Oleh: Fransiska Desiana Setyaningsih
JawaTengah.Online — Teknologi informasi dan komunikasi di dunia kian berkembang sejak awal abad 21. Hootsuite dan We Are Social pada Januari 2021 menunjukkan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta atau sebesar 73,7 % dari total populasi yang berjumlah 274,9 juta jiwa. Kondisi ini akhirnya turut berdampak pula pada perubahan gaya hidup masyarakat yang menjadi serba digital. Pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia juga turut menyumbang perubahan tersebut. Ketika sebagian besar aktivitas masyarakat dilakukan dari rumah (bekerja, sekolah, aktivitas belanja, berlibur, nonton konser dan lainnya), maka gaya hidup yang serba digital kian terasa.
Ya, kehadiran media digital, turut mengubah pola tatanan hidup masyarakat. Sehingga akhirnya, kita tidak saja dikenal sebagai warga negara (citizen) tetapi juga warga digital (netizen). Baik sebagai warga negara maupun warga digital, kehidupan dalam berinteraksi kita dikelilingi oleh aturan dan norma. Sehingga walaupun sepertinya tidak nampak, saat berinteraksi di media digital sebenarnya kita dihadapkan juga dengan individu lain sebagaimana ketika kita berinteraksi di dunia nyata.
Berbagai kemudahan yang ditawarkan melalui media digital kemudian dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk melakukan tindak kekerasan yang pada akhirnya merugikan orang lain. Salah satu dari tindak kekerasan yang paling sering kita dengar adalah pelecehan. Pelecehan sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu pola perilaku menyerang yang tampak bertujuan tidak baik terhadap orang yang menjadi sasarannya, biasanya (tapi tidak selalu) dengan tujuan untuk mengancam atau mengintimidasi target utamanya (id.wikipedia.org).
Penyebab pelecehan beragam, bisa karena penampilan fisik, ras/etnis hingga jenis kelamin (tirto.id). Pelecehan yang dilakukan melalui media digital juga bermacam-macam, ada yang secara verbal, secara visual maupun gabungan keduanya. Bentuknya pun bisa beragam, mulai dari mengolok-olok orang di media sosial yang bisa berujung pada perundungan (bullying), menyebarkan data pribadi orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya, bahkan mengirimkan atau menyebarkan pesan dan gambar-gambar porno kepada orang tertentu dan sebagainya. Ketika tindakan pelecehan tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin, mereka yang menjadi korban akan merasa tertekan, trauma, depresi bahkan bisa berujung pada bunuh diri.
Lalu, apa yang dapat kita lakukan? Perlindungan seperti apa yang bisa kita berikan terutama bagi mereka yang menjadi korban kekerasan di media digital?
Pertama, laporkan tindak pelecehan yang dialami. Jangan diam. Jika kita mendiamkan maka tindak pelecehan tersebut akan berulang kembali dan bisa jadi korbannya akan bertambah banyak, demikian juga pelakunya. Mengapa? Karena mereka yang melakukan tindakan tersebut merasa bahwa hal tersebut biasa saja, wajar saja, tidak apa-apa. Lebih lanjut, tindakan tersebut bisa memicu orang lain untuk melakukan hal yang sama karena melihat contoh yang ada. Mereka akan terdorong untuk ikut melakukannya. Sehingga jika kita menemukan bahkan mungkin menerima tindak pelecehan, kita bisa melaporkannya ke https://aduankonten.id/
Kedua, beri pendampingan bagi korban. Biasanya mereka yang menjadi korban pelecehan pelecehan seksual dan bullying, akan mengalami trauma dan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mengatasinya. Kondisi ini juga yang menjadi salah satu alasan, mengapa korban pelecehan sering terlambat melaporkan apa yang mereka alami. Oleh karena itu dibutuhkan pendampingan untuk menumbuhkan kembali rasa percaya diri dan mengurangi trauma yang mereka rasakan. Di setiap daerah ada yang namanya Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), yang kemudian bisa dijadikan rujukan dalam mendampingi korban termasuk korban pelecehan di media digital.
Ketiga, berikan edukasi terutama dalam mengenali berbagai potensi termasuk berbagai modus kejahatan di media digital yang biasa digunakan pelaku untuk menjerat korbannya. Edukasi seperti ini penting dilakukan, agar kita dapat berhati-hati ketika menggunakan media digital. Jangan mudah tergoda untuk memberikan data diri termasuk foto, apalagi kepada orang yang baru dikenal. Berikan pemahaman bahwa dunia digital itu sama dengan dunia nyata, bahkan mungkin lebih ‘jahat’ karena apa yang kita lihat belum tentu seperti itu aslinya.
Akhirnya, jika semua pihak mau bekerja sama dan sama-sama bekerja, maka mereka yang menjadi korban kekerasan di media digital akan merasa ‘dimanusiakan’. Mereka akan lebih cepat pulih dan bangkit kembali. Lalu untuk kita yang lain, jangan biarkan kekerasan tumbuh subur. Jadilah warga negara dan warga digital yang cerdas dan bijak.
Penulis: Fransiska Desiana Setyaningsih, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Unwira & pegiat Japelidi