SEMARANG, Jawa Tengah.Online : Indikasi pertumbuhan ekonomi di suatu daerah, bisa ditengarai dari perumbuhan bisnis properti di kawasan yang bersangkutan. Properti di sini meliputi berbagai jenis hunia, seperti perumahan, mall atau pusat perbelanjaan, hotel, kawasan industri, rumah sakit, perguruan tinggi, dan sebagainya.

Ketua DPD Real Estat Indonesia (REI) Jawa Tengah, MR Priyanto mengatakan, hubungan antara perkembangan properti dengan pertmbuhan ekonomi, sebenarnya timbal balik.

“Artinya, pertumbuhan ekonomi yang baik, yang menumbukan perdagangan, industry, jasa pendidikan, rumah sakit dan sebagainya, akan mendorong tumbuhnya properti seperti perumahan, mall, hotel, dan sebagainya. Sebaliknya berkembangnya property akan mendorong tumbuhnya ekonomi,” katanya pada Jawa Tengah. Online, di sekretariat REI Jateng Semarang Indah, belum lama ini.

Bersamaan dengan meningkatnya jumlah penduduk, dan membaiknya perekonomian di dalam negeri,saat ini permintaan fasilitas perumahan pun terus meningkat di Jawa Tengah. Baik perumahan bersubsidi atau rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) , rumah kelas sedang dengan kisaran harga Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar, maupun perumahan mewah dengan harga antara Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar/unit, tetap saja diminati pasar.

Begitu pula dengan pertumbuhan apartemen dan hotel serta kondotel, di Jawa Tengah, di Kota Semarang khususnya sejak tahun 2015 lalu, trennya mengalami peningkatan. Hanya untuk pembangunan apartemen, mulai tahun 2019 ini, agak sedikit mengalami penurunan. Permintaan pasar kurang menggeliat. Kemungkinan karena apartemen yang ada, untuk sementara sudah mampu menampung kebutuhan.

Peran Pemerintah

Meski demikian, dia optimistis kalau permintaan apartemen akan kembali marak, apabila Pemkot Semarang mampu menghadirkan ekonomi kreatif di wilayahnya. Misal, adanya objek wisata yang menarik, produk unggulan yang dapat menyedot pasar, dan adanya perguruan tinggi yang mampu menarik mahasiswa dari luar daerah.

“Kalau itu bisa terwujud, tidak saja apartemen yang akan laku keras, tapi juga hotel, rumah kos-kosan, perumahan, dan rumah makan,” katanya.

Selain itu, bisnis perumahan juga mampu menggerakkan sektor perekonomian lainnya. Begitu muncul perumahan di suatu lokasi, maka sekitar 175 jenis bidang usaha terkait akan ikut terdampak. Di antaranya, jual beli bahan bangunan akan meningkat, penjualan furniture juga laris, bisnis kaca, notaris, kontraktor, konsultan, perbankan, termasuk tenaga kerja akan dibutuhkan dalam jumlah yang tidak sedikit.

Karena itu, katanya, peran peemrintah snagat penting dalam mengatur bisnis properti ini. Pemerintah, khususnya di kabupaten/kota harus mempunyai tolok ukur dan disiplin menegakkannya, misalnya megenai jumlah hotel atau mall yang bisa hidup dengan sehat di kota atau kabupaten yang bersnagkutan. Jika tidak dikontrol, saat pasar sudha jenuh, setiap kehadiran hotel atau mall baru akan menjaid kanibal dna mematikan yang sudah ada sebelumnya.

“Kami pernah menghitung, satu maal mislanya bisa melayani 200 ribu penduduk. Jika kota Semarang penduduk 1 juta, atau mungkin duitambah warga kabupten sekitar, maksimal hanya bisa menampung lima mall. Kalau lebih pasti akan ada yang mati,” katanya.

Masalah Lahan

Masalah lain yang harus diperhatikan dalam bisnis property adalah kebijakan pemerintah dalam soal penggunaan lahan. Di Kota Semarang misalnya, ada tiga kecamatan, yakni Gunungpati, Mijen, dan Ngaliyan yang tidak memungkinkan membangun rumah tipe kecil, karena minimal lahan untuk perumhan sudah dibatasi. Karena keterbatasan lahan tersebut, maka di kota besar seperti Semarang, kecenderungan hunian menjadi apartemen, atau tower-tower yang mengembang ke atas, sehingga tidak menghabiskan lahan.

Peran pemerintah yang lain dalam mendorong bisnis property menurut Priyanto adalah dalam menyediakan infrastrutur, seperti jalan, air bersih, listrik, dan sebagainya. Banyak kepala daerah di Jawa Tengah yang mengerti kebutuhan ini, sehingga properti berkembang dengan baik. Bahkan di kota besar seperti Semarang, para pengembang mendapat dorongan yang besar dalam hal fasilitas infrastruktrur tersebut.

Pemerintah harus mengantisipasi, kepadatan lalulintas yang akan terjadi di jalur-jalur yang menghubungkan dangan kawasan property, karena kalau tidak disiapkan sajak awal bis amenimbulkan masalahnya. Mislanya kemacetan lalulintas.

Peran pemerintah yang lain, terutama pemerintah pusat adalah menyedikan fasilitas bantuan maupun bunga murah pada konsumen dan kredit investasi untuk pengembang. Memang pada tahun 2019, bantuan ini agak menurut, baik subsidi untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang diambilkan dari FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dan anggaran SSB (Subsidi Selisih Bunga).

Gravitasi Kota

Priyanto juga mengingatkan agar pemerintah Kota Semarang dalam mengembangkan daerahnya, memeprtimbangkan apa yang disebut gravitasi kota. Mislanya jika Pelabuhan Tanjung Emas dan Bandara Achmad Yani bisa terus ditingkatkan lagi, Semarang akan mendapat manfaat dalam posisinya sebagai pusat gravitasi. Perekonomian akan meningkat jika daya Tarik orang datang, seperti obyek wisata, kegiatan industry, dfasilitas kesehatan, pendidikan dan sebagainya.

Jika tidak demikian, maka daya tarik bisa berpindah ke kota lain. Misalnya kegiatan yang membutuhkan layanan pelabuhan akan bergeser ke Surabaya. Kegiatan wisata atau kuliner akan bergeser ke Solo atau Salatiga, karena jalan tol memungkinkan mencapai kota-kota tersebut dengan waktu yang lebih singkat. Karena itu Pemkot Semarang harus mampu menciptakan fasilitas publik yang dapat mengikat warganya.

Apalagi dengan kebijakan pemerintah kota, yang meyebabkan rumah dengan kriteria MBR yang luas tanahnya kurang dari 120 m/unit, terpaksa harus menyingkir ke perbatasan, atau bahkan keluar dari kota Semarang, masuk ke kabuaten Kendal atau Kabupaten Semarang, atau Kabupaten Demak.

“Artinya, warga boleh bertempat tinggal di luar Kota Semarang, tetapi aktivitasnya jangan tertarik ke luar, sehingga akan mengurangi pendapatan Kota Semarang,” katanya. (bst/01)