JAKARTA, Jawa Tengah. Online : Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di bawah kepemimpinan Abhan, telah menyelesaikan kerja besar yaitu mengawal Pemilu serentak (Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif) untuk pertama kali di tahun 2019. Dalam banyak hal kinerja Bawaslu dianggap memuasakan, kecuali satu hal yang mendapat skor rendah, yaitu penanganan money politic.

“Penanganan pelanggaran pidana money politic ini memang tidak menjadi ranah Bawaslu saja. Tetapi ditangani Sentra Sentra Penegakan Hukum Terpadu(Gakkumdu). Di situ ada polisi dan ada kejaksaan,”kata nya.

Bawaslu hanya mempunyai kewenangan menerima laporan, sementara penyidikan dilakukan polisi dan penututan dilakukan kejaksaan. Laporan money politic seringkali mentah karena tidak disertai dengan bukti, setidaknya ada 2 alat bukti , sehingga polisi bisa melanjutkan penyelidikan. Begitu juga dengan kejaksaan, bila bukti-bukti tidak kuat, maka kejaksaan menyarankan tidak meneruskan penuntutan ke pengadilan.

Bawaslu kewenangannya di proses administrasi. Misal ada kasus caleg yang dinyatakan tidak memenuhi syarat administrasi oleh KPU, ketika mereka mengadu ke Bawaslu, dan dalam sidang terbukti persyaratan mencukupi, maka Bawaslu bisa langsung memutuskan memulihkan hak caleg tersebut.

Sanksi Diskualifikasi

Ke depan, Bawaslu akan mengusulkan agar money politic, selain ada pidana, bisa juga diberikan sanksi administratif. Bagi peserta pemilu baik partai maupun perorangan, sanksi yang paling ditakuti adalah sanksi administrasi berupa diskualifikasi. Dengan diberi wewenang memberi sanksi administrasi untuk money politic.

“Dengan sanksi diskualifikasi yang dipunyai Bawaslu, pasti akan mampu menekan maraknya money politic,” katanya.

Masalah lain juaga adanya perbedaan sanksi money politik di Pileg maupun Pil[pres dengan Pilkada yang perlu diselaraskan. Pada UU Pemilu (Pilpres dan Pileg), ketika terjadi money politic yang bisa kena pidana adalah pihak pemberi uang. Sementara di UU Pilkada, baik pemberi maupun penerima dapat dikenai sanksi pidana.

Selain money politic, penyelenggaraan pemiliu serentak 2019 meninggalkan persoalan daya tahan para petugas di lapangan, yang kemudian banyak yang sakit, bahkan meninggal. Terutama petugas Pemilu yang ada di Tempat Pemungutan Suara (KPPS), mempunyai beban kerja yang berat. Sebelum hari-H mereka sudah disibukkan dengan pengantaran undangan dan persiapan teknis lokasi TPS.

“Setelah pecoboblosan selesai, ada tekanan penghitungan dan rekap manual, yang waktunya dibatasi,” katanya.

Setuju E-Rekap

Menurut Abhan ke depan rekapitulasi elektronik atau E-Rekap, lebih mendesak dilaksanakan darai pada E-Voting. Dengan e-rekap, petugas pemilu tidak perlu lagi melakukan rekap manual. Misalnya dengan mensahkan prosedur hasil pemilu di tingkat TPS langsung masuk dalam rekapitulasi nasional.

Dalam pemilu 2019, sebenarnya baik krekap di kertas plano TPS, dan penghitungan di C-1 yang ditandatangani para saksi bisa diunggah dan langsung masuk ke server nasional. Namun undang-undang mengatur, perhitungan yang danggap sah adalah hitung manual. Ke depan undnag-undang harus memeperbaiki hal ini.

Hal lain yang bisa diubah adalah definisi pemilu serentak. Saat ini pemahaman pemilu serentak adalah dalam satu hari. Padahal bisa juga pengertian pemilu serentak itu dalam satu minggu, sehingga memberi waktu bagi petugas pemilu.

“Di India pemilunya serentak tapi beda hari,” katanya.

Mengenai e-voting, hambatannya pada soal trust. Di Indonesia masih mencurigai pengghitungan elektronik akan banyak dimanfaatkan dan disalahgunakan. Bahkan di beberapa negara yang sudah menerapkan e-voting, justru sekarang dievaluasi dan hendak kembali ke sistem manual. Salah satu kelemahan e-voting adalah transparansinya kurang jika dibandingkan dengan sistem manual.

Pengawal Suara Pemilu

Sepanjang karir Abhan adalah mengawal suara pemilu. Pria kelahiran Pekalongan tahun 1968 ini, sejak lulus sarjana hukum Universitas Pekalongan tahun 1991, berkarya di Panwaslu dan Bawaslu, selain menjadi pengacara.

Karir sebagai pengawal suara pemilu dijalani Abhan pada tahun 2008. Saat itu dia terpilih ketua Panwaslu Jawa Tengah sampai 2009. Sempat berhenti sejenak dan kembali menjadi pengacara. Tahun 2012 – 2017, Abhan kembali menjadi pengawal suara, yaitu dengan menjadi Ketua Bawaslu Jawa Tengah.

Saat menjadi pengacara, Abhan pun tidak jauh-jauh dari urusan pemilu. Kantor pengacaranya sering menjadi pengacara KPU dalam sengketa pemilu maupun peserta pemilu yang bersengketa di Mahkamah Konsitusi. Pengalaman menjadi pengacara pemilu, dituangkan Abhan dalam sebuah buku “Jejak Kasus Pidana Pemilu” yang terbit 2016.

Pada tahun 2017, Abhan terpilih anggota Bawaslu Pusat. Walaupun dalam fit dan proper test di DPR, dia hanya mendapat ranking ke-4, namun mungkin karena pengalamnnya, akhirnya dipilih menjadi ketua.

Nama lahirnya sebenarnya Ahmad Abhan. Namun di dokumen resmi seperti ijazah, akta kelahiran, dan sebagainya yang muncul hanya Abhan.

“Kadang kadang saya gunakan nama ayah, jadi Abhan Misbah,” katanya. (Bayu/01)