![](https://jawatengah.online/wp-content/uploads/2021/06/senior-citizen-80x75.jpg)
Oleh: Liliek Budiastuti Wiratmo
JawaTengah.Online — Beberapa saat setelah gerhana Matahari total yang dapat dilihat dari beberapa wilayah di Indonesia beredar informasi tentang Matahari kembar yang tampak di perbatasan antara Kanada dan Amerika Serikat.
Informasi tentang matahari kembar tersebut hanya salah satu informasi hoaks yang beredar luas. Hoaks yang marak beredar sebelumnya tentang kesehatan, termasuk tentang Covid-19, politik dan sebagainya. Ketika diberitahu bahwa informasi tersebut hoaks lengkap dengan link tautan yang dapat diakses dengan mudah mereka akan mengatakan “Maaf, Cuma copas dari sebelah’, Maaf, ga tau kalau hoaks. Setidaknya kita waspada. Dan berbagai dalih lain yang semuanya ngeles, melepas tanggung jawab.
Informasi yang termasuk kategori hoaks maupun disinformasi itu menyebar di berbagi media sosial seperti facebook, twitter, instagram hingga ruang-ruang bincang semacam WhatsApp Group (WAG). Penyebaran berita palsu/bohong tersebut tidak hanya dilakukan masyarakat awam, namun juga kalangan terpelajar yang seharusnya mampu melakukan verifikasi sebelum menyebarkannya semakin masif.
Sangat disayangkan juga berbagai hasil penelitian menyebutkan sebagian besar penyebar hoaks terbesar adalah kalangan warga lanjut usia.
Riset yang dilakukan Tirto terhadap 1.586 responden berusia 17 tahun ke atas di Pulau Jawa mengungkap kepercayaan responden berusia 36 tahun ke atas terhadap informasi yang berasal dari Whatsapp lebih tinggi dibanding usia di bawahnya. Responden berusia 17-21 tahun yang percaya informasi dari Whatsapp sebesar 34,9 %, usia 22-35 tahun sebesar 37,8%. Usia 36-45 tahun yang percaya 56,5% dan usia lebih dari 45 tahun yang percaya sebesar 66,67%. Keinginan membagi ulang pesan dari di WAG menunjukkan mereka yg berusia 36 tahun ke atas cenderung lebih tinggi dibanding usia di bawahnya. Usia lebih dari 45 tahun yang membagi kembali pesan 46%. Sedangkan Usia 36-45 tahun yang membagi kembali pesan WAG 39,86 %, usia 22-25 tahun sebesar 30,28%. dan usia 17-21 tahun sebesar 24,17% (https://tirto.id/siapa-penyebar-hoaks-di-indonesia-dCr2).
Mengapa lansia lebih mudah menyebar dan menjadi korban hoaks? Dalam Modul Budaya Bermedia Digital yang diterbitkan Kementerian Kominfo dijelaskan ada dua permasalahan hak digital di kalangan warga lansia yang perlu diatasi segera. Pertama, ketidakmampuan untuk membedakan sumber informasi yang valid dan akurat dengan sumber informasi yang tidak benar. Akibatnya, warga lansia kerap terjebak dalam hoaks dan menjadi korban penipuan. Kedua, keterbatasan kemampuan menggunakan teknologi digital karena gagap teknologi yang menyebabkan tidak dapat memetik manfaat platform digital secara optimal.
Kebutuhan akan aktualisasi diri yang merupakan puncak piramida kebutuhan manusia yang dikemukakan Abraham Maslow dan godaan takut tertinggal /takut hilang dari peredaran (Fear of Missing Out -FoMO) mewujud dalam dorongan menyampaikan informasi. Seringkali tanpa verifikasi, bahkan bila ternyata informasi tersebut tidak benar.
Persoalannya, apa yang disampaikan oleh warga senior tersebut dipercaya oleh teman sejawat yang menempatkan mereka sebagai opinion leader, tanpa ada yang mengoreksi. Persoalan yang lebih rumit terjadi manakala informasi tersebut disampaikan WAG keluarga yang anggotanya sangat beragam. Mulai dari generasi kakek-nenek, om-tante, hingga anak-cucu. Anggota yang lebih muda, apalagi yang termasuk generasi milenial atau alpha jarang yang punya keberanian untuk menyampaikan informasi yang benar. Mereka takut dianggap sok tahu, keladuk dan sebagainya.
Namun demikian, bila kita cermati warga lansia atau warga senior tersebut banyak yang memiliki potensi yang memungkinkan mereka justru menjadi agen literasi digital. Dorongan menyebar informasi tanpa melakukan verifikasi bisa jadi bukan karena mereka tidak mau, namun sangat mungkin karena mereka tidak tahu bagaimana melakukan verifikasi terhadap informasi yang diterimanya.
Bila mengacu pada UU No. 13/1998, lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Mereka adalah warga dunia yang lahir pasca Perang Dunia hingga tahun 1960-an awal. Mereka dikenal juga sebagai generasi baby boomers. Warga yang mengalami peralihan-peralihan teknologi yang dapat dikatakan berlari cepat. Generasi yang mengalami era kejayaan media cetak, radio, televisi dan saat ini era digital. Mereka mengalami masa menggunakan mesin ketik manual untuk mencetak berbagai dokumen. Mengalami berkirim pesan melalui perantaraan Pak Pos, mengirim dan menerima kiriman uang melalui wesel. Mendengar radio analog, menonton televisi hitam putih di kelurahan atau numpang di rumah tetangga. Hingga menikmati televisi layar datar yang tipis dan lebar, serta kemajuan teknologi yang mutakhir, dunia digital.
Sayangnya, pengalaman warga senior mengakses informasi digital tak selalu diikuti kompetensi yang lain. Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) pada tahun 2019 melakukan riset tentang kompetensi literasi digital di Indonesia. Hasilnya menunjukkan nilai kompetensi literasi digital responden usia lebih dari 55 tahun adalah 3,1 pada kompetensi akses; 3,3 kompetensi menyeleksi; nilai 3,3 kompetensi memahami; 3,1 distribusi; Nilai 3 kemampuan memroduksi; nillai 3 untuk kemampuan analisis; kemampuan verifikasi 3,1, kemampuan evaluai 3,2 evaluasi; kemampuan partisipasi 2,7 partisipasi; dan kemampuan kolaborasi 2,1.
Peta yang dihasilkan Japelidi tersebut dapat diubah melalui pengenalan/edukasi. Pada umumnya warga senior sangat dihormati dan dipercaya di lingkungannya, baik dalam lingkup keluarga maupun sosial. Terlebih pada mereka yang status sosialnya tinggi, baik karena pekerjaan atau posisinya di masyarakat. Potensi ini menjadi modal dasar bagi warga senior untuk mengambil peran di era digital. Dengan bekal pengetahuan yang cukup mereka dapat menajdi mitra dalam gerakan literasi digital. Dengan demikian mereka tetap dapat berperan serta dalam menebar kebaikan dan berguna bagi sesama di usia senja. Menjadi tugas pegiat literasi digital untuk menyentuh warga senior agar memiliki kemampuan digital yang memadai.
*Liliek Budiastuti Wiratmo adalah Dosen Prodi Informasi dan Humas Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro dan juga anggota Japelidi