Oleh: Ratri R. Kusumalestari
JawaTengah.Online — Istilah konten receh menjadi tren belakangan ini. Banyak orang dalam berbagai kesempatan, beragam bidang ilmu dan beraneka konteks, menggunakan istilah konten receh untuk menggambarkan suatu konten media yang dibuat dengan biaya murah dan usaha yang relatif kecil. Namun tak sedikit pula orang mengartikan konten receh sebagai barang murahan, tidak bermutu, tidak mendidik dan hanya memubazirkan kuota, biasanya dikaitkan dengan jokes receh atau unggahan yang memang minim manfaatnya. Terlepas dari apa pun pemaknaannya, konten receh tetap banyak diminati.
Apa saja yang masuk dalam kategori konten receh? Silakan berselancar di akun-akun media sosial mulai dari Twitter, Instagram, Youtube, hingga TikTok. Mari berhitung, berapa banyak konten yang dibuat dengan mudah dan murah diunggah di sana. Tak dapat dipungkiri, pandemi memiliki andil dalam makin maraknya industri ini. Ketika orang mulai jenuh akibat di rumah saja, mereka menghabiskan lebih banyak waktu mencari hiburan di dunia maya. Pada saat yang bersamaan, industri media entertainment juga mengalami perubahan drastis dalam proses produksinya. Banyak pelaku dunia hiburan kemudian beralih membuat akun pribadi yang kontennya dibagikan di dunia maya. Meminjam istilah McKee (2005), ini merupakan salah satu bentuk trivialisasi yang terjadi di industri media dan kini kian meluas ke ranah media sosial. Trivialisasi merujuk pada keadaan media yang seharusnya memberikan informasi berbobot, namun sebaliknya memberikan informasi receh yang tidak penting.
Perlu dipahami bahwa konten receh tidak dibuat tanpa tujuan. Kalau pun dikatakan untuk sekedar iseng dan menghibur orang lain, pada ujungnya konten receh bertujuan untuk meningkatkan engagement di sosial media atau dengan kata lain, menjaring perhatian banyak orang. Kerumunan pengikut akun media sosial ini menjadi sebuah oase yang menyegarkan bagi para pengiklan untuk mempromosikan sekaligus menjual produk. Para pengikut ini juga sering dijadikan bagian dari strategi branding bagi perusahaan bahkan lembaga pemerintahan, atau menjadi sasaran empuk propaganda politik dan ideologi tertentu. Dalam konteks ini, meminjam pandangan beberapa ahli industri media, khalayak dipandang sebagai pasar dan hubungan antara khalayak dan media bersifat ‘kalkulatif’, bukan lagi normatif dan sosial.
Dalam industri media sosial, konten receh adalah salah satu komponen penting. Sebagaimana industri pada umumnya, industri media melibatkan proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Produk yang dihasilkan berupa konten yang didistribusikan kepada konsumen. Namun ada hal yang berbeda pada konteks media sosial. Menyitir konsep budaya konvergen menurut Jenkins (2006), kita dapat melihat adanya partisipasi khalayak dalam produksi dan hilangnya batasan antara profesional dan amatir. Pada gilirannya, ini berujung pada mengaburnya batasan antara produsen dan konsumen. Semua orang bisa memproduksi konten, mendistribusikan, sekaligus mengonsumsinya.
Selain menciptakan pasar untuk industri lain, konten receh juga dapat disebut sebagai komoditas dalam industri media. Sifatnya yang ringan, mudah dipahami, mengandung humor, dan humanis, menjadikan konten receh sebagai barang dagangan yang laris manis. Ada dua hal yang menjadi daya magnet konten receh di media sosial. Pertama, mampu mengalihkan perhatian orang karena sifatnya yang tidak biasa atau unik. Kedua, personifikasi yang membuat orang merasa dekat dan terhubung dengan topiknya. Melalui konten receh, khalayak dibuat mengalami momen aha!, ihh gue banget, iya ya bener juga, oh ternyata begitu atau ungkapan sejenis. Secara psikologis, konten receh lebih ‘relate’ dengan keseharian khalayak.
Bagaimana konten receh bisa tumbuh subur? Sejauh ini masih menjadi perdebatan apakah media yang menciptakan pasar atau pasar yang membentuk media. Ditinjau dari kacamata ekonomi media, menurut McQuail (2010), industri media dipandang memanfaatkan sumber daya yang ada guna memproduksi konten dan mendistribusikannya kepada khalayak untuk memenuhi permintaan atas kebutuhan informasi dan hiburan. Artinya pasar yang membentuk media dan mempengaruhi konten media.
Pandangan lain melihat ada para kapitalis media sosial yang diuntungkan di balik produksi, distribusi dan konsumsi konten receh. Seiring perkembangan teknologi digital, munculnya media sosial dan terbentuknya budaya konvergen, maka tercipta lah pasar bagi industri konten receh. Produksi konten receh terus meningkat sejalan dengan adiksi khalayak yang terbentuk tanpa disadari. Khalayak telah terhegemoni oleh ideologi yang diciptakan kapitalis media sosial. Kalau boleh meminjam istilah Jaron Lenier (2021), khalayak telah dibuat ketagihan hingga menjadi pecandu media sosial.
Lalu, apa masalahnya? Kembali pada konsep budaya konvergen yang mana semua orang dapat menjadi produsen sekaligus konsumen. Ini akan berbahaya jika tidak dibarengi dengan literasi media digital yang sepadan. Para pegiat literasi media mengkhawatirkan bahwa maraknya konten receh merupakan pertanda semakin berkurangnya kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis, segala sesuatu menjadi serba instan, dangkal dan hanya untuk kesenangan sesaat. Konten receh yang melimpah ruah dapat menggeser keberadaan konten informasi yang positif, berbobot dan jauh lebih memiliki manfaat. Hal yang mendominasi, lama kelamaan akan dianggap sebagai sebuah kewajaran dan pada gilirannya akan membentuk budaya baru.
Di sini lah literasi mengambil peran. Bukan berarti konten receh dilarang, tetapi lebih kepada ajakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan analitis ketika menjadi konsumen sekaligus produsen konten media sosial. Lebih bijak menggunakan waktu dan kuota untuk hal-hal yang lebih bermanfaat dan memiliki efek baik untuk jangka panjang. Bukan untuk kesenangan sejenak yang tanpa disadari bisa menjadi candu dan merusak.
*Ratri R. Kusumalestari adalah Dosen Fikom Unisba dan anggota Japelidi