Rubrik Sudut Pandang kali ini menyoal angka pertumbuhan. Pengalaman Bupati Karanganyar Juliyatmono untuk mendapatkan data akurat tentang kemiskinan di daerahnya cukup dramatis. Ia terpaksa langsung ke Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, Jakarta, untuk memperoleh data tahun berjalan. Sebab, sampai sekarang, data BPS tentang kabupaten / kota selalu terlambat sekitar 1,5 tahun.

SUDUT PANDANG: Catatan Kritis Bambang Sadono

Bagaimana mungkin bupati / wali kota disuruh bekerja yang diukur dengan angka, tetapi angka yang digunakan sebagai ukuran saat itu tidak atau terlalu lambat, kemudian diminta supaya sampai pada kecepatan normal.

Yang jadi masalah, ketika ditanya berapa kecepatan mobil saat itu sehingga seorang pengemudi bisa menyesuaikan untuk mempercepat atau  memperlambat, tidak ada yang bisa menjawab. Tinggallah pengemudi terpaku dalam kebingungannya.

Ini sama dengan kesimpulan yang saya peroleh ketika mencoba mencari data berjalan tentang pertumbuhan ekonomi di kabupaten / kota.

Menurut saya ini penting, karena pertumbuhan di tingkat provinsi pasti dibentuk oleh pertumbuhan di kabupaten / kota. Ini berkaitan dengan target yang dibebankan kepada Jawa Tengah agar menjadi penyangga pertumbuhan nasional. Dengan pertumbuhan 7 persen di Jawa Tengah, pasti dampaknya signifikan untuk mengatrol pertumbuhan nasional.

Tidak sulit untuk mengukur pertumbuhan provinsi, karena BPS telah menyiapkan data kwartal ketiga yang digunakan sebagai basis angka nasional. Data tersebut sudah muncul pada bulan Agustus tahun bersangkutan. Bagaimana pemerintah provinsi akan mengevaluasi pertumbuhan kabupaten / kota, yang logikanya sebagai pembentuk pertumbuhan provinsi, jika datanya tak tersedia.

BI dan BPS Angkat Tangan

Saya kemudian menemui jajaran Bank Indonesia (BI) Jawa Tengah untuk menanyakan hal ini. Tetapi Kepala Perwakilan BI Jateng, Sukowardoyo, seakan-akan menyerah. Tidak ada jalan keluar untuk mengatasi kelangkaan data tahun berjalan ini.

Alasannya memang masuk akal, Undang-undang memang memberi otoritas hanya kepada BPS untuk mengeluarkan angka-angka dan data perekonomian seperti produk domestik regional bruto (PDRB), pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, indeks Gini, dan sebagainya. Bahkan membuat perkiraan pun, BI merasa tidak kompeten.

Hal senada juga dinyatakan BPS. Kepala BPS Jawa Tengah, Sentot Bangun Widoyono, mengakui data provinsi siap lebih dulu. Pengumpulan data tingkat kabupaten / kota memang lebih rumit, dan harus diharmonisasi dengan data provinsi yang sudah ada. Akibatnya, data-data kabupaten / kota yang ada saat ini adalah data tahun 2018. BPS pun tak berani mengeluarkan angka perkiraan, yang nanti akan disesuaikan jika sudah ada angka resmi.

Pertanyaannya, dengan situasi pencatatan data seperti ini, apa yang bisa dilakukan para pengambil kebijakan. Juga atas dasar apa ketika lembaga seperti BI dan BPS dimintai saran oleh para pengambil keputusan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.

Ibarat orang berjalan, maka para pengambil kebijakan seperti kepala daerah serta instansi teknisnya bak meraba-raba dalam gelap. Kalau kebijakannya salah pun, sulit meluruskannya, karena tidak data yang meyakinkannya.

Data Alternatif

Repotnya kalangan akademisi juga antara tidak punya dan tidak berani mengeluarkan data. Saya berusaha menghubungi para pakar yang biasa melakukan analisis berbasis data. Misalnya Prof. Andreas Lako.

Data yang digunakan ternyata basisnya juga tunggal, yakni data yang dikeluarkan BPS. Data untuk kabupaten / kota sudah terlambat satu setengah tahun. Saran mungkin akurat untuk pemerintah provinsi, tetapi bagaimana menjamin ketepatan rekomendasi untuk pemerintah kabupaten / kota sebagai garda terdepan untuk menumbuhkan ekonomi?

Agaknya diperlukan data alternatif, setidaknya sebagai pembanding data resmi BPS yang terlambat tersebut. Memang menarik janji BPS Jawa Tengah, yang akan mengusahakan data triwulanan untuk kabupaten / kota, seperti data yang disajikan di tingkat provinsi.

Tetapi juga tidak ada salahnya kalau akademisi, kampus-kampus ekonomi atau bisnis, memelopori penelitian atau survei mandiri untuk mengukur data-data ekonomi di tingkat kabupaten / kota. Bisa juga ini menjadi peluang bagi lembaga survei profesional untuk memecahkan masalah yang strategis dan mendesak ini.

Bagi lembaga legislatif, baik tingkat daerah maupun di DPR RI, perlu merenungkan ini. DPRD Provinsi maupun Kabupaten / Kota harus mendorong penggunaan data untuk membuat rencana dan evaluasi daerah.

DPR RI harus melihat lagi argumentasi UU, termasuk hanya memberi kewenangan kepada BPS untuk mengeluarkan data ekonomi. BPS harus menjadikan kasus ini sebagai tantangan, agar kehadirannya berarti bagi solusi permasalahan negeri. (*)