Oleh: Suprihatin*

“Bu-ibu mau tanya kalau perpanjangan SIM di mana yang dekat?”

“Samsat isa kaya e”

*lima menit kemudian*

“Maaf bu, saya luruskan ya biar tidak salah. Kalau SIM adanya di TP, terminal Bratang, dan Kolombo. Kalau Samsat untuk perpanjangan pajak kendaraan. Jadi beda tempat, beda urusan. Trims”.

“Oh maaf bu, saya pikir bisa”

“Biasanya di Bratang ada SIM keliling. Suami saya minggu lalu ke BG Junction perpanjangan SIM ditolak, lalu pindah ke Kolombo. Beres”.

“Giant Waru ada mbak. Saya pernah perpanjangan di sana. Parkiran Giant Waru”

“Giant bukannya wes tutup ya say…”.

“Giant Waru mbak, bukan yang Pondok Candra”.

“Giant Waru masih ada. Satu-satunya yang masih bertahan kaya e”

“Giant Mulyosari masih ada. Sisa yang kecil-kecil aja. Hanya supermarket aja tanpa lemari, baju, sepeda, dll”

***

JawaTengah.Online — Obrolan di atas membuka pagi saya hari itu, sebelum membuka laptop untuk mulai mengajar dari rumah (WfH). Satu percakapan di mana seseorang bertanya di grup WA ibu-ibu perumahan tentang tempat memperpanjang SIM. Ketika ada yang menjawab pertanyaan tersebut dan kurang tepat, seorang lain memverifikasi dengan memberikan jawaban yang lebih akurat. Orang yang disebut belakangan, bekerja di SAMSAT dan sering memberikan informasi terkait kebijakan di SAMSAT yang sedang diberlakukan. Misalnya pengumuman pemutihan pajak.

Jawaban tidak berhenti setelah pertanyaan dijawab dua orang tersebut. Ibu-Ibu yang lain masih terus bergantian memberikan informasi sesuai pengalaman pribadi atau keluarganya, hingga pembicaraan terkadang melebar ke hal-hal lain mulai dari supermarket yang berguguran, urusan dapur dan perbelanjaan, hingga pandemi yang menyebabkan perusahaan-perusahaan raksasa tumbang satu persatu.

WAG yang diberi nama “Mama-Mama TWS” (singkatan dari nama perumahan di Surabaya Timur) ini adalah salah satu contoh medium untuk literasi. Jika terkadang grup WA menjadi ajang penyebaran hoax atau humor-humor bernada seksis sampai porno, maka WAG ibu-ibu ini merupakan salah satu WAG yang produktif. Jika ada anggota yang memposting unggahan yang mengandung hoax, selalu ada anggota grup yang akan segera memverifikasinya. Semacam tumbuh kesadaran bersama (kolektif) bahwa WAG adalah sarana berkumpul secara digital, mencari dan membagikan informasi, memverifikasi informasi tertentu, tanpa harus merasa tersinggung ketika ada yang memverifikasi ketidakbenaran (hoax) dari informasi yang dibagikannya.

Bisa jadi, kesadaran ini tumbuh karena melihat kapasitas orang-orang yang ada di dalamnya. Pada contoh dialog di atas misalnya, yang memverfikasi data tentang lokasi perpanjangan SIM adalah orang yang bekerja di instansi SAMSAT yang notabene memang berurusan dengan isu yang sedang ditanyakan.

WAG ini bukan saja sekadar wadah bersilaturahim warga perumahan terutama di saat pandemi seperti sekarang. WAG berkembang menjadi sarana bertransaksi digital, di mana setiap anggota boleh menawarkan dagangannya dengan pembatasan jumlah foto dan waktu promosi. WAG juga menjadi medium melakukan arisan digital, sarana mencari informasi tentang berbagai hal mulai dari kesehatan, pendidikan, perbankan, dsb.

Hal ini dimungkinkan karena selain menjadi ibu rumah tangga, banyak pula anggota grup yang bekerja sebagai dokter dan tenaga medis, ASN, guru dan dosen, jurnalis, eksportir, dll. Melalui WAG, admin juga dapat dengan mudah berkoordinasi untuk pendataan vaksin lansia, melakukan gerakan sosial berbagi kepada fakir miskin dan anak-anak yatim, atau sekadar berkabar tentang mlijo yang lewat hari itu. WAG ini juga yang memfasilitasi warga dengan cepat mendapatkan air bersih dengan sistem ‘urunan’ saat PDAM Surabaya mengalami kebocoran pipa beberapa minggu sebelum pandemi COVID-19.

Teknologi media baru telah mengubah ekosistem media. Para profesional media konvensional tidak lagi menjadi satu-satunya pembuat konten berita, karena kini orang  memproduksi dan  membagikan konten mereka sendiri. Konten buatan pengguna menciptakan banyak kemungkinan yang mempengaruhi bagaimana orang berhubungan satu sama lain dan membangun makna atau realitas sehari-hari (Gauntlett, 2011). Di mana konten-konten tersebut sudah terseleksi dengan sendirinya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh para pengguna. Suatu kondisi yang berbeda dengan media konvensional, di mana pengguna tidak memiliki kekuasaan untuk memilih informasi yang dibutuhkannya, bahkan seringkali harus menerima konten-konten yang bersifat sampah.

Penulis: Suprihatin adalah dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi Stikosa-AWS Surabaya. Email: meetitien@gmail.com