SEMARANG, Jawa Tengah. Online : Jika target pertumbuhan ekonomi 7 persen ingin berhasil, semua fihak harus kerja keras. Semua organisasi perangkat daerah (OPD) dan semua elemen pemerintahan harus menjalankan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Jawa Tengah 2018-2023, dengan konsisten.

Selain itu, menurut Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah Dr. Ir. H. Alwin Basri, MM, M.IKom, harus komitmen untuk melibatkan semua elemen dalam proses tersebut, baik dari kalangan akademisi, praktisi dan lembaga masyarakat lainnya.

Untuk menyokong target pertumbuhan ekonomi tersebut, ada beberapa hal yang penting harus dilakukan, di antaranya pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat yang berbasis pada kearifan lokal.

Saat ini laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi secara positif pada lima tahun terakhir. Dari 5,14 persen pada 2014 menjadi 5,32 persen pada 2018, dan tahun 2019 mencapai 5,66 persen.

Selama dalam kurun waktu lima tahun, kenaikannya tidak sampai satu persen.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, juga harus memperhatikan infrastruktur di mana saat ini Jawa Tengah sedang membangun 162 proyek dengan nilai sebesar Rp 292 triliun.

Ruas tol baru juga mempercepat pergerakan penyaluran barang dan jasa. Hal ini sekaligus membuka potensi bertumbuhnya kapasitas dan kualitas jalan, yang disesuaikan dengan peruntukannya seperti tertuang dalam rencana tata ruang dan wilayah.

“Perlu pengaturan kembali status jalan nasional, provinsi dan kabupaten dengan adanya ruas jalan tol baru,” katanya.

Alwin mengatakan infrastruktur di Jawa Tengah bagian selatan tetap dikembangkan, selain pembangunan jalan pantai selatan (Pansela), tol Yogyakarta-Cilacap-Bandung dan menghubungkan tol trans Jawa dengan Jawa bagian selatan melalui Pejagan-Cilacap.

“Pembukaan wilayah, disesuaikan dengan tata ruang kabupaten/kota masing-masing ” terangnya.

Pengembangan infrastruktur di selatan Jawa, tambah dia tidak hanya untuk kepentingan industri tetapi juga bidang lainnya, pertanian dan pariwisata. Sebagian wilayah di bagian selatan Jawa, memang tidak diperuntukkan sebagai kawasan industri.

Kendala dalam pembangunan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, adalah kesiapan tata ruang dan penyediaan lahan di beberapa daerah di Jawa Tengah.

Peluang Sektor ESDM

Mengenai peluang investasi di Jawa Tengah, satu di antaranya pada sektor ESDM. Potensi investasi dalam sektor ESDM yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi, di antaranya potensi di bahan galian konstruksi, industri, dan energi baru terbarukan (EBT).

“Khusus potensi pertambangan untuk bahan baku mendukung industri semen, antara lain batu gamping, tanah liat, pasir kuarsa dan tras,” katanya.

Sedangkan potensi pertambangan mineral pendukung lainnya, di antaranya andesit yang mempunyai cadangan hampir 200 juta ton, pasir dan batu, tanah urug, basalt, feldspar dan clay di mana cadangannya masing-masing mencapai puluhan juta ton.

Pasir gunung, tras dan marmer masing-masing mempunyai cadangan jutaan ton, serta pasir kuarsa yang masih memiliki cadangan hampir satu juta ton.

“Ada beberapa industri semen yang berinvestasi di Jateng, di antaranya yang sudah operasi produksi, PT Semen Gresik Rembang, PT Sinar Tambang Artha Lestari/Semen Bima dan PT Solusi Bangun Indonesia (eks Semen Holcim) ” jelasnya.

Sedangkan yang masih dalam tahap eksplorasi adalah PT Indocement, PT Artha Parama Indonesia dan PT Sewu Surya Sejati. Sementara PT Semen Grobogan masih dalam tahap konstruksi. Untuk rencana pendirian pabrik semen di Pati oleh Indocement Group saat ini masih tahap IUP Eksplorasi.

Dr. Alwin bersama anggota Komisi D DPRD Jateng saat melakukan peninjauan di Bandara Ngloram Cepu Blora

“Pendirian pabrik semen di Pati mengalami kendala karena adanya pemenuhan data hidrogeologi di wilayah WIUP PT SMS yang belum lengkap/selesai karena terkendala masalah sosial,” katanya.

Potensi pertambangan di Jawa Tengah sangat mendukung pertumbuhan ekonomi, dengan ketersediaan lebih dari 25 komoditas tambang sebagai bahan baku utama pembangunan infrastruktur. Tercatat investasi dari pertambangan di Jawa Tengah lebih dari Rp 5,9 triliun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 2.634 orang.

Selain tambang dari sumber daya tidak terbarukan, juga ada dari yang terbarukan di antaranya sumber energi panas bumi. Untuk wilayah kerja panas bumi (WKP) di Dieng, Ungaran, Umbul Telomoyo, Lawu, Baturaden dan Guci menurut Alwin pengelolaannya berada di pemerintah pusat sedangkan pemerintah daerah mengelola untuk pemanfaatannya langsung, misalnya pemandaian air panas.

Menurutnya, untuk sementara baru WKP di Dieng yang sudah berproduksi dengan pengelola Geodipa, sedangkan Umbul Telomoyo dan Baturaden masih dalam tahap eksplorasi. Untuk Ungaran masih dalam tahap social mapping dan Lawu baru dalam tahap izin lokasi dan lingkungan.

“Kendala terbesar dalam pengelolan energi panas bumi, antara lain karena merupakan investasi jangka panjang, high resiko dan high investment, penolakan mastarakat karena kurang paham terkait pengusahaan panas bumi dan sebagian besar berada di wilayah hutan sehingga sulit dalam pemenuhan ijin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH),” tutur Ketua Komisi D DPRD Jateng itu.

Selain pertambangan, ada juga potensi migas di beberapa sumur tua, di antaranya di Lapangan Semanggi ada 87 sumur, Lapangan Banyubang dengan 31 sumur, Lapangan Metes ada 8 sumur, Lapangan Banyuasin 22 sumur, Lapangan Nglobo ada 44 sumur, Lapangan Ledok dengan 253 sumur, Lapangan Trembul dengan 9 sumur, Lapangan Trembes 6 sumur yang semuanya terletak di Blora.

Kemudian Lapangan Tungkul dengan jumlah 41 sumur di perbatasan Blora dan Grobogan. Lalu di Lapangan Gabus-Bappo dengan 41 sumur di Grobogan, Lapangan Keling di Jepara dengan 1 sumur dan 28 sumur di Lapangan Klantung, Kendal. (ADV)