Oleh: Siswantini Amihardja

JawaTengah.Online — Mendengar kata sampah, mungkin yang pertama terbayang di benak kebanyakan orang adalah jorok, kotor, bau dan harus dibuang jauh-jauh. Menariknya, berdasarkan penelitian sederhana yang pernah dilakukan ditemukan bahwa dari 50 orang yang diminta untuk mendefinisikan sampah, diperoleh 22 definisi yang menggambarkan sampah, namun pada umumnya menggambarkan sesuatu yang harus dibuang, tetapi dapat bernilai ekonomis jika diolah ulang, termasuk kategori yang harus dibuang adalah mantan pacar.

Pendapat dari responden tersebut menunjukkan bahwa sampah memiliki banyak makna tergantung dari sisi mana melihatnya. Lalu bagaimana sampah yang muncul diera digital? Sampah elektronik? Bukan itu yang ingin dipaparkan dalam tulisan ini, tetapi “sampah-sampah” yang dihasilkan dari kegelisahan generasi Z tentang diri mereka, tentang sesuatu yang harus mereka buang ke dunia digital, sesuatu yang mereka kategorikan “memalukan”, tetapi tetap dapat dilihat oleh “bestfriend”. Seperti juga sampah di dunia nyata, walaupun sudah dibuang tetapi orang lain bisa tetap melihat apa yang dibuang.

Tulisan ini terinspirasi dari kegelisahan sekelompok generasi Z yang sering gamang dengan identitasnya, yang terus menerus melakukan social comparison atau terus menerus membandingkan dirinya dengan orang lain, hingga tak kenal lagi siapa diri yang sebenarnya.

Obrolan dengan 200an orang mahasiswa dimulai dengan pertanyaan sederhana, apa akun media sosial yang paling sering digunakan dan berapa banyak akun media sosial yang mereka miliki. Ya.. jawaban Anda benar, jika dalam benak Anda terlintas kata Instagram sebagai media sosial yang paling banyak dipergunakan dan ya, Anda benar lagi jika menebak bahwa rata-rata memiliki lebih dari satu akun Instagram. Lalu, buat apa mereka memiliki lebih dari satu akun, kalau kemudian teman-teman mereka masih itu-itu juga? Jawabannya ringan saja, buat nyampah!… lho??

Jawaban sederhana buat nyampah itu, ternyata bukan hanya sekedar membuang sesuatu seperti sampah fisik, tetapi lebih jauh ada kegelisahan yang dalam tentang bagaimana mereka harus menampilkan diri di media sosial. Generasi Z, seperti kita kenal merupakan digital native, generasi yang lahir ketika dunia digital sudah berkembang pesat. Mereka tumbuh dan berkembang dengan berbarengan dengan perkembangan dunia digital. Tidak jarang dari mereka diasuh dengan pola-pola yang dibagikan di media digital, sejak kanak-kanak mereka akrab dengan dunia digital. Orangtua mereka sebagian mungkin dari generasi X atau generasi digital immigrant yang terkadang masih gagap dengan kemajuan teknologi yang terus berkembang, atau dari generasi millennial, yang setengah waktunya juga terpapar aktivitas dunia digital.

Mereka anak-anak kita, murid-murid kita, mahasiswa kita, generasi Z yang sering gelisah dengan diri mereka, karena mereka menemukan panutan bukan dari orang terdekat seperti orang tua atau keluarga, tetapi dari orang-orang yang mereka temui di media sosial. Mereka menyadari bahwa berada di media sosial berarti mereka harus terus menerus mengelola kesan, membangun citra diri yang sesuai dengan yang diharapkan kebanyakan teman. Memilih dan memilah, lalu mengedit foto-foto sebelum membagikannya dimedia sosial menjadi keseharian yang seolah-olah wajib dilakukan. Mencari angel-angel foto yang “layak” ditampilkan, mencari momen-momen yang “pas” untuk dibagikan agar sesuai dengan citra diri yang dibangun.

Mereka adalah generasi yang tak berhenti melakukan perbandingan dengan orang lain, setiap postingan “teman” yang tampak lebih sukses, lebih berhasil, lebih berkelas menciptakan kegelisahan dan rasa “insecure” yang instan. Tidak mengherankan jika kemudian banyak yang merasa bahwa media sosial itu “toxic” atau racun terhadap identitas  mereka, membuat mereka gelisah dan tidak puas denga napa yang sudah dimiliki. Tujuan diri bukan lagi ingin menjadi apa kelak, tetapi ingin menjadi siapa seperti siapa nanti.

Keriuhan di media sosial ini kemudian membuat mereka membutuhkan tempat lain dimana mereka bisa menampilkan diri mereka apa adanya, atau tempat dimana mereka bisa memposting sesuatu yang dianggap memalukan. Tempat itu adalah second atau third account bahkan ada yang memiliki empat akun media sosial. Pada akun-akun alternatif tersebut mereka memposting foto-foto yang menggambarkan keseharian mereka tanpa polesan, tanpa editan, atau foto-foto yang menggambarkan hobi yang hanya ingin diketahui oleh teman dekat saja.

Pada akun-akun alternatif ini mereka hanya mengundang teman-teman yang dianggap sahabat atau teman-teman dekat yang mereka percaya, teman-teman yang dianggap tidak akan memberikan penilaian negatif terhadap berbagai postingan mereka. Postingan-postingan di aku-akun alternatif itulah yang mereka sebut “sampah”, yang merepresentasikan upaya mereka membuang kegelisahan, perasaan tidak nyaman dan keharusan untuk mengelola kesan.

Tulisan ini kiranya dapat memberikan gambaran tentang betapa lemahnya pengetahuan dan keterampilan generasi yang lahir di era digital tentang dunia digital, dunia yang membesarkan dan membangun identitas mereka.

Ini tantangan bagi orang tua dan/atau para pendamping generasi Z untuk membantu mereka membangun citra diri yang jujur jauh dari kepalsuan dan pengelolaan kesan yang berlebihan, serta lebih mengenal diri mereka dengan segala potensi yang mereka miliki. Gagasan pentingnya literasi digital bagi semua orang, menjadi sesuatu yang tidak lagi dapat diabaikan, demi kebaikan masa depan para generasi penerus yang akan mengelola kehidupan.

Penulis: Siswantini Amihardja, Universitas Bina Nusantara, Anggota Japelidi