SEMARANG – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku pemerintah tengah mempertimbangkan apakah akan menghapus atau melanjutkan sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB). Lantas, bagaimana tanggapan para pakar dan pengamat pendidikan terkait pernyataan presiden Jokowi tersebut?.

Pakar Pendidikan dari UPRIS Semarang, Ngasbun Edgar, mengaku tak ada yang salah apakah nantinya sistem zonasi di hapus atau dilanjutkan. Namun ia justru mempertanyakan, bagaimana hasil evaluasi dan monitoring sistem zonasi PPDB yang sudah berjalan sejak 2017 lalu.

“Karena ketika hasil evaluasi menunjukan bahwa pelaksanaan zonasi itu masalahnya kok lebih banyak, kelemahanya juga banyak, ya maka bisa saja itu diganti atau dihapus. Tetapi saya melihat jika hasil evaluasi itu ada permasalahan tapi wajar dan bisa diatasi, menurut saya lebih efektif memperbaiki masalah yang perlu diperbaikai, menyelesaikan sejumlah hal yang jadi kekdala. Itu (memperbaiki) lebih efektif bagi negara kita,” ujar Ngasbun, Jumat (11/8/2023).

Ngasbun pun menilai sebuah kebijakan tak seharusnya mudah diganti maupun dihapus. Sebab, tahapan-tahapan di dalamnya sudah menjadi catatan dan pegangan untuk pembenahan kedepanya.

“Kebijakan itu kan ada ujiciba sekala kecil, terus lebih luas. Ada analisis kebutuhan, draf kebijakanya bagaimana, pembahasan dan validasinya oleh pada pakar dan ahli bagaimana? Termasuk praktisi dilapangan. Masuka dan lainya? Jadi pertanyaanya bagaimana hasilnya saat ini? Kalau memang biasa (permasalahanya), ya sebaiknya tak perlu rancang baru, lebih ke perbaikan sejumlah sisi,” pintanya.

Saat ditanya apakah sistem zonasi ini sudah sesuai tujuanya yakni pemerataan pendidikan, Ngasbun pun membenarkan bila belum sesuai peruntutanya. Sebab, tak dipungkiri bila di sejumlah kabupaten/kota di Jawa Tengah masih memiliki area blank spot atau daerah tanpa sekolah.

“Memamg tidam semerta-merta langsung berimbas pada pemerataan. Karena pemerataan itu perlu waktu, tak bisa langsung dilihat (hasil tujuanya),” jelasnya.

Oleh sebab itu, lanjut Ngasbun, permasalahan blank spot itulah yang harusnya menjadi catatan bagi pemerintah. Sebab, tujuan pemerataan pendidikan tak akan terpenuhi bila fasilitas dan sarana prasarana di tinggkat bawah belum sepenuhnya terpenuhi.

“Sekali lagi ini perlu waktu, dan harus dibarengi dengan peningkatan fasilitas sekolah. Karena memang benar faktanya ada zona tertentu yang sangat banyak masyarakat tapi sekolahnya kurang atau jauh, dan ada yang terpenuhi. Maka ketika diganti sistemnya, namun ketika anak yang rumahnya jauh tak difasilitasi layanan pendidikan, ya sama saja,” sambungnya.

Sementara itu, Pengamat pendidikan dari Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang, Tukiman Taruno, menilai apapun kebijakan pemerintah sejatinya perlu dihormati. Asalkan, kebijakan tersebut berlaku adil bagi seluruh masyarakat.
“Saya selalu memosisikan ikut saja kebijakan pemerintah, asal asas keadilan bagi seluruh bangsa Indonesia benar-bensr dihormati dan dilaksanakan. Adil itu selalu terkait dengan dua hal, yaitu akses dan distribusinya. Kalau zonasi akan diganti sistem lain (baru?), saya setuju saja sejauh akses dan distribusi sekolah adil untuk siswa atau calon siswa,” tutup Tukiman. (Wan)