SUDUT PANDANG: Catatan Kritis Bambang Sadono

Meninggalkan zona nyaman Pendidikan Tinggi – Secara teori, apalagi teori politik, ungkapan “Ganti Menteri, Ganti Kebijakan”, adalah soal biasa. Karena politik adalah aktivitas memilih cara untuk mencapai tujuan.

Dalam politik pemerintahan demokratis yang dipimpin seorang presiden, maka kebijakan itu dieksekusi melalui para menteri yang bertanggungjawab pada bidang masing-masing. Maka jika presiden ingin mengubah kebijakan, pilihannya akan terlihat dari apa yang akan dilakukan para menterinya.

Kebijakan yang paling menyentuh kehidupan sehari hari, menyentuh sebagian besar masyarakat, pasti banyak mengundang tanggapan. Misalnya kebijakan di sektor pangan, energi, pendidikan, dan sebagainya. Stres nasional pun sering terjadi sebagai dampak dari kebijakan di bidang pendidikan.

Ketika terjadi perubahan, biasanya menyangkut biaya yang harus ditanggung masyarakat. Misalnya pergantian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), acapkali disertai ganti buku, ganti kurikulum. Pendidikan selalu dikaitkan dengan nasib dan masa depan.

Di bidang pendidikan tinggi, suasana serba tidak pasti membayangi penunjukan Nadiem Makarim sebagai Mendikubud. Pertama, menyangkut peleburan bidang Pendidikan Tinggi yang semula sudah diakomodasi dalam Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, kembali ke “pangkuan” Kemendkbud. Kedua, keraguan terhadap pengalaman “Mas Menteri” dalam mengelola masalah pendidikan yang multikompleks, khususnya pengalaman dalam dunia pendidikan tinggi.

Apalagi dunia pendidikan tinggi sudah tertekan karena berbagai keinginan yang dampaknya tidak mudah dipenuhi. Misalnya ambisi menjadikan pendidikan tinggi Indonesia berstandar internasional. Sampai saat ini ranking tertinggi yang dicapai perguruan tinggi terbaik di Indonesia, seperti terlihat dalam daftar QS World University Rankings masih berkisar di peringkat 300-an. Mungkin inilah yang membuat Presiden Joko Widodo gemas, sehingga pernah punya gagasan untuk mengontrak rektor asing untuk menggenjot prestasi perguruan tinggi di Indonesia.

Tekanan yang tak kalah membebani dunia pendidikan tinggi adalah kemampuan dalam menjawab tantangan dunia kerja. Bukan hanya menjamin lulusan bisa memenuhi kompetensi yang dibutuhkan untuk dunia kerja, tetapi sekaligus memiliki daya cipta dan keberanian untuk menyiapkan lapangan kerja baru. Inilah yang mungkin menjadi pilihan kebijakan Presiden, yang akan dieksekusi Menteri Nadiem, dan mengarahkan dunia pendidikan tinggi lima tahun ke depan.

Prestasi dan Karakter

Di depan sivitas akademika Universitas Indonesia, Desember 2019, Nadiem Makarim menegaskan bahwa untuk lima tahun ke depan, yang menjadi prioritas nomor satu bagi dunia pendidikan tnggi di Indonesia adalah mencetak pemimpin masa depan. Artinya, mahasiswa yang saat ini duduk di bangku kuliah harus disiapkan menjadi pemimpin setelah lulus nanti.

Tuntutan tersebut tentu lebih tinggi daripada sekadar bisa bekerja, atau mengisi lapangan kerja yang tersedia. Sebab yang diharapkan adalah bisa memimpin, sehingga mempunyai kapasitas profesional, sekaligus juga mempunyai kompetensi manajerial.

Salah satu pesan kebijakan pendidikan tinggi lima tahun ke depan agaknya lebih ke perubahan, dari zona nyaman yang penuh formalitas ke zona realitas yang penuh tantangan dan kompetisi. Sebuah kritik terhadap budaya pendidikan tinggi yang seakan telah menjadi industri, bahkan menjadi bisnis yang menjanjikan gelar akademis, tanpa disertai jaminan kompetensi.

Institusi perguruan tinggi selama ini hanya menawarkan ijazah, tetapi bukan kesiapan menghadapi tantangan kecakapan profesional, dan keberanian untuk mengambil risiko. Akreditasi bukan mendorong standarisasi kualitas, karena pasar telah menuntut standar yang menyesuaikan dengan kultur lapangan yang pragmatis.

Jawabannya bisa disederhanakan, kualitas dan eksistensi perguruan tinggi bisa dipotret dari alumninya. Di mana mereka berada dalam peta dunia kerja. Tidak cukup hanya bisa bekerja, atau menciptakan lapangan kerja, tetapi juga bagaimana prestasinya. Kalaupun berhasil di bidangnya, bagaimana manfaat mereka terhadap lingkungannya, bahkan untuk publik yang lebih luas.

Ukuran keberhasilan perguruan tinggi tidak tergantung dari seberapa banyak mahasiswa yang bisa ditampung, dan seberapa banyak yang bisa diluluskan. Tetapi berapa banyak alumni yang bisa mengharumkan nama almamater karena prestasi dan karakternya. Sehingga seperti kalau menyebut alumni Harvard, Berkeley, Oxford dan sebagainya, orang sudah bisa mengukur seberapa kredibilitasnya.

Mungkin inilah yang ingin dicapai Mendikbud Nadiem Makarim dalam lima tahun mendatang. Pasti yang namanya perubahan, respons tergantung pada bayangan risiko bagi yang terimbas kebijakan baru tersebut. Bagi yang terlanjur menikmati zona nyaman, terlindung oleh birokrasi dan berbagai formalitas, menjalankan business as usual, pasti merasa terusik dan berusaha menangkalnya.

Namun bagi mereka yang mementingkan kualitas produk daripada formalitas prosedural, pasti akan menganggap medan baru ini sebagai tantangan menghadapi persaingan terbuka; bukan persaingan sesama insan pendidikan tinggi Indonesia, melainkan kompetisi antarbangsa di dunia.

Lanjutkan yang Baik

Perubahan sekadar berubah jika tidak menjamin perbaikan kualitas. Sistem akreditasi perguruan tinggi yang sudah teruji jika harus diteruskan. Namun, moralitas harus menjadi karakter baru dalam menjalani sistem tersebut.

Jangan kerena ingin banyak mahasiswa yang lulus, atau demi peringkat akreditasi, kualitas kelulusan menjadi nomor sekian. Atau demi citra lembaga, dilakukan cuci gudang, semua mahasiswa dengan kualitas akademis apapun akan diluluskan. Semua itu kerap agar tidak membebani citra perguruan tinggi yang bersangkutan, dengan lama waktu kuliah yang tidak bisa ditoleransi.

Rasio dosen-mahasiswa juga menyebabkan perguruan tinggi menerima mahasiswa sebanyak mungkin, meski lapangan kerjanya sudah jenuh. Yang penting masih ada calon mahasiswa yang berminat masuk.

Rasio guru besar dengan segala persyaratan formalitas yang membebani, membuat ada yang tega mencari jalan pintas untuk sekadar memenuhi persyaratan. Karena semua dosen harus meneliti dan melakukan pengabdian masyarakat, demi formalitas persyaratan naik pangkat, dharma pendidikan dan pengajaran pun dinomorduakan.

Apa yang sudah diusahakan dan dicapai saat ini bukannya tidak ada yang berhasil. Tetapi konsistensi, disiplin, dan moralitas penegakannya yang selama ini sering disalahpahami perlu diperkuat, sehingga menimbulkan trust publik.

Para lulusan, baik sarjana, magister, maupun doktor yang sudah terjun di masyarakat, akan ikut meyakinkan bahwa mereka benar-benar bagian dari solusi penyelesaian masalah bangsa, atau bahkan bagian dari masalah itu sendiri yang harus dicarikan jalan keluar.

Selamat berjuang. Bertemu lagi lima tahun mendatang untuk membuktikan apa yang kita kerjakan saat ini. (*)