Oleh: Dewi Maria Herawati*

JawaTengah.Online — Perkembangan teknologi membuat terciptanya ruang-ruang baru dalam berekspresi dan berkreasi. Ruang baru ini dianggap sebagai representasi dari diri pengguna di dunia maya. Oleh karenanya, sering kali ditemukan representasi diri dalam ragam bentuk, mulai dari personalisasi akun media sosial pribadi, unggahan foto, video, hingga rangkaian kata dalam kolom status dan komentar. Media sosial dinilai sebagai wadah yang tepat untuk pencitraan diri seperti selayaknya di dunia nyata. Dengan demikian, penggunanya memenuhi setiap sudut dari akun media sosialnya dengan setiap detail dari kehidupannya.

Fenomena ini sangat berbeda pada saat di awal penggunaan internet pertama kali. Pengguna internet berusaha untuk menciptakan karakter yang berbeda dari dirinya di kehidupan nyata. Mereka lebih cenderung menjadi anonim dengan karakternya masing-masing. 

Menurut survei yang dilakukan oleh GWI dalam The Psychology of Social Media pada tahun 2020, penggunaan media sosial ditujukan untuk beberapa hal. Mulai dari bersilahturahmi dengan keluarga, mengisi waktu kosong,  melihat sesuatu yang sedang trending, hingga mengunggah kehidupan pribadi.  Sebanyak 22% pengguna internet membuka media sosial untuk alasan pengunggahan kehidupan pribadi. Pengguna internet khususnya media sosial memberikan ruang-ruang pribadinya di laman akun media sosial. Mereka mengunggah semua itu dengan sadar dan rela, serta terbuka. Mulai dari hal yang umum seperti data pribadi hingga hal yang tabu  untuk disebarluaskan di dalam masyarakat.

Keterbukaan diri atau self-exposure yang dilakukan di media sosial dalam tiga bentuk, yaitu foto, video dan teks. Ketiganya sering dipakai untuk mengunggah informasi pribadi si pengguna media sosial. Seperti contohnya, belakangan ini banyak yang mengunggah foto sertifikat vaksin atau tiket perjalanan. Bentuk teks sering digunakan untuk mengunggah data pribadi seperti tanggal lahir, alamat tempat tinggal, hingga cerita pribadi yang bisa saja sifatnya pribadi di kolom status atau komentar. Sejalan dengan kedua bentuk di atas, video juga kerap dipilih untuk memperlihatkan cerita dan ruang pribadi dari si pengguna. Hal ini banyak dijumpai di aplikasi YouTube, Instagram dan sejenisnya. 

Para pengguna YouTube atau disebut YouTuber sering mengunggah video yang berisikan hal pribadi, seperti tur isi dari kamar dan rumahnya dan talkshow tentang berapa nilai dari kekayaannya, serta obrolan mengenai cerita pribadi terhadap isu yang tabu untuk diangkat ke masyarakat. Isu tabu ini banyak berisikan pengakuan diri dari YouTuber tersebut tentang kehidupan seksualnya dengan pasangan, pengakuan tentang perubahan seksual (transgender), cerita tentang aib yang dilakukan, dan sebagainya.

Sebelumnya, generasi awal pengguna internet tidak ingin menampilkan kehidupan pribadinya dikarenakan adanya ketakutan penyalahgunaan data pribadi dan menimbulkan tindak kriminalitas terhadap dirinya. Begitu juga dengan cerita kehidupan pribadinya. Mereka berusaha tidak mengasosiasikan dirinya di dunia maya dengan dunia nyata.

Dampak dari fenomena ini menimbulkan pergeseran budaya akan self-exposure di lingkup media sosial. Dengan banyaknya terpaan akan fenomena ini, masyarakat mulai menerima terhadap hal-hal tabu yang diungkapkan oleh para influencer tersebut. Memang tidak dapat dianggap seluruhnya menerima karena pendapat masyarakat masih terbagi dalam tiga kelompok besar, yaitu kelompok pertama yang menerima dan memahami bahkan memberikan dukungan, kelompok kedua tidak menyetujui, dan kelompok ketiga yang berusaha tetap netral tanpa menyetujui ataupun menolak. Kelompok masyarakat ini dapat dilihat dari unggahan komentar di video, foto, ataupun teks yang diunggap para influencer tersebut.

Hal ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai sosial yang dianggap tabu oleh masyarakat sudah bergeser atau luntur. Oleh karenanya, mereka menganggap bahwa ketabuan yang diceritakan atau diunggah di media sosial adalah hal yang lumrah atau biasa. 

Terlepas dari adanya penerimaan masyarakat akan self-exposure ini, ada baiknya pengguna media sosial bisa lebih bijak dalam memilah-milah mana yang pantas dan layak diunggah dalam akun pribadinya. Hal ini dikarenakan apapun yang diunggah di media sosial akan menjadi ranah publik meskipun dalam akun pribadi. Dan sejatinya jejak digital akan tersimpan selamanya. Selain itu, para pengguna media sosial juga harus lebih memperhatikan unggahannya dikarenakan adanya keberadaan followers mereka. Sama halnya dengan efek jarum suntik di media massa, maka unggahan dari para influencer juga akan memberikan dampak kepada para pengikutnya. 

*Dewi Maria Herawati, pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta