Oleh: Gilang Desti Parahita

JawaTengah.Online — Salah satu buah manis kemerdekaan dan Reformasi Indonesia adalah kebebasan pers dan berpendapat. Terlebih di era digital ini, ruang-ruang berpendapat itu semakin terbuka luas secara online. Weblog, media sosial, aplikasi berbagi video, pesan instan, petisi online, dan sebagainya memungkinkan warganet berekspresi dan berbagi pendapat dan pemikirannya. Namun, berekspresi dan berpendapat di ranah-ranah digital itu perlu dilakukan dengan penuh kesadaran.

Ruang-ruang online dapat bermakna sebagai ruang publik. Artinya, pihak-pihak lain selain diri warganet pengunggah konten bisa mengakses konten tersebut. Dengan pemahaman tersebut, etika berperilaku warganet sebetulnya secara prinsipil tidak berbeda dari etika berperilaku di dunia offline. Kesantunan konten unggahan maupun potensi efek dari unggahan online perlu dipertimbangkan seandainya hal-hal itu berlangsung di komunikasi tatap muka. Misalnya, warganet yang berkomentar dengan menulis “bodoh jangan dipelihara”atau kata-kata kotor lain dapat dikatakan telah melanggar norma kesopanan yang dianut masyarakat Indonesia meski hal itu dilontarkan di media sosial. Kalimat yang sama barangkali takkan terlontar pada komunikasi tatap muka karena adanya norma tersebut. 

Opini dalam kamus Cambridge (https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/opinion) adalah pemikiran atau keyakinan tentang sesuatu atau seseorang. Penilaian dapat didukung fakta, atau hanya divalidasi oleh perasaan pihak yang berpendapat. Berbeda dari fakta yang benar atau salahnya dapat dibuktikan, opini belum tentu dapat dibuktikan. Kemerdekaan berpendapat itu telah dijamin di UU Dasar 1945 Pasal 28E dan sejumlah regulasi  seperti UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. 

Akan tetapi, beropini berpeluang menimbulkan konflik bahkan melanggar hukum apabila opini tersebut ‘merugikan’ orang atau pihak lain, termasuk representasi negara. Merugikan ini dapat berarti menyerang pihak lain, memberi label negatif atau stigma, mengandung ujaran kebencian, menghina, berpotensi berisi informasi menyesatkan/bohong, dan mengandung provokasi untuk makar. Tentu saja, makna “merugikan” bisa sangat subjektif. Dan karena subjektivitas itu, pihak lain yang disebut dapat merasa dirinya/lembaganya diserang.

Oleh karenanya, dalam beropini di dunia nyata maupun online warganet perlu menimbang sejauh mana dukungan fakta-fakta yang ada, kompetensi dirinya sendiri, dampak bagi penerima opini maupun pihak-pihak yang disebutnya, dampak bagi dirinya sendiri, dan etika penyampaiannya. Tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan itu, opini berpotensi ‘merugikan’ diri sendiri dan pihak lain. Dukungan fakta atau pengalaman akan membuat opini lebih kuat. Terlebih lagi bila warganet memang menguasai persoalan yang terkandung dalam opini itu. 

Warganet perlu menimbang kebijakan institusi pekerjaan masing-masing dalam hal penggunaan akun media sosial pribadi. Belum tentu pihak institusi bernaung memberikan keleluasaan untuk berpendapat di media sosial. Jika memang tidak ada pembatasan berpendapat dari institusi pekerjaan, kalimat atau kata-kata yang digunakan dalam opini sebaiknya tidak mengarah ke seksisme atau menyebut pihak lain secara negatif. Beberapa oknum Key opinion leaders (KOL) di media sosial membuat pernyataan yang melecehkan (https://www.youtube.com/watch?v=gUUVlKoW2LI) pihak lain dan ditegur banyak pihak. Seorang warganet dikejar oleh ibu dari Ayu Ting Ting karena dianggap menghina anak Ayu Ting Ting (https://seleb.tempo.co/read/1488606/cucunya-dihina-mental-pengemis-ibunda-ayu-ting-ting-kejar-pelaku-sampai-rumah). 

Berkaca dari kasus-kasus tersebut, kalimat atau kata-kata yang terlontar di media sosial dapat menjadi bumerang apabila warganet tidak melakukan sunting terlebih dahulu.

Di ranah digital, konten opini tersebut tersimpan secara digital dan dapat berulangkali diedarkan di berbagai platform. Apabila opini negatif tersebut beredar secara digital, potensi viralitas konten itu lebih luas dan dampaknya bisa lebih serius. 

Sebaliknya, sebagai penerima pesan, warganet perlu bersikap kritis terhadap suatu opini. Misalnya, ketika ketika Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra mengatakan Jokowi adalah “the King of Lip Service” (https://nasional.kompas.com/read/2021/07/09/14075331/bem-ui-jokowi-the-king-of-lip-service-bukan-serangan-personal-tetapi-kritik?page=all), warganet dapat memeriksa adakah dukungan fakta-fakta dalam pernyataan Leon tersebut dan sejauh mana gagasan Leon dapat diterima/ditolak nalar umum. 

Sejumlah pihak yang dianggap berkompetensi pun ternyata membuat pernyataan yang tidak selaras dengan bukti-bukti ilmiah global misalnya dalam kasus dr. Louisa Owen (https://www.merdeka.com/sumut/5-fakta-dr-lois-owien-dokter-yang-tak-percaya-covid-19-kini-ditangkap.html). 

Membandingkan opini dengan sumber-sumber informasi lainnya harus dibiasakan warganet. Bahkan bukan tidak mungkin, opini yang ternyata mengandung hoaks bisa menelan nyawa anggota keluarga kita (https://www.devex.com/news/hoax-killed-my-father-indonesia-s-other-pandemic-100488).  

Saat ini, tindakan berpendapat di media digital dan online menjadi lebih riskan untuk dikriminalisasi oleh sejumlah pihak yang ‘dirugikan’. Sejumlah regulasi dan kebijakan yang diterapkan di Indonesia mengatur tindakan beropini di dunia online maupun offline. UU No.11/1998 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), pasal-pasal makar, penghinaan terhadap pimpinan negara, dan penodaan agama di KUHP kerap digunakan untuk menjerat (https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5d2d75a9b17f0/pembatasan-berkomentar-di-medsos-merampas-hak-kebebasan-berpendapat/) warganet yang berpendapat di dunia maya. Vokalis Superman is Dead (SID) Jerinx sempat mendekam di penjara pada 2020 karena ia menuduh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai “kacung WHO” (https://tirto.id/kronologi-kasus-jerinx-dan-idi-soal-corona-hingga-diperiksa-polisi-fWh6). Deretan sejumlah nama juga berurusan dengan hukum akibat konten yang diunggah secara online seperti Dandhy Dwi Laksono (https://megapolitan.kompas.com/read/2019/09/27/21025161/icjr-sebut-kasus-dandhy-dwi-laksono-sebagai-try-out-rkuhp), Victoria Koman (https://cekfakta.tempo.co/fakta/374/fakta-atau-hoaks-benarkah-veronica-koman-menyebut-ada-penculikan-mahasiswa-di-asrama-papua-di-surabaya-sebagaimana-narasi-kominfo), dan dan ratusan nama lainnya (https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt6033d91c46c27/melihat-tren-korban-jeratan-uu-ite?page=2). 

Belum cukup melalui regulasi tersebut, pengawasan perilaku digital warganet Indonesia dilakukan melalui instansi kepolisian. Polri meluncurkan program virtual police untuk mengawasi perilaku berkomunikasi digital warganet yang menghina suku, agama, ras dan adat (SARA) (https://nasional.kompas.com/read/2021/03/17/14414171/mengenal-virtual-police-definisi-dasar-hukum-hingga-polemiknya?page=all).

Regulasi dan kebijakan yang berpotensi mengekang kebebasan pers dan berpendapat di muka umum itu tetap harus ditinjauulang. Hal-hal itu membuat warganet enggan beropini dan mengkritik pemerintah secara terbuka di ruang-ruang online karena pertimbangan potensi dampak pada dirinya sendiri. Tidak ayal, media mural pun digunakan meski akhirnya dihapus (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58220409).

Untuk sekarang ini, selama warganet beropini secara sehat dan beretika, warganet tidak perlu mengkuatirkan kriminalisasi tersebut sebab pada dasarnya konstitusi negara Indonesia menjamin kebebasan berpendapat itu. Apalagi Presiden Joko Widodo kembali menegaskan pemerintah membutuhkan kritik dari warganya (https://nasional.kompas.com/read/2021/08/16/10124721/jokowi-saya-menyadari-banyak-kritik-kepada-pemerintah).

Jadi, mari kita tetap beropini dengan bijak, yaitu tanpa menciptakan misinformasi, maupun berpotensi merundung, menghina, membenci, dan melecehkan pihak lain.

Gilang Desti Parahita, anggota Japelidi