KUDUS – Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah (Jateng) mengaku gelisah dengan keputusan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang memutuskan kenaikan cukai rokok sebesar 10 persen. Bukan karena tak setuju, namun kenaikan tersebut dapat membuat peredaran rokok ilegal makin masif.
PR Rajan Nabadi lokasi KIHT Kudus, Sutrishono, mengatakan hanya bisa pasrah mengikuti kebijakan yang telah pemerintah tetapkan. Ia juga khawatir dengan peredaran rokok ilegal yang belum tuntas di Jateng.
“Untuk KIHT khususnya gilik golongan tiga seperti saya ini hanya bisa mengikuti apa yang ditetapkan pemerintah. Cuma saya mohon yang berkaitan dengan cukai rokok ilegal harus di bersihkan terlebih dahulu dilapanganya,” kata Sutrishono, Selasa (15/11/2022).
Lebih lanjut, Sutrishono menilai permasalahan dilapangan mengenai peredaran rokok ilegal hingga kini belum tuntas. Sehingga, kenaikan cukai rokok sebesar 10 persen itu diyakini bisa membuat peredaran rokok ilegal atau tanpa cukai semakin masif.
“Kalau lapangan enggak bersih terus cukai naik. Bisa-bisa gulung tikar. Karena persangingan enggak sehat. Kenapa enggak sehat? Karena tak bisa dipungkiri kalau masyarakat itu mencari (rokok) yang murah dan enak, sedanhgkan kami (ilegal) enak tapi mahal, karena bayar pajak,” sambung dia.
Sedangkan saat disinggung mengenai pernyataan para petani tembakau yang menyebut produsen rokok menurunkan harga produksi atau beli tembakau, Sutrishono tak menjawab secara pasti. Ia menegaskan jika saat ini tembakau kualitas baik sedang sulit dicari lantaran kondisi cuaca dan ditambah harganya tergolong mahal.
“Bahan baku rokok sedang naik, seperti tembakau dan cengkeh. Kami belinya juga tergantung grade (kualistas). Misal mengambil grade bakau Medura, itu (tembakau) grade A dan harga diatas Rp 50 ribu, Temanggung juga sama, tapi gradenya disana terbalik, yang bagus E. Terus weleri, greadnya itu A tapi kisaran Rp 40 ribu keatas. Grade biasa atau yang kurang bagus itu kisaran Rp 40 ribuan” beber dia.
Sutrishono pun berharap, bila memang tetap harus mengalami kenaikan cukai, kenaikanya diharap tak sebesar 10 persen. Namun, secara bertahap atau bisa 5 persen.
“Kalau bisa naik jangan 10 persen. Mungkin 5 persen. Terus lapangan bersih dengan rokok ilegal. Jadi persanginan bisa sehat,” tutup dia.
Diberitakan sebelumnya, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jateng mengaku kecewa dengan keputusan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang memutuskan kenaikan cukai rokok sebesar 10 persen. Ia bahkan berani menyebut Sri Mulyani sebagai hama bagi petani tembakau di wilayah Jateng.
Tak hanya itu, APTI Jateng menyebut kenaikan cukai rokok mencapai 10 persen itu turut mempengaruhi harga jual tembakau dari tingkat petani. Bahkan, industri rokok disebut sudah menyikapi kenaikan cukai itu dengan menekan harga produksi.
“Informasi itu kenaikan cukai rokok 10 persen] sudah dihembuskan sejak petani masuk masa panen. Hal itu direspons industri dengan menekan harga. Kenapa harga ditekan? Karena industri menakan cost produksi untuk mengimbangi kenaikan cukai. Di sini jelas petani yang terkena dampak,” kata Ketua APTI Jateng, Wisnu Brata. (Wan)