SEMARANG – Sebanyak 600 mahasiswa dari delapan fakultas Universitas Islam Negeri (UIN) walisongo Semarang, Jawa Tengah (Jateng), menggelar unjuk rasa di gedung Rektorat pada Rabu (9/8/2023) siang. Mereka menuntut adanya pembatalan aturan ma’had, karena kebijakan tersebut dinilai tidak sepadan dengan fasilitas kamar hingga makanan yang diberikan kepada para penghuni masing-masing mahasiswa. 

Menteri Koordinator Sosial Politik DEMA UIN Walisongo, Fuad Dhiyaulhaq, mengatakan aturan ma’had, dinilai sebagai permainan kampus belaka. Selain itu, pihak kampus disebut tak transparan dalam pengelolaan dana ma’had.

“Ada empat tuntutan kami kepada pihak rektorat. Pihak kampus harus segera membatalkan kewajiban membayar ma’had. Mereka mengklaim dengan narasi bahwa pembayaran ma’had jadi instruktusi dari Kemenag (Kementerian Agama) RI. Tapi nyatanya saat kami datangi ke Jakarta, perwakilan Kemenag dari bidang akademik dan kemahasiswaan menegaakan tidak ada kewajiban, karena diserahkan ke kampus masing-masing,” kata Fuad, Rabu (9/8/2023) sore.

Mahasiswa jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Walisongo itu juga menyampaikan jika para pengurus ma’had, beberapa dosen dan civitas akademik UIN Walisongo kerap mengintimidasi dan berlaku diskriminasi pada penghuni ma’had. Bahkan, berulang kali mahasiswi yang tinggal di dalam ma’had diancam nilai kuliahnya tidak keluar jika kedapatan membocorkan informasi mengenai fasilitas kamarnya. 

Tak jarang penghuni ma’had juga diancam agar video yang menggambarkan fasilitas kamarnya dihapus. Padahal di sisi lain, DEMA UIN Walisongo mendapat laporan jika makanan yang diberikan tidak layak serta fasilitas kamar ma’had tidak memadai. 

“Sampai ada yang diancam dilaporkan ke polisi kalau inforimasi tentang masalah ma’had ini beredar di masyarakat luas,” akunya. 

Lebih jauh, Fuad menilai apa yang dilakukan pihak rektorat selama ini tidak transparan. Sebab, setiap mahasiswa baru yang berkuliah di UIN Walisongo dibebankan biaya uang kuliah tunggal (UKT) Rp5 juta ditambah kewajiban membayar ma’had Rp3 juta.

“Kita mendesak uang ma’had milik mahasiswa baru (maba) dikembalikan. Karena nominal yang dibayarkan tidak sesuai dengan fasilitas sarana yang diberikan. Sebab, setiap maba sudah diwajibkan bayar ma’had Rp3 juta tetapi masih juga disuruh bayar uang pungutan untuk biaya makan Rp400 ribu per bulan, bayar laundry, beli kitab kuning. Mestinya biaya tersebut sudah include pada pembayaran awal. Makanya kita mengecam tindakan pihak rektorat,” jelasnya. 

Oleh sebab itulah, Fuad dan rekan-rekannya di DEMA menyatakan pihak rektorat harus transparan menyampaikan setiap kebijakan yang berlaku di kampusnya. Karena adanya aturan yang tidak transparan juga merugikan pihak ponpes yang terlanjur bermitra dengan UIN Walisongo. 
“Ada beberapa pondok belum dapat uang bantuan dari UIN. Karena tanpa ada bantuan pihak UIN, mereka jelas merasa terbebani. Karena rektorat tidak pernah transparan menyampaikan anggarannya,” ujarnya.

Sementara itu, Humas UIN Walisongo, Astri, belum bersedia memberikan tanggapan terkait protes yang disampaikan para santri perempuan itu. Persoalan tersebut saat ini tengah didiskusikan dengan jajaran pimpinan perguruan tinggi itu. 

“Belum ada (statemen resmi dari kampus). Tadi juga kayanya belum jadi audiensinya (waktu unjuk rasa),” tutup Astri. (Wan)