Oleh: Frida Kusumastuti
Jawatengah.Online — Hasil survei Microsoft tentang Digital Civility Indeks (DCI) 2020 yang dirilis pada Februari 2021 lalu mengagetkan netizen Indonesia. Pasalnya menurut hasil survei tersebut netizen Indonesia dianggap sebagai yang paling tidak sopan di Asia Tenggara. Padahal di sisi yang lain sebuah situs perjalanan dan wisata, Rough Guides pernah merilis hasil survei mereka sepanjang tahun 2017, bahwa warga lokal Indonesia menduduki peringkat 6 sebagai penduduk paling ramah di dunia dalam memperlakukan turis. Ya, memang mungkin berbeda menghadapi turis dan netizen. Namun, fakta hasil survei itu menunjukkan ada sesuatu yang perlu diperhatikan dalam interaksi dan partisipasi netizen Indonesia di ruang digital.
Respon banyak orang tentang hasil survey DCI Microsoft itu diekspresikan dengan keprihatinan melihat kondisi netizen Indonesia. Sudah semestinya media digital ini telah menjadi lebur dalam kehidupan kita saat ini. Namun tentunya bukan malah mendorong pada perilaku yang bertentangan dengan budaya bangsa. Teknologi digital mestinya memudahkan segala hal bagi manusia ke arah yang lebih baik.
Etika Digital
Kehadiran media digital dengan segala karakteristiknya sebenarnya tidak lepas juga dari persoalan etika dan etiket penggunaannya. Kemampuan digital dalam menghubungkan banyak orang dengan berbagai latar belakang geografis, golongan sosial, kepentingan, dan budaya bukanlah sesuatu yang sederhana. Persoalannya bukan hanya keterampilan teknis dalam mengakses dan mengamankan data pribadi dalam penggunaan digital, namun juga berlaku suatu self control dan social control dalam berinteraksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi dalam ruang digital.
Saat media digital belum hadir dan belum sebegini masif, interaksi, partisipasi, dan kolaborasi antar manusia secara tidaklah serumit saat ini. Kehadiran secara fisik dengan tetap membawa diri dan segala status serta performance yang melekat pada setiap orang secara otomatis akan membatasi perilaku kepada sesama. Namun, ketika kehadiran diri direpresentasikan secara digital, perilaku bisa berubah karena kemelekatan status bisa dimanipulasi. Disinilah urgensi etika digital perlu ditumbuhkan sebagai self control dan social control seperti halnya etika tradisional (etika offline).
Sebenarnya juga tidak ada beda dengan etika offline, etika digital menyangkut kesadaran, tanggung jawab, integritas dan keberpihakan pada kebajikan harus dijunjung tinggi. Kesadaran mengacu pada kehadiran yang penuh, disadari, dan dialokasikan untuk memperhatikan segala tindakan saat bermedia digital. Melalui prinsip kesadaran, maka segala aktifitas dalam ruang digital akan selalu terkontrol, tidak instan dan tidak mudah terprovokasi.
Sementara itu prinsip tanggung jawab mengacu pada kontrol kehati-hatian. Bahwasannya segala tindakan selalu memiliki konsekuensi dan pertanggung jawaban. Prinsip ini akan mendorong netizen juga akan selalu memikirkan segala suatu sebelum bertindak. Mengunggah konten, membagi konten, berkomentar atas konten-konten yang ada perlu ditimbang dahulu konsekwensinya.
Sedangkan prinsip integritas adalah menyangkut kejujuran, tidak manipulatif, dan mengatakan kebenaran sebagai kebenaran. Bukankah kini masyarakat kita nampak sebagai masyarakat yang rendah rasa percaya (trust) pada sesama? Para pakar mengatakan era post trust yang membuat banyak orang bingung membedakan mana kebenaran dan mana kebohongan? Tanpa penegakan etika kondisi ini akan semakin runyam saya rasa. Terakhir yang tidak kalah penting adalah prinsip kebajikan. Apapun yang kita lakukan dalam interaksi, partisipasi, dan kolaborasi di ruang digital adalah demi kebajikan. Kemanfaatan dan kebaikan bagi sesama.
Etiket Bermedia Sosial
Sebelumnya saya sudah menyinggung soal apa sih yang sebenarnya kita lakukan dengan media digital? Pertama tentu kita mulai dengan mengakses media digital. Memilih platform, menginstal, dan membuat akun sesuai prosedur yang diberlakukan setiap platform. Di sini ada etiket supaya kita bisa mulai menggunakannya dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, integritas, dan nilai kebajikan. Saat mulai mengakses, etiketnya adalah menggunakan nama asli atau yang bisa dikenali sebagai nama kita, tidak memalsukan identitas, sesuai tujuan penggunaannya, dan memasang foto yang dikenali dengan baik oleh orang lain. Jika itu foto diri, maka pose foto perlu diperhatikan. Sama halnya dengan etiket luring, kita mengenakan pakaian dan gerak gerik yang pantas, demikian juga foto diri untuk akun juga mestinya menampilkan diri dengan baik pula.
Bermula dari mengakses, kita mulai berinteraksi dengan sesama akun di ruang digital. Mencari teman, menyapa, memperkenalkan diri, memberi feedback positif, ngelike, memberi komentar semua dilakukan dengan penuh etiket. Mencari teman yang dikenal, check and recheck jejak digital akun yang akan dijadikan teman, menyapa dengan sapaan yang baik, mengonfirmasi ajakan pertemanan, memberi komentar yang sesuai dengan membaca lebih dahulu suatu unggahan secara cermat. Ya, sama dengan ketika kita berinteraksi secara luring. Kita mengenalkan diri, menyapa ramah, menanggapi sapaan dan pembicaraan dengan hati-hati. Memilih teman dan jaringan yang positif.
Setelah itu meningkatkan kompetensi dengan berpartisipasi dalam ruang digital. Kita mulai ikut membagi pesan-pesan, mengunggah cerita dan kabar berita, membagikan pesan dari sumber lain. Bagaimana etiket diterapkan dalam hal ini? Tanggung jawab, kejujuran, dan kebajikan adalah hal utama yang menjadi pertimbangan saat memutuskan akan membagi pesan-pesan. Siap dengan segala konsekwensi ketika pesan kita dipertanyakan oleh pihak lainnya. Oleh karena itu mengunggah suatuyang benar, bermanfaat, akurat, dan kredibel adalah etiketnya. Saring sebelum sharing, bertabayyun (check and recheck) serta mempertimbangkan kemanfaatannya bagi pihak lain.
Kompetensi tertinggi adalah kemampuan berkolaborasi. Memperluas jaringan untuk kerja-kerja nyata yang bermartabat. Pada situasi luring ini adalah pengukuran atas hubungan sosial kita. Bergabung dalam suatu grup dan berperan aktif disana. Menjalin kerjasama dengan grup lain untuk melakukan aksi yang positif. Menyumbangkan energi dan mungkin materi untuk suatu kegiatan yang baik. Bahkan pada society 5.0 kolaborasi ini tidak terbatas pada ruang-ruang digital, melainkan juga dilanjutkan secara luring.
Penutup
Bersama dengan peraturan melalui Undang-Undang, interaksi, partisipasi, dan kolaborasi di ruang digital sebenarnya tidak banyak berbeda dengan saat luring. Namun potensi kecepatan, syncronous, dan perbenturan etis memang lebih tinggi terjadi pada ruang digital. Oleh karena itu kemampuan diri (individu) melakukan self controll menjadi keharusan. Prinsip etika dan etiket merupakan pedoman untuk individu demi kepentingan kolektif.
*Frida Kusumastuti adalah dosen di Jurusan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang sekaligus Pegiat Literasi Digital (Japelidi) Indonesia