Oleh: Ade Irma Sukmawati

JawaTengah.Online —- Media sosial kini telah menjadi bagian dari interaksi manusia modern yang dituntut berkomunikasi secara aktif dan cepat. Pengguna media sosial tidak lagi didominasi oleh kelompok usia tertentu, karena telah digunakan oleh hampir seluruh kelompok usia.

Beragam konten dibagikan, diproduksi, diunduh, bahkan direproduksi oleh jutaan penggunanya. Adanya pemahaman bahwa kebebasan berekspresi di media sosial adalah hal lumrah yang diartikan sebagai kebebasan menjadi diri sendiri tanpa batas. Ini menimbulkan beragam masalah dalam penggunaan media sosial sehingga memicu gesekan antar pengguna bahkan menimbulkan konflik sosial yang dapat bedampak pada masalah hukum bagi penggunanya. Salah satu dari sekian banyak kasus yang muncul pada penggunaan media sosial adalah unggahan konten dark jokes atau dikenal sebagai guyonan pada hal yang dianggap tabu juga sensitif.

Sebelum kita pahami seputar dark jokes dalam media sosial tidak ada salahnya kita pahami apa sih sebenarnya dark jokes itu. Dark jokes bukan hal yang baru di Indonesia, guyonan atau lelucon pada hal yang dianggap tabu juga sensitif telah ada dan dianggap sebagai bumbu keakraban dalam menjalin hubungan dengan sesama. Dark jokes sendiri biasanya akan dilontarkan saat individu dikelilingi oleh teman dekat maupun sahabat. Interaksi yang diantarai oleh media sosial dimana media sosial seolah-olah menggantikan ruang privat juga turut memigrasikan keberadaan dark jokes. Dark jokes yang sejatinya merupakan bagian dari pembahasan hal tabu juga sensitif serta terbatas kini muncul secara bebas bersamaan dengan tingginya jumlah pengguna media sosial.

Dark jokes dapat muncul dalam meme (gambar lucu disertai narasi), kutipan kata lucu bahkan dapat muncul melalui unggahan cuitan, status maupun pendapat dalam media sosial. Ragam dark jokes yang muncul bergantung dari isu yang disoroti maupun cara dalam membahas isu tersebut.

Pertanyaan yang banyak muncul pada keberadaan dark jokes adalah pantas tidak sih dark jokes kita munculkan dalam interaksi di media sosial? Menjawab pertanyaan tersebut mari kita tilik keberadaan media sosial dan peran media sosial dalam membagikan hal personal kita.

Ruang Publik vs Ruang Privat

Media sosial kini telah menjadi bagian penting dalam interaksi kita, utamanya di masa pandemi ini. Mulai dari bertukar pesan, memberi kabar secara audio maupun visual bahkan membagikan informasi. Sering terjadi adanya pemahaman yang tidak komprehensif pada keberadaan media sosial oleh pengguna. Media sosial dianggap sebagai bagian dari ranah personal penggunanya sehingga pengguna seolah-olah bebas dalam membagikan apapun dan bersikap seperti apapun yang diinginkan. Media sosial kemudian muncul sebagai ruang yang seolah bebas nilai dan permisif pada apapun yang dibagikan oleh pengguna.Dikotomi ruang publik dan privat dalam media sosial tidak memiliki batas yang jelas, sehingga  perlu pemahaman lebih lanjut mengenai batas antar ruang ini.

Kurangnya pemahaman pada definisi ruang dalam media sosial sering menimbulkan permasalahan bagi penggunanya. Pada kasus dark jokes yang dibagikan dalam media sosial-pun hingga kini menuai kontroversi. Beberapa kasus unggahan dark jokes sempat menuai pro dan kontra, sebut saja kasus unggahan salah satu stand-up komedian Indonesia yang menyikapi isu COVID 19 dengan mengunggah cuitan ucapan selamat tahun baru imlek yang disertai kalimat bernada rasisme. Unggahan ini berupa cuitan pada platform media sosial twitter di awal tahun 2020. Kasus serupa juga terjadi saat Indonesia dilanda kedukaan akibat tenggalamnya KRI Nanggala 402 di awal tahun 2021. Salah satu orang yang dikenal dalam media sosial, sebagai capres fiktif, mengunggah meme dark jokes yang bermuatan pornografi dalam kalimatnya. Kasus-kasus serupa hingga kini masih terjadi, dengan pro-kontra yang tak kunjung mereda pada pengguna media sosial.

Netiket

Mari kita sudahi perdebatan pada kesamaan sudut pandang mengenai ruang yang tersedia dalam media sosial, apakah ruang tersebut ruang privat atau ruang publik? Tantangan yang muncul pada keberadaan media sosial dengan pengguna masif kian hari semakin kompleks. Unggahan dengan konten bermuatan dark jokes juga berkembang dengan cepat dan cenderung bergerak tanpa kendali sehingga keberadaannya seolah melekat pada peristiwa atau isu apapun. Memahami dark jokes tidak dapat dilepaskan dari individu pembuat konten tersebut, dimana produksi dark jokes dipengaruhi tidak hanya oleh faktor sosial, budaya dan pemahaman pada keyakinan yang dipeluk saja, namun faktor literasi media digital juga berperan penting pada produksi dan keberadaan dark jokes. 

Salah satu aspek dalam literasi media digital adalah mengenal serta memahami etika digital atau netiket. Netiket adalah tata krama dalam menggunakan internet yang menekankan bahwa interaksi di media sosial tidak berbeda dengan interaksi tatap muka secara langsung. Netiket sendiri memiliki dua jenis yakni netiket dalam komunikasi antar personal dan komunikasi massa.

Prinsip dasar yang membangun netiket adalah kesadaran, integritas, tanggung jawab dan kebajikan. Kesadaran adalah prinsip kemampuan memahami kapan waktu yang tepat untuk berinteraksi, hindari berinteraksi di media sosial saat kondisi emosi tidak terkendali. Integritas adalah prinsip kejujuran dan otentifikasi diri kita saat muncul dalam ruang media sosial. Tanggung jawab adalah prinsip untuk rela dikonfirmasi serta memahami konsekuensi dari apa yang dilakukan dalam ranah media sosial. Prinsip terakhir adalah kebajikan yang artinya dalam berinteraksi kita wajib peduli dengan rasa kemanusiaan serta menjaga martabat sesama manusia.

Dengan netiket yang baik diharapkan kita dapat cerdas memilah dan memilih konten yang dibagikan pada khalyak. Mari banjiri media sosial kita dengan konten-konten positif dan hindari kesalahan membagikan konten yang tidak sesuai, semisal dark jokes.

Ade Irma Sukmawati, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) dan anggota Japelidi