Ki Manteb Soedarsono

JawaTengah.Online — Dalang senior Ki Manteb Soedarsono mengingatkan para dalang, khususnya para dalang muda, jangan malas belajar dan berlatih. Sebagai kesenian, pementasan wayang harus selalu kreatif, dan itu tidak bisa di terwujud, kalau dalangnya malas berlatih. Hal itu dikatakan saat mendalang pada acara Hari Wayang Nasional di RRI Semarang, 6 November lalu.

“Biasanya karena merasa sudah laku, banyak tanggapan, dalang malas berlatih,” katanya.

Dunia pedalangan saat ini menurut dalang wayang kulit Ki Manteb Sudarsono maju tetapi sangat kemajon (terlalu maju). Menurut dia, inovasi yang dilakukan dalang terutama dalang-dalang muda saat ini sah-sah saja dan tidak melanggar pakem yang ada tetapi lakonnya harus selesai terlebih dahulu.

Dalang muda saat ini, seringkali tidak menyelesaikan lakonnya atau tidak mengerti betul mengenai cerita dalam lakon tersebut. Mereka justru lebih menonjolkan hal-hal di luar wayang, di antaranya campursari, atau humor saja, tidak pada esensi ceritanya. Cerita dalam lakon wayang kulit harus benar-benar selesai dan tuntas meski dalam pementasan diselingi humor agar penonton tidak bosan.

“Judulnya pewayangan, bukan campursari atau dagelan (humor), wayang ya wayang,” kata Ki Manteb.

Humor atau campursari dalam pagelaran wayang kulit itu ibarat bumbu tetapi jangan terlalu banyak. Bumbu dalam makanan kalau terlalu banyak sambungnya, juga tidak enak bisa membuat muntah. Paling utama adalah cerita dalam pagelaran wayang kulit tersebut karena jika tidak selesai atau tuntas maka pesan yang disampaikan akan kabur, tidak seperti yang diinginkan.

 

Seperti Pedagang

Menurut Manteb dalang saat ini seperti pedagang yang barang dagangannya kurang lengkap maka mereka jualan temannya, jualan humor, humor wanita dan campursari. Selain mereka terkadang tidak mengetahui lakon dan hanya mengarang asal lucu saja atau asal penyanyinya bagus. Ia melihat, dalang sekarang tidak lucu dan hilang tertutup humor di luar pementasan wayang kulitnya.

“Saya berbeda dengan mereka, dulu tanpa tambahan dagelan (humor) banyak yang tertawa dan menonton sampai selesai. Dalang sekarang tidak mau bertanya kepada yang senior-senior,” tambahnya.

Misalnya masih menurut Ki Manteb, cerita Gatotkaca lahir tapi Gatotkaca-nya sudah terbang. Kalau dikatakan sebagai flashback, juga bukan karena tidak masuk akal karena ceritanya menyangkut mencari senjata untuk memutus tali pusar bayi Tetuko. Baru diturunkan ketika diingatkan oleh niyaganya.

Selain tidak mau bertanya kepada dalang lain yang lebih senior, dalang sekarang juga tidak mau belajar mengenai cerita pewayangan agar memahami benar-benar lakon yang dipentaskan. Ki Manteb bercerita, ia mempunyai buku-buku cerita pewayangan dalam Bahasa Jawa, hampir satu almari penuh. Setiap saat buku-buku tersebut dibaca, agar memahami benar-benar cerita yang akan dimainkan.

“Mengenai cerita dari mana mulainya, itu terserah dalang. Paling penting dia benar-benar memahami cerita wayang yang disampaikan,” tuturnya.
Sering membaca buku cerita pewayangan, membuat lakon-lakon yang dimainkannya susah ditebak penonton sehingga mereka juga tidak bosan karena ceritanya hanya begitu-begitu saja. Penonton akan merasa penasaran, awal alur cerita dirubah sudut pandangnya. Jika penonton penasaran, mau tidak mau mereka akan menonton pagelaran sampai usai.

Jangan Meninggalkan Pakem

Dalang berusia 71 tahun itu tidak mempermasalahkan banyaknya dalang yang membumbui pentas wayang kulit dengan berbagai hal. Tetapi ada hal yang tidak boleh dilanggar dalam pementasan wayang kulit atau dikenal sebagai pakem. Pakem wayang yang tidak boleh dilanggar di antaranya, dalang berdiri saat pementasan, gedog kotak dan memukul dengan gedog saat akan memulai memainkan wayang kulit.

“Kalau dalangnya tidak memukul gedog, pagelaran wayang tidak akan dimulai. Mengapa gedog, gedog itu mewakili detak jantung,” tambah Ki Manteb.

Begitu gedog dipukul, kayon dicabut. Kayon itu karep (keinginan), ada karep karena urip (hidup). Hidup dari mana, seperti digambarkan kayon begitu dicabut ditarik ke atas. Kemudian kayon turun ke bawah yang mencerminkan fase kehidupan manusia, lahir, rabi (menikah) dan mati. Kemudian keluar dua orang wanita yang menggambarkan di dunia ini isinya dua hal, siang-malam, lelaki-perempuan dan lain-lain.

“Itulah falsafah hidup, tetapi belum tentu dalangnya tahu,” tambah dia.
Mengenai peran Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) terhadap dalang yang kemajon tersebut, menurutnya dilematis karena kalau tidak diingatkan terus seperti itu dan tidak mau merubah diri tetapi kalau diingatkan bukan organisasi yang menghidupi mereka.

Mengenai minat anak muda terhadap wayang kulit, menurut dia, lebih baik anak muda diajak untuk senang wayang dulu daripada mengajari mereka mengenai falsafah-falsafah dalam pagelaran wayang. Jika mereka lebih dulu diberikan falsafah-falsafah tersebut, maka hanya akan memandang sebelah mata. 

Bambang Sadono