Kolom : Teguh Yuwono
PEMILIHAN Kepala Daerah langsung dalam sebuah sistem demokrasi ditujukan untuk menjaga marwah kedaulatan Negara (dimana kedaulatan ada di tangan rakyat). Pertama, pilkada langsung dimaksudkan untuk memantapkan posisi rakyat dalam sebuah sistem demokrasi dimana partisipasi politik menjadi salah satu bagian terpenting dalam proses kompetisi politik.
Kenapa partisipasi poitik rakyat penting dalam Negara demokrasi? Karena rakyat adalah penguasa, rakyat adalah pihak yang menentukan dan yang mengarahkan kemana pemerintahan itu harus dijalankan. Pada tataran yang paling idealis, rakyat sesungguhnya yang seharusnya langsung memimpin dan mengelola pemerintahan (sebagaimana dulu dengan demokrasi langsung di Yunani Kuno). Karena jumlah rakyat yang semakin besar itulah maka kedaulatan rakyat harus dilakukan melalui pemilihan umum.
Kedua, pilkada sesungguhnya merupakan alat untuk menciptakan kesejahteraan secara tidak langsung. Logikanya adalah rakyat melalui pilkada memilih pemimpin (yang baik dan berkompeten), kemudian dengan pemimpin yang baik dan berkompeten itulah tujuan penciptaan kesejahteraan rakyat seharusnya bisa diwujudkan. Pemimpin yang baik dn berkompeten bisa berasal darimanapun dengan berbagai pengalaman apapun. Artinya pemimpin yang dicintai rakyat bisa berasal dari berbagai macam latar belakang, tetapi yang penting adalah kebaikan da kompetensinya. Oleh karenanya orientasi pemimpin seharusnya adalah kesejahteraan umum, bukan kesejahteraan pribadi atau golongannya (sebagaimana kecurigaan teori public choice).
Ketiga, pilkada pada intinya diharapkan menjadi alat untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan Negara atau pemerintahan. Pilkada menjadi alat untuk mengkontrol pemimpin dan pemerintahan nya. Dengan pilkada langsung seharusnya pemerintahan bisa diselenggarakan secara lebih transparan, akuntabel dan bertanggung jawab.
Idealisme semacam ini hanya bisa terbentuk jika perilaku politik rakyat (pemilih) bisa menjadi kontrol yang positif untuk menjaga penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Akan tetapi, survey yang dilakukan banyak lembaga menunjukan perilaku politik rakyat yang kurang menggembirakan dan tidak memperkuat tradisi budaya demokrasi yang baik khususnya menyangkut perilaku money politics.
Pragmatis, Egoistik, Transaksional
Perilaku politik rakyat yang pragmatis sejalan dengan pandangan teori public choice (Buchanan, Gordon Tullock dkk; 2000). Teori ini pada intinya menegaskan bahwa memaksimalkan kepentingan pribadi adalah motivasi utama seseorang melakukan sikap atau tindakan politik. Hasil survey berbagai lembaga menunjukkan bahwa sebagian besar perilaku politik pemilih terklasifikasi pada sebuah profil utama, yakni pragmatis, egoistik dan transaksional.
Perilaku politik pragmatis ditunjukan dari pandangan dan sikap politik mereka bahwa sebagian besar dari mereka memandang normal terhadap politik uang. Politik uang dinilai sebagai hal yang wajar dan bisa diterima sebagai akal sehat.
Perilaku politik egoistik ditunjukan dari hasil survey bahwa sebagian besar pemilih menyatakan bahwa keputusan politik mereka bersifat personal dan ditentukan oleh diri mereka sendiri.
Mereka menyatakan bahwa pilihan adalah masalah diri sendiri, jadi mereka yang ingin mendapatkan dukungannya harus mendekati diri mereka secara person by person. Lebih tragis lagi mereka menyatakan menerima dengan baik pemberian uang dalam politik, tetapi tentang pilihan politik di TPS adalah rahasia mereka.
Perilaku transaksional para pemilih ditunjukan dari sebagian besar pandangan dan sikap politik mereka bahwa oleh karena para pemenang nantinya akan menikmati pendapatan yang berlimpah maka mereka harus menebus nya (vote buying) kepada para pemilih. Pemenang tidak boleh menikmati fasilitas berlebih, jika mereka tidak mengeluarkan modal.
Pemilih kemudian seolah-olah memaksa para kandidat untuk berkompetisi dengan cara-cara dagang, yang ini sesungguhnya berlawanan dengan nilai-nilai dasar demokrasi yang baik. Seharusnya pemimpin dipilih karena visi misi dan program kerja yang menjanjikan untuk jaminan kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Revolusi Mental Politik
Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah sesungguhnya yang bisa dilakukan untuk memperbaiki atau merespon perilaku politik yang semacam itu? Bagaimanakah seharusnya memperbaiki salah kaprah perilaku politik seperti diatas? Jawaban yang paling tepat akan hal ini sesungguhnya reformasi budaya politik melalui revolusi mental politik.
Yaitu perubahan sikap mental dan tindakan yang pragmatis-egoistik-transaksional menuju sikap mental dan tindakan politik demokratis yang baik dan akuntabel. Revolusi mental politik bukan hanya dengan target pemilih tetapi juga para kandidat yang akan berkompetisi politik.
Para ahli politik dan pemerintahan (Grindle 2010) banyak menegaskan bahwa membangun demokrasi sesungguhnya tidak hanya berhubungan dengan struktur lembaga demokrasi itu saja, tetapi juga menyangkut budaya atau perilaku demokratis rakyat dan para pemimpinnya.
Demokrasi prosedural juga tidak cukup mampu meningkatkan derajat demokrasi sebuah Negara bangsa kalau tidak diikuti dengan demokrasi substansial. Demokrasi tidak hanya bertumpu pada prosedur atau tahapan-tahapan yang harus dilakukan dengan cermat dan baik. Demokrasi juga harus mencapai sesuatu yang substantive, yaitu demokrasi yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Indeks Demokrasi yang baik, seharusnya diikuti dengan indeks kesejahteraan yang lebih baik pula (seperti misalnya Indeks Pembangunan Manusia/IPM, Indeks Kesetaraan Gender/GDI, dan sejenisnya).
Sudah saatnya para stakeholders di negeri ini, untuk berusaha kembali dengan segenap semangat dan daya juang yang tinggi untuk memperbaiki perilaku politik rakyat yang pragmatis, egoistik dan transaksional menjadi perilaku politik rakyat yang tulus tanpa pamrih demi kemajuan bangsa dan Negara.
Para penyelenggara pemilu penting untuk terus memperbaiki kualitas demokrasi prosedural yang telah mereka bangun dan kerjakan, yang didukung oleh seluruh elemen Negara bangsa (partai politik, pejabat politik dan sebagainya) untuk selalu dan terus menerus mewujudkan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam konsitusi UUD 1945.
Revolusi mental politik menjadi salah satu respon penting untuk mencapai itu semua. Tinggal bagaimana kini para pengelola Negara mengelaborasi kebijakan dan strategi revolusi mental politik ini. (01)
Teguh Yuwono, Doktor Ilmu PolitikPemerintahan, Analis Politik & Dosen Pascasarjana FISIP UNDIP Semarang.