Oleh : Lisa Adhrianti 

JawaTengah.Online — Media sosial saat ini bukan hanya menjadi tempat pencarian dan pertukaran informasi antar sesama orang, namun juga telah menjadi media eksistensi diri yang menghibur dan membebaskan pemilik akunnya, terlebih bagi perempuan. Media sosial menjadi teman bagi banyak perempuan berbagai macam latar belakang profesinya. Perempuan seolah semakin sadar bahwa keberadaan dan emansipasi yang telah diwariskan oleh sosok pahlawan perempuan R.A Kartini dapat terakomodir melalui ekspersi jari-jari yang berwujud “cuitan” di media sosial milik pribadi sang perempuan.

Media sosial yang menggunakan jaringan global internet itu menjadi rumah bagi banyak perempuan dunia untuk menulis dan mendokumentasikan berbagai macam kegiatan yang terkait dengan fungsi alamiah dan fungsi bawaan yang ada di dalam diri seorang perempuan. Fungsi alamiah umumnya terhubung dengan naluri  kewanitaan dengan berbagai sisi kelembutan dan naluri keibuan yang multitasking menuntaskan tugas-tugas domestik rumah tangganya. Sementara fungsi bawaan terkait dengan kiprah/peran dan prestasi perempuan di berbagai sektor publik maupun yang berhubungan dengan kesenangan atau hobby maupun keahlian tambahan perempuan yang dianggap semakin menarik jika telah mendapat pengakuan dari berbagai masyarakat sekitarnya.

Kemampuan perempuan untuk mengeluarkan 20.000 kata sehari dibandingkan laki-laki yang cukup puas dengan 7.000 kata perhari membuat perempuan lebih potensial untuk mengeluarkan berbagai pandangan, membagi pengalaman  dan mengemas berbagai pesan menarik untuk kepentingan reputasi (pencitraan) secara luas.  

Diketahui bahwa media sosial telah didominasi oleh perempuan dangan jumlah 76%. Data lain yang tak kalah pentingnya adalah diketahui bahwa Facebook menjadi media sosial yang paling disukai oleh pengguna media sosial dalam aktivitas sosialnya (71%) (www.pewinternet. org). Selanjutnya diketahui juga bahwa sebanyak 56% perempuan mengakses Facebook. Hal ini menunjukkan dominasi perempuan di media sosial dibandingkan dengan pria yang hanya berjumlah 49,5% saja. dan sebanyak 41 persen perempuan pengguna media sosial mengaksesnya melalui telepon seluler.

Perempuan juga menggunakan waktunya sebanyak 30% untuk berkomunikasi melalui media sosial, sementara itu pria hanya menggunakan 26% waktunya untuk berinteraksi di media sosial. Pada penggunaan media sosial ini ternyata gender adalah satu-satunya variabel demografi yang sangat signifikan berpengaruh dalam penggunaan media sosial, karena ada beberapa perbedaan antara pengguna media sosial laki-laki dan perempuan.

Perempuan lebih menyukai untuk memiliki profil pribadi di Facebook dibandingkan pria yang lebih menyukai Linkedln (Lenhart et al, 2010). Selanjutnya, perempuan melakukan empat sampai lima kali lebih banyak waktu untuk menggunakan media sosial dibandingkan dengan pria (Tufekci, 2008). Selain itu, Sheldon (2008) menemukan bahwa perempuan lebih menyukai media sosial untuk menjalin hubungan dengan keluarga dan teman-teman, melewatkan waktu, hiburan, akan tetapi pria lebih menyukai menggunakan media sosial untuk bertemu dengan orang baru.

Patut menjadi pertanyaan, bahwa dengan adanya keran kebebasan bermain dan berceloteh di media sosial bagi perempuan apakah juga akan dapat menjamin perempuan aman dan terbebas dari julukan agen penyebar berita palsu (hoax)? ancaman kebocoran data pribadi? Dan ancaman terjerat hukum pidana dalam regulasi UU ITE? Ternyata faktanya menunjukkan tidak.

Perempuan yang berani untuk berceloteh di media sosial milik pribadinya sangat mudah menjadi sasaran empuk kejahatan siber (dunia maya), sebut saja contohnya Miss. X yang kemudian mendadak menyebarkan klarifikasi melalui laman Facebooknya, bahwa namanya telah dipakai untuk dijatuhkan karena kasus peminjaman uang yang ternyata fiktif belaka.  Atau juga kasus Ibu Z yang mendapatkan ancaman pelaporan atas dugaan pencemaran nama baik akibat cuitan emosi dari ketukan jari-jarinya di media sosial.

Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi kerentanan yang tinggi terhadap ancaman keamanan di dunia siber, sehingga penting bagi perempuan memiliki pengetahuan untuk proteksi perangkat digital dan fitur media sosialnya.

Perangkat digital seringkali rentan akan aksi hack yang dilakukan oleh hacker, akibat yang ditimbulkan dari aksi hacker ialah kekacauan yang menyebabkan kerugian atas berbagai kebocoran data pribadi yang bisa mengakibatkan keamanan privasi perempuan menjadi terganggu. Selain itu upaya untuk mengetahui jenis fitur yang dapat menjamin keamanan dan kenyamanan bagi perempuan bermedia sosial akan dapat membuat perempuan lebih percaya diri dan behati-hati memanfaatkan media sosialnya sendiri.

Sudah saatnya para perempuan mampu menjadi agen-agen perubahan yang dapat menumbuh suburkan literasi digital di Indonesia sebagaimana pesan R. A Kartini : “Berjuanglah membebaskan diri, jika engkau sudah bebas karena ikhitarmu itu, barulah dapat engkau tolong orang lain”.

Maka saatnya perempuan Indonesia bangkit, berjuang dan berdedikasi melalui media sosialnya sehingga memunculkan manfaat bagi perempuan lain dan lingkungan sekitarnya. bercelotehlah yang riang namun beretika, menulislah dengan bebas namun tahu batasan, serta berekspresilah menjadi diri sendiri tanpa kepalsuan.

Mari menjadi Kartini masa kini yang cakap literasi.

*Lisa Adhrianti , pengajar di Jurusan Komunikasi, Universitas Bengkulu