Oleh: Santi Indra Astuti*)

JawaTengah.Online — Akhir Februari 2021, kehebohan melanda warganet baik di ruang-ruang media sosial, maupun pada aplikasi berbincangnya masing-masing. Pasalnya, bertepatan dengan pembentukan unit Virtual Police atau Polisi Virtual di Kepolisian Indonesia, terbit Surat Edaran Kapolri bernomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.

Alih-alih mewacanakan secara seimbang mengapa SE itu lahir, reaksi publik cenderung tertuju pada kekuatiran seputar munculnya rezim otoritarianisme dalam mengelola ruang digital sebagai ruang publik. Sebuah kekuatiran yang bisa dimaklumi mengingat pengalaman traumatik masa sebelumnya, juga mengingat persoalan pemenuhan hak politik warganegara yang belum selesai. Bagaimanapun, adalah penting untuk menyimak beberapa aspek yang terkait dengan munculnya regulasi semacam ini, dikaitkan dengan wacana seputar hak-hak digital warga negara.

Mari kita awali obrolan ini dengan hal yang ringan-ringan saja. Sebagai warga digital, yang sehari-hari tak lepas dari media digital, sudahkah warganet kita memiliki wawasan dan pengetahuan yang memadai mengenai hak-hak digital? Ambil contoh, saat ribut-ribut ‘selingkuh khilaf’ Nissa Sabyan dan Ayus mengemuka, berbagai komen muncul dari yang halus sampai yang kasar. Sejauhmana komen yang kasar dikategorikan sebagai hate speech atau ujaran kebencian? Apakah mengandung atribut yang melabeli seseorang secara kasar sudah cukup membuat pernyataan tersebut jatuh ke dalam ujaran kebencian, sehingga dianggap melanggar pasal-pasal hukum, dan dapat diperkarakan? Atau, masih dapat berlindung di balik pasal-pasal kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat yang digolongkan sebagai hak asasi manusia, biarpun isinya caci-maki terhadap seseorang?

Bakalan panjang lebar diskusinya, tapi mari kita awali dengan apa itu Hak Digital. Hak Digital adalah hak asasi manusia yang menjamin tiap warga negara untuk mengakses, menggunakan, membuat, dan menyebarluaskan media digital.  Hak Digital terdiri dari hak untuk mengakses, hak untuk berekspresi, dan hak untuk merasa aman. 

Sesederhana itu? Jawabannya jelas tidak sederhana dalam praktiknya. Pertama, Hak Akses.  Akses digital berarti dapat terhubung dengan piranti digital yang membuka kesempatan bagi warganegara untuk berpartisipasi secara elektronik dalam ruang digital. Akses itu ibarat kunci, yang bisa membuka pintu bagi warga digital agar bisa memanfaatkan ruang digital untuk berbagai hal. Mulai dari mendapatkan informasi, berbagi informasi, belajar, mencari hiburan, termasuk mengekspresikan diri dan mengemukakan pendapatnya. Masalahnya, kunci untuk mengakses ruang digital, ternyata membutuhkan infrastruktur seperti sinyal, satelit, dan menara pemancar.

Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) terbaru menunjukkan, jumlah pengguna internet di Indonesia sudah mendekati 200 juta, tepatnya 196,7 juta. Sudah lebih dari 70 %!

Masalahnya, jika dilihat sebaran penggunanya, kita akan berhadapan dengan ketimpangan yang serius. Lebih dari 50% pengguna Internet terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara Sumatera yang areanya jauh lebih besar, tercatat hanya 22,1%. Gambaran di wilayah lain semakin memprihatinkan. Pengguna Internet di Sulawesi hanya 7%, Bali-Nusa Tenggara tak lebih dari 5,1%. Bagaimana dengan Papua? Wilayah paling Timur kita hanya kebagian 3% saja.

Pemerintah telah meluncurkan Satelit Palapa Ring 2, yang diharapkan dapat membantu menjembatani kesenjangan akses digital. Namun, dibutuhkan waktu untuk bisa mengatasi masalah kesenjangan digital. Ujung-ujungnya, kita kembali lagi pada isu pemerataan pembangunan.

Oke. Mari kita lihat wujud kedua dari Hak Digital, yaitu Hak Berekspresi. Ruang digital itu tak beda dengan ruang publik, tempat orang bisa menyampaikan segala sesuatu, mulai dari kritik, apresiasi, hingga curhat.

Jika demikian, betulkah kita bisa menyampaikan apa saja di Internet? Sejauhmana kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat dilindungi di Internet? Adakah batas-batas yang harus diketahui saat kritik dilabeli sebagai pelanggaran kebebasan menyampaikan pendapat, atau saat caci-maki diklaim sebagai kritik yang mewujudkan kebebasan berpendapat?

Nah, jelas ini perkara rumit. Tetapi, mari kita pahami bahwa hak asasi sekalipun memiliki batasan. Batas-batas kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia adalah menjaga hak-hak atau reputasi orang lain. Selain itu, menjaga keamanan nasional atau atau ketertiban masyarakat atau kesehatan atau moral publik (ELSAM, 2013). Jika ini terlanggar, maka telah terjadi penodaan atas kebebasan berekspresi.

Tentu saja, nantinya akan muncul diskusi seputar sejauhmana hak-hak atau reputasi orang lain terlanggar, atau sejauhmana batas-batas keamanan nasional memang betul-betul terganggu, dan manipulasi sekelompok kepentingan untuk mengamankan posisi. Tetapi, sebelum mendiskusikan ini, mari pahami terlebih dahulu apa makna kebebasan berekspresi dan hal-hal yang menjadi pembatasnya, agar bisa mempraktikkan kebebasan berekspresi sebaik-baiknya.

Selanjutnya, yang ketiga, Hak Digital dalam wujud Hak Merasa Aman. Pasal 30 UU HAM  berbunyi:  “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.”  Demikian pula Pasal 35 UU HAM: “Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan tentram yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”

Hak merasa aman ini tidak hanya melekat dalam ruang yang non digital. Ruang Digital pun wajib mewujudkan hak asasi manusia tersebut. Maka, Hak Digital ketiga adalah hak untuk merasa aman. Nah, hak untuk merasa aman ini berwujud bebas dari penyadapan massal dan pemantauan tanpa landasan hukum, perlindungan atas privasi, hingga aman dari penyerangan secara daring.

Begitulah warganet. Sebagai warga digital, wawasan terhadap Hak-Hak Digital adalah salah satu aspek yang harus dipahami. Sejauhmana kita bisa menerapkannya, mestinya itu menjadi bahan refleksi, agar kita bisa memanfaatkan ruang digital sebaik-baiknya secara bermartabat.

*Santi Indra Astuti adalah pengajar di Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung dan juga pegiat di Japelidi