Oleh: Devie Rahmawati
JawaTengah.Online — Pandemi telah mendorong masyarakat menjadi mendadak digital. Nyaris seluruh aspek kehidupan pun pindah ke ruang digital. Salah satu yang menantang dari dunia digital ialah seluruh warganya akan dijejali dengan berbagai informasi yang diproduksi untuk merebut perhatian netijen.
Namun, karena manusia memiliki keterbatasan, maka tidak semua informasi yang membanjiri kanal-kanal digital dapat diserap oleh publik. Lantas informasi apakah yang kemudian sukses merebut perhatian bahkan mendorong seseorang rela menghabiskan waktu, tenaga dan biaya Ketika sudah terpikat oleh produk, layanan ataupun informasi di media sosial?
Salah satunya jawabannya ialah konten. Teknologi digital memberikan insentif kemudahan, kecepatan dan biaya yang terjangkau bagi siapapun yang ingin mendapatkan perhatian melalui konten. Sebuah studi dari Smart Insights menunjukkan bahwa dalam kurun 60 detik misalnya di seluruh dunia terdapat 3,4 juta video yang ditonton di Youtube; 210 juta email terkirim; 694 ribu video di tonton di Tiktok; 4, 2 juta pencarian di Google; 510 ribu komentar di Facebook.
Dengan fakta empirik seperti ini, tidaklah heran kalau kemudian berbagai upaya ditempuh untuk bisa mencuri perhatian netijen, dan tidak dipungkuri, konten-konten yang negatif yang dipenuhi oleh sensasi, kontroversi serta berisikan stereotip hingga caci maki penuh emosi, menjadi tayangan yang sering mencuat, yang lebih dikenal dengan istilah viral. Namun, apakah memang selalu konten negatif yang cepat menjalar?
Orang sering mengira konten negatif telah menjadi penguasa konten di ruang digital. Faktanya, studi yang dilakukan oleh peneliti dari Chapman University terhadap 21 jam tayangan di youtube, 104 jam film, 7 juta kata-kata dari artikel di New York Times dan lebih dari 3 ribu artikel yang di post di FB menunjukkan bahwa konten-konten positif yang memberikan harapan, kebaikan, keteladanan, telah menjadi tontonan yang sebenarnya lebih viral dan dikonsumsi banyak orang. Hal ini didorong oleh sifat dasar manusia yang sebenarnya ingin menjadi “pahlawan” dengan selalu mengabarkan hal-hal yang baik kepada orang lain.
Memang tidak dapat dipungkiri konten negatif cenderung cepat viral, karena konten negatif mampu memicu kemarahan warga digital sehingga mereka berbondong-bondong mengomentari dan berbagi (share) ke teman-teman mereka untuk ikut serta mengomentari konten negatif tersebut. Namun, kekaguman juga memiliki peranan penting dalam mendorong sebuah konten menjadi viral. Manusia secara psikologi akan melakukan apa yang dilakukan oleh seseorang yang menginspirasi. Manusia cenderung meniru dan menginginkan apa yang mengilhami mereka. Di sinilah konten positif memiliki tempat yang luas di ranah digital.
Salah satu contoh konten positif yang berbasis kekaguman, dengan viralitas kuat ialah momen keakraban seorang pimpinan dengan seorang siswa, yaitu video Fadil Imran, Kapolda Metro Jaya di Sekolah Polisi Negara (SPN), Cigombong Bogor.
Konten ini dalam kurun waktu kurang dari 24 jam pada Kamis, 3 Juni 2021, sudah dilihat oleh lebih dari 400 ribu di IG dan 2,8 juta views di Tiktok. Video ini memperlihatkan bagaimana sosok pimpinan yang hangat terhadap siswa sekolah kedinasan yang disiplin, meskipun sang siswa melakukan beberapa kekeliruan yaitu tidak mengenal siapa pimpinanya.
Video ini menarik, karena di tengah-tengah banyaknya video yang justru memperlihatkan warga digital yang berang, video ini menjadi antithesisnya, yaitu warga digital yang tenang, yang ditampilkan justru oleh sosok yang memiliki kekuasaan, namun tidak menjadikan kekuasaan tersebut sebagai peluang untuk menekan orang yang dipimpin. Viralitas video ini dapat dimaknai sebagai manifestasi kegandrungan netijen pada konten positif yang inspiratif.
Penghuni ranah digital terbesar ialah generasi Y & Z, yang memiliki karakter berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka adalah generasi yang menginginkan lingkungan yang supportif, mengedepankan kesetaraan dan kehangatan yang natural. Video ini menjadi oase dari kerinduan dekatnya hubungan antar generasi, dan pola interaksi yang bersahabat dari pimpinan terhadap masyarakat.
Tidak diragukan lagi bahwa konten yang inspiratif dapat hadir dalam berbagai bentuk. Dampak dari konten inspiratif juga terbukti mampu meningkatkan well-being personal dengan merangsang penikmat kontennya untuk juga memiliki keinginan mengisi kehidupan dengan hal-hal yang bermakna.
Studi GGSC (Greater Good Science Center), menyampaikan bahwa ada beberapa situasi yang dapat masuk dalam kategori inspirasi seperti keindahan alam, seni, tradisi, simbol keagamaan, kebaikan, kedermawanan, harapan. Karakter personalitas juga dapat menjadi inspirasi seperti keindahan, kasih sayang, ketrampilan yang berbeda dan menonjol, prestasi serta kegigihan dan perjuangan.
Hal ini senada dengan Harvard Business Review yang melansir temuan bahwa sebaran konten positif ternyata mampu melebihi konten negatif yang bercirikan mendorong keingintahuan (curiosity), keheranan (astonishment), ketertarikan (interest) serta menciptakan keheranan (amazement) ataupun ketidakpastian (uncertainty).
*Devie Rahmawati, pengajar di Universitas Indonesia – anggota Japelidi