Oleh : Made Dwi Adnjani*)

JawaTengah.Online Era digital yang ditandai dengan hadirnya internet membuat seluruh aktivitas menjadi tanpa batas ruang dan waktu. Kemudahan untuk mendapatkan dan berbagi informasi dalam waktu singkat dengan hadirnya media sosial membuat penggunanya senantiasa update dan bisa berbagi informasi setiap saat.

Kehadiran media sosial memudahkan untuk berinteraksi dan membangun hubungan dengan banyak orang dari berbagai kalangan dan memungkinkan untuk mengaktualisasikan diri untuk menunjukkan eksistensi diri. “Cogito Ergo Sum”, “saya berfikir maka saya ada”, frase dari filosof Perancis Rene Descartes (1596-1650) mungkin bisa dimodifikasi untuk menggambarkan kondisi di era digital ini, “saya update status maka saya ada.”

Bila kita tidak mengunggah status maka kehadiran kita tidak akan dirasakan orang lain. Namun ketika kita membuat status dan mempublishnya di media sosial maka kita sedang menyatakan bahwa kita ada, sehingga tak jarang kita temui dalam kondisi tertentu seseorang akan berkata “sebentar kita buat konten dulu”, atau sebelum menyantap hidangan tak jarang kita akan mengabadikan dalam bentuk foto untuk diunggah di sosial media. Mungkin juga semua aktivitas dan perjalanan kita juga diunggah untuk menunjukkan jejak kehadiran kita di dunia ini. Eksistensi diri menjadi dibutuhkan oleh banyak orang karena perkembangan zaman yang membuat kita harus beradaptasi dan menjadikan perhatian kita berpusat pada kehidupan di sosial media.

Kata eksistensi berasal dari bahasa Inggris “exist” yang berarti ada, terdapat hidup atau dirasakan keberadaannya. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) eksistensi memiliki arti keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan.

Eksistensi ini ada karena keberadaan seseorang dalam lingkungan masyarakat, bisa dikatakan ingin diakui keberadaannya dari segi sosial. Ini berarti bahwa keberadaan diri kita membutuhkan pengakuan atau merasa diakui. Tidak hanya pada generasi muda yang sedang mencari jati diri sehingga membutuhkan pengakuan tetapi eksistensi diri ini pada akhirnya menjadi budaya baru dalam masyarakat berjaringan.

Apakah kemudian eksistensi diri menjadi buruk? Semua memang tergantung pada pemikiran dan opini masing-masing karena tak jarang kita juga berdalih bahwa aktivitas itu adalah untuk titip dokumentasi. Memang diakui dengan mengunggah aktivitas kita, maka jika dibutuhkan akan mempermudah untuk mencari dan menemukan kembali. Hal inilah yang mendorong orang untuk kemudian mengunggah segala aktivitas yang dimiliki dan terkadang menjadi semacam privat diary di ruang publik untuk mempertunjukkan bahwa diri seseorang itu ada dalam kehidupan di dunia maya.

Eksistensi Diri di Dunia Maya

Eksistensi diri di dunia maya menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi warganya. Eksistensi ini berkaitan dengan keberadaan serta waktu yang digunakan untuk berada di dunia maya. Semakin sering atau semakin lama orang tersambung ke dunia maya, maka eksistensi mereka akan semakin tinggi yang dihitung dari jumlah follower, jumlah like dan jumlah comment.  Eksistensi di dunia maya ini butuh untuk dinilai orang lain agar keberadaanya diakui oleh orang atau pihak lain. Terkadang ini menjadikan apa yang dipublish di dunia maya sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam dunia nyata. Sering kita menjumpai seseorang yang kehidupan yang didisain di dunia maya tidak sesuai ketika kita bertemu dan berinteraksi dengan orang tersebut di dunia nyata.  

Dalam konsep. Dramaturgi karya Erving Goffman (1922-1982) yang ditulis dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1956) bahwa individu akan berlomba-lomba menampilkan diirnya sebaik mungkin. Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, maka mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Upaya ini disebut dengan pengelolaan kesan atau impression management, yaitu teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.

Menurut Goffman kehidupan sosial ini ibarat panggung sandiwara yang bisa dibagi menjadi wilayah depan (front region)  dan wilayah belakang (back region) yang merujuk tempat dan peristiwa yang memungkinkan mempersiapkan perannya di wilayah depan. Sementara panggung depan juga dibagi menjadi dua yaitu front pribadi (personal front) dan setting atas alat perlengkapan.

Di sinilah aspek gagasan diri dan kesan yang diinginkan dilakukan untuk menunjukkan kehadiran dirinya di panggung maya. Dalam interaksi atau pertunjukan, pihak-pihak yang terlibat dapat menjadi penonton dan pemain secara bersamaan, para aktor biasanya menumbuhkan kesan yang mencerminkan diri mereka dengan baik dan mendorong orang lain, dengan berbagai cara untuk menerima definisi diri yang mereka sukai. Dalam pandangan Gofman orang memiliki keinginan untuk mengontrol kesan yang dibentuk orang lain tentang mereka.

Bila kita cermati apabila proses pembentukan kesan di dunia maya ini dilakukan oleh mereka yang sudah memahami diri biasanya ketika memosting memiliki kesadaran akan  konsekuensi dan tanggung jawab dari apa yang diperbuat.

Akan tetapi fenomena yang terjadi justru sebaliknya, apalagi ditambah dengan hasil survei yang  dilansir oleh Microsoft dalam laporan berjudul Digital Civility Index (DCI) menempatkan  tingkat kesopanan Netizen Indonesia pada urutan ke-29 dari 32 negara di Asia Tenggara.  

Sehingga alih-alih eksistensi diri, justru perundungan yang dialami atau mendapatkan ujaran kebencian. Hal inilah yang perlu kita perhatikan bahwa eksistensi diri di dunia maya bukanlah satu-satunya parameter dalam kehidupan, jika kita selalu melakukan hal-hal positif secara kontinyu dalam tindakan nyata maka eksistensi diri pasti akan selalu mengikuti tanpa perlu didisain di dunia maya yang justru akan menjadi bumerang bila tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi tetaplah bijak dalam bermedia sosial di era digital dan tetaplah eksis tanpa kehilangan jati diri sebagai individu baik di dunia nyata ataupun di dunia maya.

*) Made Dwi Adnjani

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FBIK UNISSULA, anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (JAPELIDI)