SUDUT PANDANG: Catatan Kritis Bambang Sadono
Pengalaman Kabupaten Sragen saat dipimpin Untung Wiyono (bupati periode 2001-2006 dan 2006-2011) mungkin bisa dijadikan pertimbangan. Daerah ini pernah mencapai pertumbuhan ekonomi tertinggi dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah.
Ketika Untung Wiyono mengawali tugas sebagai bupati tahun 2001, pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Sragen hanya sebesar 2,96 persen. Tetapi pada tahun 2010 sudah mencapai 6,09 persen, hanya kalah dari Kota Magelang. Tahun 2009-2010, pertumbuhan ekonomi Sragen bahkan masuk dalam daftar 10 besar kabupaten / kota tingkat nasional.
Gubernur Jawa Tengah (ketika itu Mardiyanto) memberikan pujian kepada Untung Wiyono, lantaran yang bersangkutan sekaligus mampu mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD, dari Rp 2,5 miliar (2001) menjadi Rp 84 miliar (2011).
“Peningkatan PAD tanpa menaikkan pajak dan retribusi, bahkan menghapus 17 jenis retribusi yang ada,“ tuIis Mardiyanto dalam buku Menggerakkan Kekuatan Indonesia, lnspirasi dari Sragen (2014).
Salah satu kunci keberhasilan Untung, tulis Mardiyanto, karena mau melakukan efisiensi anggaran. Awal menjadi bupati, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen telah menyediakan anggaran Rp 9,6 miliar untuk membangun jembatan di Desa Gawan di atas Sungai Bengawan Solo.
Namun anggaran bisa diturunkan menjadi Rp 4,3 miliar dengan mengefisienkan biaya pembangunan dan pembebasan lahan. Artinya, dengan anggaran yang sama dapat dibangun dua jembatan. Total selama menjabat bupati, ia telah membangun 72 jembatan, embat di antaranya jembatan gantung.
Beberapa terobosan Untung Wiyono
Apa terobosan dan lompatan Untung Wiyono dalam mengatrol pertumbuhan ekonomi di Sragen? Sebagai mantan pengusaha migas, dia banyak memanfaatkan pengalamannya sebagai wiraswasta yang memang lahir di kabupaten yang terbelah Bengawan Solo tersebut.
Untung sangat mengenal daerah kelahirannya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dia mulai dengan menggairahkan sector pertanian, kemudian memotivasi kegiatan perdagangan.
1. Menyelamatkan PG Mojo
Suatu ketika, ada kabar bahwa Pabrik Gula (PG) Mojo yang menjadi andalan petani tebu di Sragen akan segera tutup, karena kesulitan likuiditas. Apabila benar-benar ditutup, 12 ribu warga Sragen baik petani, pekerja pabrik, maupun mereka yang hidup dari kegiatan pabrik tersebut akan kehilangan pekerjaan.
Hal ini menjadi ujian bagi Untung sebagai bupati dalam pembangunan ekonomi, khususnya pada sektor pertanian. Dengan jaminan pribadinya, akhirnya PG Mojo memperoleh pinjaman dana Rp 5,5 miliar sehingga bisa beroperasi lagi.
Tantangan berikutnya muncul. Bagaimana menjamin pasokan tebu dari petani untuk digiling di PG Mojo? Jalan keluarnya menggunakan tanah tanah Perhutani yang kosong. Akhirnya, dengan seizin Menteri Kehutanan, 6.500 hektare lahan bisa dikerjakan petani untuk menanam tebu.
“PG Mojo akhirnya bisa beroperasi kembali. Minimal 12 ribu kepala keluarga yang menggantungkan hidup dari pabrik ini terselamatkan. Masih banyak potensi tanah Perhutani di Jateng yang bisa dimanfaatkan. Tergantung kreativitas dan keuletan masing-masing kepala daerah,” kata Untung.
Selain tanah tak produktif milik Perhutani, di Kabupaten Sragen terdapat sekitar 12.500 hektare lahan yang tak tergarap dengan baik, termasuk 6.500 hektare milik Perhutani. Untung mulai mengajak rakyat untuk menggarapnya dengan teknologi; bukan mencangkul secara tradisional.
Jika menggunakan traktor, plus biaya bajak dan penanaman tebu, total biaya hanya sekitar 225 ribu rupiah per hektare. Jika menggunakan cangkul, biayanya Rp 1,2 juta / hektare.
“Ketika harga gula jatuh, saya mengusulkan kepada Presiden (saat itu Megawati) agar dinaikkan. Supaya petani bisa menikmati hasilnya, dan mau terus menanam tebu. Ini untuk menjaga pasokan pabrik gula,” jelasnya.
Soal pengairan, kini petani Sragen juga tak mengalami kesulitan, bahkan pasokan air melimpah. Dulu selalu kesulitan, sehingga harus melakukan penyedotan dari Waduk Kedungngombo. Sekarang sudah ada Bendungan Gondang yang diresmikan Presiden Joko Widodo.
Bendungan Gondang tak hanya mengairi sawah di Kabupaten Sragen, tetapi juga Karanganyar. Kualitas airnya terbilang bagus dan bersih dari zat kimia.
Ditambah lagi beberapa waduk yang sudah dibangun zaman Belanda, yaitu Waduk Botok dan Blimbing. Sekarang juga telah dibangun 74 embung sebagai penyimpan air. Tatkala mengakhiri tugas sebagai bupati, Sragen bisa surplus gula 345.000 ton / tahun.
2. Bebaskan Perizinan
Menurut Untung Wiyono, pertumbuhan ekonomi berarti investasi. Salah satu yang menghambat adalah proses perizinan terlalu banyak. Akibatnya, investor swasta tidak mau masuk. Karena ribet soal perizinan, pertumbuhan ekonomi daerah jadi melambat.
Kuncinya ada di kepala daerah. Kalau perizinan dibebaskan, otomatis swasta akan berduyun-duyun masuk. Ketika Untung memimpin Sragen, perizinan digratiskan. Pembuatan akte pendirian koperasi pun gratis, tak ada pungutan.
Sebab setelah dihitung, uang masuk dari biaya perizinan hanya sekitar Rp 2 miliar / tahun. Itu terlalu kecil, bahkan hanya merepotkan rakyat saja. Dinas-dinas yang membebaskan biaya perizinan mendapat insentif dan dana operasional.
Pembebasan perizinan itu terbukti memberikan dampak sangat luas, antara lain penerimaan pajak naik. Pembebasan perizinan juga mendorong semua usaha menjadi legal. Bahkan orang yang mempunyai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) bertambah, dan sebagian besar membayar pajak.
“lni yang dulu saya lakukan di Sragen. Karena investasi masuk, perputaran uang menjadi ramai, perbankan makin bergairah. Awal jadi bupati, di Sragen hanya ada tiga bank. Sekarang ada 17 bank,” tandasnya. (*)