JawaTengah.Online — Petani dan Penyuluh Pertanian di Temanggung sudah menyelesaikan Sekolah Lapang Iklim (SLI) pada 15 Oktober 2020 lalu. Mereka mendapat bekal ilmu pengetahuan untuk memahami cuaca dan iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Sekolah lapang iklim yang dimulai sejak  tanggal 9 Juli 2020 atau pada saat tanaman tembakau berumur sekitar 75 hari dilakukan secara virtual/daring dan praktek langsung dilapangan sebanyak 10 kali selama 3 bulan, pertemuan tatap muka tetap memperhatikan protokol kesehatan untuk memutus rantai penularan Covid-19.

Bupati Temangung HM Al Khadziq menyambut baik SLI ini, “Semoga dalam pelaksanaanya dari tahun ke tahun akan terus berlanjut, saya sampaikan terimakasih atas inisiasi Bpk Sujadi bisa terlaksana kegiatan SLI ini melalui BMKG.”

Bupati Menambahkan secara umum kondisi tanaman tembakau dan olahan tembakau bagus, produksi perluasan meningkat, akan tetapi stigma kemarau bash menjadikan harga jual tembakau kering rendah.

“Di kawasan Legoksari dan sekitarnya masih bisa menghasilkan Grade G bahkan ada yang Grade H (tembakau yang memiliki warna hitam mengkilap dan aroma keras), atau tembakau srintil yang merupakan tembakau terbaik di dunia, yang menjadi ciri khas tembakau Temanggung”, tambahnya

Kepala BMKG Semarang Tuban Wiyoso mengatakan Kegiatan SLI merupakan suatu kegiatan interaktif menggunakan metode Belajar Sambil Praktek (Learning by doing). SLI operasional pendampingan tumpangsari tembakau kopi ini merupakan kelanjutan dari SLI bawang merah di Desa Legoksari. Kegiatan pendampingan ini dilaksanakan karena pada saat SLI bawang merah belum semua materi disampaikan secara optimal disebabkan adanya pandemi Covid19.

SLI ini diikuti oleh 27 petani unggulan yang ada dibeberapa desa di Kecamatan Tlogomulyo (15 orang dari Desa Legoksari, 4 orang dari Desa Langgeng, 4 orang dari Desa Losari dan 4 orang dari Desa Pagersari), dan 3 orang PPL dari BPP Tlogomulyo,  

” Kopi yang ditanam arabika dan tembakau varietas kemloko 5 yang lebih banyak menghasilkan tembakau unggulan, ” kata dia.

Dikatakan materi antara lain pengamatan agroekosiatem, pengenalan alat ukur cuaca dan iklim, penyimpangan iklim, analisis usaha tani, dan intensifikasi, panen dan pasca panen kopi serta pemahaman informasi prakiraan iklim dan musim.

Perwakilan petani, Robin Ekajaya mengatakan telah ada pergeseran petani dalam menanam tembakau dari penggunaan ilmu titen, menjadi penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.”

Penggunaan ilmu pengetahuan terbukti mampu menjawab tantangan, sehingga hasil tembakau tahun ini bagus sehingga tetap muncul srinthil gred G dan H,” kata dia sembari mengatakan  petani sempat khawatir tidak muncul tembakau srintil, karena banyak hujan sehingga petani terapkan  aplikasi yang didapat dari Sekolah Lapang Iklim.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan “Petani dan Penyuluh Pertanian perlu dibekali pemahaman melalui sosialisasi secara massif dan menerus tentang cuaca dan iklim. Dengan adanya pemahaman tersebut, selain produksi yang dihasilkan dapat terjaga, dan bahkan dapat semakin meningkat, informasi dari BMKG dapat dimanfaatkan secara maksimal guna mendukung ketahanan sektor pertanian dan kedaulatan petani, terutama dalam masa New Normal saat ini,”.

Dwikorita mengatakan, penyampaian materi dan konsultasi dilakukan secara virtual dengan bahasa sederhana, agar mudah dimengerti oleh Petani dan Penyuluh Pertanian. Metode konsultasi jarak jauh ini dilaksanakan sebagai langkah pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19, tanpa menghilangkan substansi pokok dalam Sekolah Lapang Iklim tersebut.

Selanjutnya Dwikorita menambahkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia akan terkena dampak anomali iklim La Nina, yang terjadi pada musim hujan. Berdasar prakiraan hanya Sumatera yang tidak terkena.  “Hanya Sumatera yang dimungkinkan tidak terkena La Nina. Tetapi curah hujan di Indonesia tetap saja tinggi, sehingga ada potensi bencana seperti banjir dan longsor,”.

Dia mengatakan dampak La Nina ditandai dengan meningkatkan curah hujan 20 – 40  persen dari curah hujan normal. Fenomena ini terjadi karena suhu suhu permukaan laut Samudra Pasifik lebih dingin yakni mendekati -1 derajat celsius. Sementara suhu permukaan laut di Indonesia lebih hangat.  

“Perbedaan suhu ini timbulkan aliran udara basah dari Pasifik ke Indonesia, yang lalu menimbulkan curah hujan lebih tinggi,” kata dia.