Oleh Lestari Nurhajati
JawaTengah.Online — Media sangat erat mempengaruhi budaya, sementara secara langsung dan tak langsung budaya mempengaruhi juga perubahan perilaku masyarakat, hal ini secara detil dijabarkan oleh Turrow dalam bukunya yang bertajuk Media Today: An Introduction to Mass Communication (2009). Hal ini pun terjadi di Indonesia perubahan bentuk media yang menyesuaikan dengan perkembangan teknologi komunikasi, menjadikan berbagai bentuk budaya yang ada pun mau tidak mau mengalami perubahan.
Budaya itu sendiri menurut Koentjaraningrat (2000) merupakan gagasan dan rasa, tindakan dan karya yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan masyarakat. Pendek kata, Budaya juga sebuah cipta, karya, dan karsa manusia. Namun apabila kita mengkaji lebih lanjut, bentuk budaya itu sendiri ada tiga yakni berupa praktik, produk dan perspektif.
Praktik berarti pola interaksi sosial, atau perilaku. Sementara, produk adalah kreasi berwujud (tangible) atau tidak berwujud (intangible) dari budaya tertentu. Contoh produk berwujud adalah lukisan, karya patung, ukiran, karya sastra, dan lain-lain. Sementara, produk tak berwujud terdiri dari dongeng lisan, tarian, ritual sakral, sistem pendidikan, hukum, dan masih banyak lagi. Perspektif lebih cenderung pada hal-hal yang filosofis, yakni makna, sikap, nilai, keyakinan, gagasan yang mendasari praktik budaya dan produk budaya masyarakat.
Ketika kita memahami konsep budaya yang ada, maka secara langsung kita akan merasakan betapa kayanya budaya Indonesia. Ribuan bahasa daerah yang kita miliki akan menghasilkan karya sastra yang luar biasa dahsyat. Salah satunya adalah karya sastra La Galigo – dari Suku Bugis, Sulawesi Selatan. Karya sastra ini berbentuk puisi yang berisi mitos penciptaan dari peradaban Bugis.
Bahkan bagi sebagian masyarakat Bugis yang masih menganut agama lokal, yakni kepercayaan Tolotang, posisi La Galigo merupakan kitab suci mereka. Diperkirakan terdiri dari 6.000 halaman folio atau 300.000 baris puisi. UNESCO menggarisbawahi sebagai produk karya sastra yang paling produktif di dunia. Bahkan sejak 2011 naskah kuno La Galigo telah ditetapkan UNESCO sebagai Memory of the World. (http://www.unesco.org/new/en/communication-and-information/memory-of-the-world/register/full-list-of-registered-heritage/registered-heritage-page-5/la-galigo/).
Menerima Perbedaan dan Menghargai Keberagaman
Demikian hebatnya keragaman budaya bangsa Indonesia menyebabkan kita harus makin mendalami nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu, unity in diversity. Seperti kita ketahui juga Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah kata (frasa) yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma yang dikarang pada abad ke-14. Kakawin berarti syair dengan bahasa Jawa Kuno, karangan Mpu Tantular yang ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno dengan aksara Bali.
Memahami masyarakat Indonesia yang majemuk merupakan gambaran sempurna tentang budaya yang beragam. Inilah yang disebut sebagai multikulturalisme. Menghormati perbedaan dan keragaman kita, pada akhirnya menjadikan ada konsekuensi yang harus kita jalani, yakni penciptaan ruang publik dengan beragam kebudayaan yang bisa diterima oleh semua pihak.
Gagasan ruang publik yang sehat sudah sejak lama digaungkan Habermas (1991) dalam bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere. Konsep yang mencipkan sebuah ruang publik yang bersifat egaliter, emansipatoris dan partisipatif. Segala perbedaan dianggap sebagai bagian dengan proses pengkayaan demokrasi. Dalam konteks ruang publik yang juga sudah masuk dalam ranah digital, maka kita harus secara terus menerus mempelajari proses: memahami, produksi, distribusi, partisipasi, dan kolaborasi isu keberagam budaya dalam ruang digital yang ada.
Penghargaan atas budaya yang berbeda sudah harus dipahami, diproduksi, didistribusikan, ada pelibatan partisipasi dan kolaborasinya. Misalnya saja ketika kita melihat upacara ritual Kasodo yang dilakukan oleh masyarakat suku Tengger, maka apa yang kita produksi dalam tangkapan digital kita, haruslah secara sadar menunjukkan penghargaan kita kepada mereka. Ketika kita bagikan, kita distribusikan, juga haruslah tidak melanggar kehormatan pada para pelaku ritual tersebut.
Melihat tarian Gandrung yang dimainkan suku Osing, Banyuwangi, maka segala yang tampak harus dihargai sebagai bagian dari budaya dan tidak untuk diperdebatkan dari sudut kepercayaan lainnya. Pada ruang digital, media sangat berperan. Kebebasan setiap individu untuk menyajikan budaya di ruang digital tidak terhindarkan.
Maka dalam ruang digital, budaya mendapatkan apresiasi. Tetapi tidak tertutup kemungkinan juga mengundang para individu yang melihat beragam kebudayaan dengan cara yang kurang tepat, ataupun cenderung menghakimi secara sepihak. Perbedaan budaya jangan dijadikan alat untuk melakukan tindak diskriminasi dan merendahkan yang berbeda.
Menghadirkan Budaya Dalam Ruang Digital
Kondisi pandemi Covid pada awal tahun 2020 menjadikan percepatan pembelajaran dan penggunaan media digital berjalan dengan sangat cepat. Semua pihak dituntut untuk mampu menyampaikan berbagai kegiatan yang dulunya bersifat luring, harus menjadi daring.
Salah satu yang cukup kreatif dan responsif adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya yang menggelar pertunjukan virtual menggunakan berbagai platform media sosial dan media online yang ada. Kegiatan tersebut merupakan rangkaian dari Parade Seni Budaya Surabaya 2020 yang digelar sejak 19 September 2020 sampai 20 Desember 2020. Masyarakat bisa mengakses via media digital, beragam kegiatan budaya yang pada tahun-tahun sebelunya dilakukan secara luring.
Event di Surabaya kemudian disusul oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud yang meluncurkan Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2020 dengan tema “Ruang Bersama Indonesia Bahagia” secara daring pada 31 Oktober-30 November 2020. Sehingga tampak bahwa menghadirkan kekayaan budaya di ruang digital sudah menjadi kewajiban berbagai pihak. Termasuk menjadi ideal apabila ini juga dilakukan oleh setiap Kota/Kabupaten di Indonesia biasanya memiliki lembaga pusat kebudayaan daerah.
Lalu bagaimana dengan pelestarian budaya dalam bentuk karya seni, patung, dan sebagainya? Tentu saja ini pun sudah ada sarananya. Saat ini makin banyak ditawarkan ruang pamer virtual yang berbayar maupun yang tidak berbayar. Ruang pamer seperti ini berbentuk tiga dimensi, kita bisa seolah masuk dalam ruang-ruang pamer yang secara riil biasa kita nikmati secara langsung. Pada akhirnya merawat budaya dalam ruang digital haruslah diwujudkan dengan kerjasama dan partisipasi aktif semua pihak. Dari kita untuk kita dalam Bhinneka Tunggal Ika.
*Lestari Nurhajati adalah Dosen Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR