Oleh: Citra Rosalyn Anwar

JawaTengah.Online — Tahun 2020 Twitter menempatkan Indonesia di urutan ketiga sebagai negara yang paling banyak nge-tweet tentang K-Pop, Korean Culture and Information Service (KOCIS) menyatakan bahwa, sekitar 66% penggemar K-Pop berada di usia remaja dan dewasa awal usia 20 tahunan. 

Survei Kumparan (2017) menyatakan, 56% fans K-Pop menghabiskan waktu 1-5 jam berselancar di media sosial untuk mencari tahu segala informasi tentang idola mereka. Aktivitas tersebut menunjukkan besarnya jumlah penggemar K-Pop di Indonesia yang menghabiskan waktu di dunia maya.

Dunia K-Pop adalah kekuatan besar  di dunia maya. Penggemar K-Pop mengajarkan tiga hal penting, cyberbullying, privacy dan jejak digital. Pengemar K-Pop sangat erat dengan tiga hal tersebut. Fanwar hingga dukungan terhadap idol membuat fans K-Pop sangat dekat dengan cyberbully baik sebagai pelaku hingga korban. Bukan rahasia  bullying tersebut menjadi salah satu alasan tingkat depresi yang dialami oleh idol K-Pop seperti Sulli (2019) hingga Goo Hara (2019).

Cyberbullying sendiri menjadi isu yang hangat di Korea Selatan, hingga pernah di gulirkan sulli act rancangan undang-undang tahun 2019 yang dirancang untuk melindungi dari bulyying.

Menariknya penggemar K-Pop terutama K-Netz menyebarkan budaya K-Pop ke penggemar di seluruh dunia termasuk tentang menghargai privacy idolnya. Idol K-Pop memang tidak mudah berinteraksi melalui media social, seringkali media social mereka dipegang oleh agensi. Idol sangat membatasi interaksinya di media social, cenderung tidak mengumbar aktivitas pribadi, hal tersebut tentu menjadi pelajaran dan contoh menarik bagi penggemarnya. Idol menutup rapat kehidupannya,bahkan aktivitas dengan keluarga. Isi media social mereka lebih banyak tentang pekerjaan tanpa hubungan pribadi, sensasi, ataupun hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.

Privacy Idol pun sangat dijaga oleh penggemarnya, meskipun idol selalu diikuti oleh puluhan fans dalam aktivitas pekerjaan, seperti di bandara namun fans selalu berusaha menjaga jarak dari idolnya untuk menjaga kenyamanan. Tidak menyentuh, menarik, memaksa untuk foto bersama, dan seterusnya, meski tetap mengikuti dengan kamera. Bila fans tanpa sengaja memiliki kesempatan berfoto dengan idolnya, saat dibagikan maka wajah penggemar akan ditutup, demi menjaga privacy sang penggemar, begitupun bila memotret atau memvideokan idolnya di ruang public, maka wajah-wajah di sekitar idolnya akan dikaburkan.

Privacy lain yang sangat dijaga adalah aktivitas keseharian idol yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, seperti liburan dan seterusnya. Penggemar mereka yang tergabung dalam fandom, akan meminta akun-akun yang memposting aktivitas idol yang dianggap mengganggu kenyamanan idol untuk ditarik.

Menariknya postingan dari fandom besar ini akan dengan sangat cepat di ikuti oleh fans di seluruh dunia.Meskipun ada kelompok penggemar yang disebut sasaeng namun peran fandom sangat besar menjaga privacy idolnya, penggemar menjadi lebih berhati-hati memposting apapun tentang idolnya.

Menarik untuk ditiru dan dicermati, apalagi mengingat fenomena remaja mengejar popularitas mengandalkan sensasi semakin mengkhawatirkan.Konten yang melanggar etika, mengandung SARA yang mengundang bully namun karena berpotensi viral, tetap saja dilakukan.

Hal penting lain yang diajarkan oleh K-Pop dalam berinternet adalah menjaga jejak digital. Idol K-Pop tidak hanya harus berbakat  namun juga  berprestasi, akademik,  dan masa lalu yang bersih. Jejak digital mereka menjadi  yang paling penting untuk diperhatikan, bila seseorang mengikuti audisi untuk menjadi idol, maka pihak agensi akan memeriksa latar belakangnya terutama jejak digitalnya. Sangat biasa idol yang sudah popular sekalipun bisa  mengundurkan diri dan menghentikan karirnya ketika masyarakat menemukan ‘hal negatif’ di jejak digitalnya meskipun hal tersebut sudah berlalu sekian tahun lalu. Sebut saja skandal Jung Joon Young tahun 2019,tahun 2020 kasus bullying dalam grup AOA dan banyak lagi.

Hal tersebut  menjadi pelajaran penting bagi remaja pengguna internet, bahwa apapun yang dilakukan di internet akan menjadi jejak yang sulit untuk dihapuskan. Jejak digital ini, akan menjadi jejak yang bisa ditelusuri oleh lembaga pemberi beasiswa, perusahaan-perusahaan saat merekrut pegawai dan seterusnya.

Lepas dari kontroversi K-Pop, anak-anak bisa belajar tentang pergaulan di dunia maya dari penggemar K-Pop,mulai menjaga privacy diri dan lingkungan, jejak digital serta memahami kerasnya cyberbullying. Kebiasaan cerdas di dunia maya, adalah modal yang sangat penting bagi generasi digital yang mengira bahwa dunia maya  memberi ruang aman bagi mereka sebab bisa bersembunyi dibalik anonimitas itu tidak senyaman yang mereka kira.

*Citra Rosalyn Anwar adalah dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Makasar (UNM)