Berkah gagal di politik praktis, bisa selesai sekolah S-3 dan jadi Rektor “

JAKARTA, JAWATENGAH.ONLINE : Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Prof. Dr. Ma’mun Murod Al Barbasyi, S. Sos, M.Si berpendapat, jika status akreditasi unggul dihapuskan bisa menurunkan mutu pendidikan tinggi, dan akan ketinggalan di level internasional. Resep sukses perguruan tinggi, kurangi konflik internal dan harus transparan soal keuangan. Banyak alumni kebanggaan UMJ, antara lain Dede Yusuf yang saat ini menjadi pimpinan komisi DPR RI.

Demikian diungkapkan Prof.Ma’mun Murod kepada Bambang Sadono dalam wawancara Kanal Youtube ”Inspirasi Untuk Bangsa” dalam serial “Perguruan Tinggi Akreditasi Unggul”. Menurut Rektor kelahiran Brebes 13 Juni 1973, apabila kampus (termasuk UMJ) ingin berjalan dinamis dalam arti yang positif dan mampu mengejar prestasi, maka kedepan harus memiliki dua kunci besar.

Prof. Dr. Ma’mun Murod Al Barbasyi, S. Sos, M.Si saat diwawancarai Bambang Sadono di Kanal Youtube “Inspirasi Untuk Bangsa”

Pertama sebisa mungkin meminimalisir konflik, seperti konflik perebutan jabatan entah itu dekan, rektor, rektor dengan PWM atau Majelis Dikti dan lainnya, terutama konflik internal karena menurutnya faktor inilah yang paling menyebabkan keterlambatan kampus dalam hal meraih prestasi.

Kunci yang kedua yang tidak kalah penting yaitu transparansi keuangan, jadi bagaimana pertanggung jawaban atas keuangan kampus. Meskipun akan ada faktor – faktor turunan yang lain tetapi dua faktor utama inilah menurutnya yang paling berpengaruh selama menjadi rektor selama 3 tahun.

“Jadi kalau ada kampus itu tidak maju-maju, biasanya penyakit besarnya ya dua hal itu, inilah pengalaman saya ketika di UMJ,”. katanya. Berbicara tentang UMJ yang sekarang dipimpinnya Ma’mun mengatakan, dari total 172 kampus atau Universitas Muhammadiyah yang ada di Indonesia, yang terakreditasi unggul baru berjumlah 12 saja dimana 10 berada di Jawa dan 2 di luar pulau Jawa (UMSU & Universitas Muhammadiyah Makassar), dan yang terbaru adalah Universitas Muhammadiyah Magelang.

Untuk UMJ sendiri ternyata menjadi UM pertama yang dimiliki oleh Muhammadiyah, lalu setelah itu baru melahirkan anak UM yang lain diantaranya UM Makassar, UMM Malang & UMS Surakarta dan lainnya. Namun kendati merupakan yang pertama didirikan oleh Muhammadiyah, UMJ malah terlambat meraih status akreditasi unggul.

Lebih lanjut Prof. Ma’mun itu membeberkan pengalamannya menjadi rektor UMJ. Di Universitas Muhammadiyah mekanisme nya agak sedikit berbeda dengan Perguruan Tinggi lain, khusunya dalam hal pemilihan pimpinan Univeritas atau Rektor. Dimana Senat hanya memiliki kewenangan untuk memilih tiga besar calon rektor saja, selanjutnya akan diserahkan ke PP Muhammadiyah.

Malah dalam beberapa kasus PP Muhammadiyah dapat memilih calon rektor diluar tiga kandidat yang sudah diserahkan tersebut, karena memang punya pertimbangan sendiri dalam memilih calon Rektor. Karena sudah mengetahui mekanisme tersebut, dirinya langsung segera melakukan dua hal besar yang sudah disebutkan tadi guna meraih prestasi & akreditasi unggul.

Sebagai rektor UMJ langkah yang dimbil, ia langsung memperbaiki hal-hal yang bisa menimbulkan konflik itu diantaranya melakukan strukturisasi termasuk didalamnya komposisi anggota senat. “Maka kita bikin rasional tidak seperti anggota DPR yang jumlahnya sangat gemuk, kita tekan sedemikian rupa sampai serasional mungkin,” tandasnya.

Cita-cita jadi dosen

Dibagian lain Prof. Dr. Ma’mun Murod menuturkan, karirnya di dunia pendidikan hingga menjadi Rektor UMJ tak lepas dari cita-cita sejak awal kuliah. Bahwa sebenarnya sejak awal dirinya berkuliah S1 sudah memiliki cita-cita menjadi dosen.

Prof.Ma’mun Murod dalam sebuah kegiatan di Jakarta

Maka dari itu secara rasional pasti setelah selesai langsung ambil S2. Tidak butuh waktu lama pasca lulus S1 Prodi KesSos (Kesejahteran Sosial), ia langsung mendaftar S2 di Unair Surabaya dan langsung diterima dimana konsennya terkait tentang kajian Islam dan Politik karena memang keahliannya di bidang politik Islam.

Hal ini cukup dirasa aneh karena berasal dari prodi KesSos tapi malah fokus di politik Islam dan menulis skripsi tentang politik. Ketika S2, Makmun mencoba mengambil studi bahasan tentang pemikiran politik Gus Dur dan Amien Rais. “Alhamdulillah Saya malah mendapat beasiswa penulisan tesis dari toyota foundation dimana penyaringannya hanya 48 proposal dari ratusan proposal yang masuk,” ungkapnya.

Berkat keahliannya dalam menulis thema tersebut, membuat Ma’mun diminta menulis buku untuk penerbit Rajawali Group, dimana sebelum lulus S2 Ia diminta untuk menulis dua buku terkait Masalah Gus Dur dan Amien Rais & Kumpulan tulisan tentang Gus Dur.

Hal itulah yang justru menjadikannya bekal guna mendaftar untuk mengajar di beberapa kampus di Jakarta, diantaranya Universitas Nasional dan UMJ. Tidak berselang lama pasca diterima, dirinya langsung ditetapkan sebagai dosen tetap prodi ilmu politik di UMJ.

Berbekal pengalamannya di politik Ma’mun diajak mendirikan partai yaitu Partai Matahari Bangsa. Kemudian 2019 mencoba nyaleg di partai PAN namun gagal, ia lalu memutuskan untuk fokus saja di kampus. Di kampus sendiri Ma’mun memulai jabatan dari tingkat bawah, dari menjadi dosen bisasa, sekrtaris prodi politik, kaprodi politik, wakil dekan 3, wakil dekan 1 dan menjadi dekan yang menjabat 1 tahun 10 bulan.

Makmun terus berikhtiar dalam meniti karinya di UMJ. Ia kemudian mencoba maju sebagai calon rektor dan akhirnya terpilih menjadi rektor UMJ. Sementara untuk S3nya sendiri mengambil di UI namun baru selesai setelah 10 tahun menempuh studi S2 tepatnya pada tahun 2009.

Politik Perda Syariat

Saat sedang menyelesaiakn studi S3nya, Ma’mun mengambil kegiatan sampingan dengan terjun ke politik dan menjadi pengurus partai Demokrat pada tahun 2010 – 2013. Sayang dia diberhentikan karena sedang adanya kasus korupsi Anas Urbaningrum dan kebetulan dirinya berada dipihaknya. Ia menjelaskan berada di sisi Anas bukanlah tanpa pertimbangan serius, dirinya mengaku ada poin yang tidak tepat yang memebratkan Anas.

Tentu resiko ini sudah Ia perkirakan akan terjadi, namun Ia merasa ada yang mengganjal setelah diberhentikan karena ternyata tidak mendapat SK pemberhentiannya. Namun dirinya malah menganggap pemberhentian ini sebagai hikmah karena justru bisa membuatnya lanjut menyelesaikan studi S3.

Ma’mun pada akhirnya fokus menyelesaikan studi S3nya dengan dibuktikan singkatnya waktu riset dan menulis disertasinya yang diselesaikan hanya 1 setengah tahun saja. Hasilnya pun tidak main-main dimana disertasinya itu berhasil dibukukan dan Ia beri judul ‘‘Politik Perda Syari’at’’.

Menurutnya dipilihnya judul ini karena menganggap keterkaitan yang menarik dengan poin-poin dari Pancasila, dimana dalam pandangannya negara pancasila adalah negara agamis bukan agama yaitu agama menempati posisi yang penting di sistem pemerintahan.

Bentuk negara Indonesia sebagai negara yang menarik diantara bentuk negara lainnya karena selalu berusaha mencoba mencari bentuk tengahan dimana Pancasila merupakan bentuk tengahan dari bentuk sekuler dan negara teokratik. “Wujudnya adalah negara Pancasila, jadi bukan negara sekuler juga negara agama, tapi negara dimana agama menempati posisi yang sangat penting,” jelasnya.

Dikatakan Ma’Mun lebih lanjut, Perda Syariat ini merupakan hal yang menarik dari Pancasila yang mana secara pribadi tidak perlu dipersoalkan lagi karena termasuk produk dari peraturan daerah yang pembahasannya sudah melibatkan bupati atau walikota maupun gubernur dengan DPRD setempat.

Sehingga ketika nantinya telah diputuskan antara kedua kekuatan politik tersebut prosesnya tidak akan ada yang salah, dimana sudah melalui lembaga yang formal bahwa kemudian pejabat dan DPRD terkait sudah memutuskan itu maka akan menjadi pilihan politik.

Jadi bisa dikatakan juga sudah menjadi konsekuensi bahwa DPR itu telah dipilih dimana rakyatnya menghendaki orang tersebut jadi DPR yang berarti menghendaki juga DPR menyusun aturan-aturan yang sesuai dengan kaidah masyarakat tersebut.

“Jadi saya tujuh tahun masuk di UI keluar juga 7 tahun, dengan menghasilkan buku dari hasil disertasi yang berjudul “Perda Syariat,” papar Prof Ma’Mun Murod.

Penulis : Rizky Erlangga, Editor : @bangsar 24