Oleh: Olivia Lewi Pramesti*

JawaTengah.Online — Konten receh, sebuah istilah yang tak asing bagi generasi milineal saat ini. Receh dalam KBBI adalah turunan dari recehan yang berarti uang. Kata “receh” banyak digunakan untuk menganggap hal yang remeh temeh. Konten ini banyak diburu generasi “now” atau milineal karena sifatnya yang ringan dan menghibur.

Tak pelak konten receh selalu menjadi trending di situs pencarian google trend. Hal inilah yang memicu media daring berlomba-lomba menarik simpati generasi milineal dengan konten yang sifatnya hiburan ini. Salah satu strategi mereka adalah dengan memainkan judul clickbait.

Judul “clickbait “ mungkin sudah tidak asing terdengar. Judul clickbait identik dengan judul yang menjebak pembaca. Jadi ketika pembaca mengklik beritanya, biasanya isi berita tidak sama dengan judulnya. Judul ini biasanya digunakan untuk menarik pembaca demi kepentingan page view dari sebuah media.

Menurut Chakraborty, Paranjape, Kakarla, & Ganguly ( dalam Pramesti, 2019), karateristik clickbait di antaranya jumlah kata dalam judul rata-rata 10 kata; judul dalam headline memiliki anak kalimat panjang; judul bombastis seperti menggunakan kata-kata ““wow”, “astaga”, “ckckc”, “yuk”, dan lainnya;  judul menggunakan tanda baca “!?”,***, !!!; serta judul mengeksploitasi celah keingintahuan pembaca;  topik dalam satu judul berita bisa berbeda; serta judul menceritakan sesuatu dengan deskripsi panjang

Judul berita clickbait ini biasanya berisi hal-hal receh yang membuat penasaran pembacanya. Hanya saja, karena seringkali berupa jebakan, pembaca sering kecewa dibuatnya. Inilah yang disebut dengan curiosity gap. Abhijnan & Cakraborty (dalam Zaenudin, 2018) mengungkapkan bahwa clickbait mengeksploitasi sisi kognitif manusia yang disebut curiosity gap. Curiosity gap adalah kesenjangan pengetahuan yang memiliki konsekuensi emosional. Judul clickbait memantik emosional pembaca karena mereka terpuaskan dari sisi emosional. Menariknya, mereka sadar bahwa clickbait adalah jebakan, namun pengguna tetap mengkliknya karena menarik dan menghibur (Pramesti, 2019).

Berdasar observasi penulis pada keberadaan judul clickbait dengan konten ringannya ini, beberapa mahasiswa mengaku bahwa mereka seringkali tertipu oleh judul berita panjang sebelum mengklik beritanya. Mereka mengaku mereka sering mengklik judul-judul bombastis karena rasa penasaran mereka. Bagi mereka, judul berita bombastis itu lucu dan menghibur. Sayangnya, setelah mengklik judul dan masuk dalam tubuh tulisan, mereka sering kecewa karena ekspetasi berbeda. Judul dan isi sama sekali tidak nyambung.

Coba kita lihat contoh judul clickbait dalam berita Atta Halilintar-Aurel Hermansyah. Topik Atta Aurel menjadi trending topik di google trend. Tak hanya pertunangannya saja, tetapi surat layangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atas siaran langsung di RCTI turut nongkrong di jajaran atas google trend Indonesia. Perolehan angka di google trend ini menjadi bukti bahwa animo masyarakat Indonesia atas topik Atta-Aurel tinggi.

Berita Atta-Aurel cenderung menggunakan judul clickbait untuk memperoleh klik dari pembaca. Beberapa judul di antaranya, Intip Rumah Baru Atta Halilintar, Calon Suami Aurel Hermansyah Sudah Siapakan Kamar Khusus Anak (SuryaMalang.Tribunnews.com/17 Maret 2020);   Isi Souvenir Lamaran Atta Halilintar dan Aurel Terbongkar, Ternyata Punya Makna yang Tak Terduga (Aceh.Tribunnews.com/17 Maret 2020); Reaksi Aurel Hermansyah saat Atta Halilintar Ngaku Lebih Suka Tak Pakai Dalaman saat Kenakan Piyama (Medan.tribunnews.com/17 Maret 2020); Terungkap Daftar Seserahan Aurel dari Atta Halilintar, Harganya Jutaan! (Suara.com/16 Maret 2020); Lamar Aurel Hermansyah, Diam-diam Krisdayanti Beri Pesan Ini ke Atta Halilintar, Asyiaapp (Bangka.Tribunnews.com, 14 Maret 2020) , dan lainnya.

Judul-judul tersebut masuk dalam kategori clickbait karena menceritakan sesuatu dengan deskripsi yang panjang, bombastis (membuat penasaran), penggunaan kata dalam judul sekitar 10 kata, serta topik yang beragam dalam satu judul. Berdasar observasi penulis ketika mengetikkan keyword “Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah”, puluhan judul clickbait rata-rata mendominasi judul media online Indonesia.

Fenomena menjamurnya judul-judul clickbait bagi media daring saat ini merupakan tren dari jurnalisme kuning. Jurnalisme ini mengusung konsep dramatisasi untuk mengagetkan dan memicu respon emosional pembaca. Berita-berita yang dihadirkan biasanya adalah berita yang sensasional. Fenomena di Indonesia sendiri, jurnalisme kuning dulu identik dengan berita kriminal, seks, serta mistis. Namun, saat ini, jenis beritanya lebih beragam seperti berita sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.

Memang tidak bisa dihindari bilamana jurnalisme kuning ini lebih memberikan profit bagi media. Hanya saja, jurnalisme kuning ini akan membuat kualitas berita daring menjadi menurun. Padahal, generasi saat ini dan ke depan cenderung mengkonsumsi berita media daring dibandingkan di media lainnya.

 Apa yang terjadi bilamana generasi kita disuguhi konten receh terus menerus? Mungkin saja generasi milineal bahkan generasi ke depannya akan menjadi generasi yang tidak tahu perkembangan situasi terkini. Mereka menjadi kurang kritis dan peka pada keadaan yang tengah terjadi. Lalu solusinya bagaimana dengan fenomena judul clickbait ini? Generasi milineal sebaiknya perlu mempertimbangkan dengan betul sebelum mengklik judul berita. Jangan mudah terjebak dengan judul panjang. Cobalah cari perbandingan di media lain berita serupa. Pilihlah berita yang berkualitas dan mendidik melalui judul yang disodorkan media.

 Tak hanya itu, bagi generasi milineal mulailah untuk mencari berita-berita yang memiliki nilai berita penting bagi masyarakat. Mulailah mengikuti isu-isu terkini yang serius namun berguna bagi kesejahteraan bersama. Semakin sering membaca isu-isu terkini yang terkesan “serius” bagi mereka, maka pengetahuan, sikap peka dan kritis juga akan terbuka.  Perilaku cerdas pada konten media inilah yang akan mempengaruhi ageda setting media pada sebuah isu. Agenda setting media, salah satunya dipengaruhi oleh agenda publik atau apa yang sering dibicarakan oleh masyarakat. Logikanya, semakin masyarakat suka, semakin gencar media memberitakannya. Marilah mulai sekarang untuk memilih konten media yang mencerdaskan. Semakin kita cerdas memiih konten media, semakin kita tidak bisa diperdaya oleh media.

Penulis: Olivia Lewi Pramesti adalah dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta