Oleh: Rendra Widyatama, SIP., M.Si., Ph.D
JawaTengah.Online — Saat ini, hampir setiap orang punya media sosial, entah Facebook, Instagram, Youtube, TikTok, Twitter, Line, WhatsApp, ataupun lainnya. Menurut lembaga periklanan We Are Social, di Indonesia ada 170 juta pengguna media sosial dari total 274,9 juta (https://wearesocial.com). Jumlah tersebut diyakini terus bertambah mengingat telpon pintar sebagai basis media sosial diinstal, semakin murah.
Sejalan meningkatnya jumlah pengguna medsos tentu berdampak pada semakin membanjirnya informasi di tengah masyarakat. Ini dapat dimaklumi, karena media sosial memiliki karakter sebagai platform berbagi pesan. Di samping itu, pengguna medsos umumnya berkeinginan untuk selalu berbagi pesan, dengan aneka motif yang mendasarinya.
Media sosial telah memberi kesempatan dan ruang bagi penggunanya untuk menjadi produsen berita. Tiap orang bisa menjadi jurnalis yang mewartakan informasi dari lingkungan sendiri. Seseorang juga dapat dengan mudah menyebarluaskan opininya sendiri disamping sekedar meneruskan informasi dari sumber lain. Dengan kata lain, media sosial membuat semua orang bisa menjadi komunikator. Akibatnya jangan heran kalau di tengah masyarakat terjadi banjir informasi, yaitu keadaan dimana informasi sangat berlimpah sampai di luar kapasitas kemampuan masyarakat untuk mengelolanya.
Sayangnya, kemampuan publik memproduksi informasi yang berlimpah tidak disertai pertimbangan bijak terkait dampak yang mungkin ditimbulkan. Seringkali, tujuan mendapatkan perhatian dari publik, mengalahkan aspek yang lain misalnya aspek tanggungjawab sosial yang justru harus menjadi pertimbangan utama. Mereka terus membuat dan mengirim pesan di media sosial, tanpa peduli sikap dan perasaan orang lain. Mereka acuh bahwa khalayak tidak dapat menghindarkan diri dari serbuan informasi yang sering datang tanpa diundang.
Betul, bahwa masyarakat dapat memilih mengabaikan informasi yang tidak dikehendakinya, namun jangan salah, bahwa komunikan tak mampu menghindar dari gempuran informasi yang datang padanya. Selain itu, masyarakat juga sering tidak sadar bahwa tiap orang memiliki perbedaan kemampuan dalam mencerna pesan. Ada yang rasional dan tak mudah percaya sebuah informasi, namun tak sedikit yang gampang langsung percaya pada informasi yang datang padanya. Padahal, pesan menimbulkan dampak. Kecuali para penganut “the null theory”, semua peneliti mengakui bahwa pesan mampu menimbulkan pengaruh pada khalayak, meski dengan intensitas berbeda-beda, baik dalam aspek kognitif, konatif, maupun perilaku.
Dari sekian banyak pengaruh pesan, ada pengaruh yang sering tidak disadari namun jelas terlihat. Terlebih saat komunikan dibombardir pesan dari berbagai arah tiap hari dan akhirnya menghipnosis khalayak. Sering tidak disadari, pesan yang diterima secara massal ke dalam telpon pintarnya tiap hari, akan menjadi materi hipnososial yang dahsyat bagi khalayak. Dalam arti, pesan mempengaruhi mental dan alam bawah sadar khalayak dan membentuk persepsi yang kuat lalu mempengaruhi perilaku.
Dalam teori agenda setting dijelaskan, khalayak mempersepsi lingkungan sekelilingnya melalui dari apa yang dibacanya. Terlebih bila mereka menerpa pesan senada dari banyak sumber media, termasuk melalui media sosial. Akhirnya pesan membentuk perilaku tertentu. Bila misalnya khalayak menganggap Covid-19 adalah flu biasa, maka sikapnya akan acuh terhadap virus mematikan itu. Ia tidak akan takut sehingga tak memakai masker dan tidak menjaga jarak saat berada di tempat publik. Ia akan bersikap seperti itu karena banyak menerpa banyak pesan yang menyebut Covid-19 adalah virus sebagaimana virus flu lainnya. Mereka akan kukuh dengan pendiriannya.
Celakanya, dalam mengkonsumsi informasi, khalayak cenderung mencari pembenaran atas apa yang diyakininya. Dalam teori konsistensi, khalayak cenderung memilih sumber bacaan yang akan dibacanya, yaitu yang mendukung dan menguatkan keyakinannya. Oleh karena itu, dapat dipahami, seorang pembenci pemerintah yang menuding presiden zalim pada rakyat, maka ia akan terus konsisten dengan sikapnya. Pesan-pesan yang dibacanya, telah menghipnotis dirinya agar kukuh pada pendapatnya. Betapapun pemerintah telah berbuat banyak melindungi rakyat, seorang oposan tetap tidak mau tahu. Kebaikan seluas samudra tetap akan kalah dengan setitik kesalahan yang dilakukan pemerintah.
Fenomena hipnososial terjadi dimana-mana dan berlangsung terus menerus. Masih untung bila pesan yang bersliweran tersebut menghipnosis rakyat dalam dampak yang positif. Misalnya menanamkan sikap mental yang kuat, tangguh, dan hal positif lainnya. Lalu bagaimana bila pesan justru menjadi hipnososial negatif bagi khalayak? Misalnya membuat rakyat lemah, egois, putus asa, beringas, kasar, fatalistik, pesimistis, dan hal negatif lainnya?
Tidak disadari, pesan menjadi peluru tajam yang dapat mematikan sasaran. Pesan mematikan dapat saja ditembakkan dari orang yang lemah gemulai sekalipun bila ia senang memproduksi dan menshare pesan-pesan pesimis, pesan fatalistik, maupun pesan negatif lainnya. Anda mungkin pula telah menembakkan pesan-pesan seperti itu yang menghipnotis masyarakat dalam konteks negatif. Bila anda sering memposting pesan-pesan negatif seperti itu melalui media sosial anda, berarti anda telah ikut menghipnotis publik membentuk sikap, mental, dan perilaku negatif. Mengerikan bukan? Karena itu, mulailah bijak memproduksi dan membagi pesan sembarangan, tanpa mempertimbangkan dampak negatif bagi khalayak penerimanya.
***
Rendra Widyatama, SIP., M.Si., Ph.D, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan