidak bayar, kami bayar menggunakan cek mundur. Kondisi ini sangat memberatkan, kita tidak bisa jual barang, mana ada uang lagi, tapi harus mengeluarkan tanggungan bayar pajak, PLN, gaji karyawan dan lain-lain, mau ambil uang dari mana?” katanya.
Maka untuk menyelamatkan perputaran roda ekonomi di Kota Semarang, masih kata Frans, mau tidak mau pemerintah harus memberikan talangan.
Sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Moch Abdul Hakam mengatakan ada tiga perusahaan di Kota Semarang menjadi klaster penyebaran Covid-19. Dari ketiga perusahaan tersebut, ada ratusan karyawan dinyatakan positif Covid-19. “Perusahaan A jumlahnya 47 positif, perusahaan B ada 24 positif, dan perusahaan C lebih dari 100 positif,” kata Hakam.
Lebih lanjut, berdasarkan hasil pemeriksaan dan tracing, ternyata Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di perusahaan tersebut tidak memadai. “Yang paling besar mungkin saat Isoma (istirahat, salat, makan) gitu, sama-sama, makan bareng tidak sesuai dengan protokol kesehatan,” katanya.
Pihaknya mengaku masih terus menindaklanjuti temuan tersebut dengan melakukan tracing. “Total swab test secara keseluruhan hampir 30 ribu, 6 persen positif. Rapid test 20 ribu, 7 persen reaktif. Jadi kalau dibandingkan jumlah penduduk di Kota Semarang 1,6 juta, kita baru 2,8 persen melakukan pemeriksaan rapid test maupun swab test,” katanya. ( Bambang Sartono/01)