JawaTengah.Online —- Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Undip kembali menyelenggarakan program pengabdian kepada masyarakat bertajuk Penguatan Resiliensi Kesehatan Mental Mahasiswa di Kota Semarang. Hadir dalam sosialisasi adalah Ketua PKM Turnomo Rahardjo, beserta anggota Hapsari Dwiningtyas, Triyono Lukmantoro, Lintang Ratri. Sosialisasi juga dihadiri dosen muda FISIP Undip, yakni Nuriyatul Lailiyah, Wildan Namora dan Muhammad Rif’at.

Kesehatan mental menjadi isu utama karena merujuk pada data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, angka bunuh diri di kalangan remaja menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2022, lebih dari 5.000 kasus bunuh diri dilaporkan, dengan lebih dari 30% di antaranya melibatkan individu berusia 15-24 tahun. Studi yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga menunjukkan bahwa faktor tekanan akademik dan bullying merupakan penyebab utama yang mendorong remaja ke arah tindakan ekstrem ini.

Hal ini selaras dengan teori perkembangan psikososial Erik Erikson menjelaskan bagaimana kepribadian individu berkembang sepanjang hidupnya melalui delapan tahap usia. Di setiap tahap, individu menghadapi konflik psikologis antara kebutuhannya dan kebutuhan masyarakat. Keberhasilan menyelesaikan konflik-konflik ini akan mengarah pada perkembangan kepribadian yang sehat. Usia 12-18 tahun, seseorang akan memasuki tahap identity vs. role confusion (identitas vs kebingungan peran). Sementara di usia dewasa awal 18 -40 tahun, ada di tahap intimacy vs isolation. Mahasiswa ada di peralihan usia ini, di mana ada kebutuhan mencari identitas diri mereka dan kebutuhan untuk diterima, sering kali menjadi tekanan untuk memenuhi harapan. Kegagalan dalam menemukan identitas yang stabil juga penerimaan dapat menyebabkan krisis yang berpotensi berujung pada perilaku bunuh diri.

Kegiatan sosialiasi dilakukan Rabu, 9 Oktober lalu, di Pondok Pesantren Kebangsaan yang dipimpin oleh KH. Muhammad Adnan. Pondok Pesantren yang terletak di Kecamatan Tembalang ini mengakomodasi 30 santri putra dan putri, yang berlatar belakang mahasiswa. Pengasuh Pondok menyatakan jumlah santri memang dibatasi agar bisa lebih intensif berkomunikasi dan mendidik satu per satu, di pesantren, tidak hanya mengaji kitab, tapi juga diajarkan kepemimpinan, kewirausahaan, kepekaan terhadap lingkungan dan tentu saja nasionalisme. Para santri diijinkan mengakses internet dari gagdet pribadi masing-masing karena dianggap sudah dewasa dan bisa mengelola penggunaan media digitalnya.

Namun demikian, pimpinan pondok Pesantren Kebangsaan juga menyadari bahwa lingkungan tumbuh kembal generasi baru berbeda, sehingga menghasilkan kepribadian dan resiliensi individu yang berbeda. Pernyataan ini terbukti dalam survey pra sosialisasi terhadap para peserta, ketika ditanyakan skala kesehatan mental yang dialami saat ini, 26% menyatakan kurang sehat bahkan cenderung tidak sehat. Lebih jauh survey juga menunjukkan bahwa setiap individu memang memiliki kecemasan yang cukup tinggi, terutama untuk masa depan, tuntutan orang tua dan penerimaan di lingkungan.

Mahasiswa sering kali menghadapi tekanan untuk mencapai prestasi akademis yang tinggi. Ekspektasi dari orang tua dan masyarakat dapat menjadi beban yang berat, yang sering kali mengarah pada kecemasan dan depresi. Sementara itu perundungan baik verbal maupun nonverbal, di sekolah maupun di media sosial, telah menjadi salah satu faktor risiko yang signifikan. Remaja yang menjadi korban perundungan cenderung mengalami perasaan terasing dan putus asa. Selain itu ketidakstabilan dalam lingkungan keluarga, seperti perceraian orang tua atau konflik keluarga, dapat berkontribusi terhadap krisis emosional yang dialami remaja. Sayangnya, banyak remaja yang mengalami gangguan mental, seperti depresi dan kecemasan, namun tidak mendapatkan penanganan yang tepat.

Inilah yang menjadikan kegiatan sosialisasi memberikan dua materi pengabdian dari sisi literasi digital disampaikan oleh Dr. Lintang Ratri Rahmiaji dengan tema Gen Z, Fomo dan Literasi Digital. Sementara materi kedua adalah dari sisi psikologi disampaikan Lusi Nur Adhiani, M.Psi dengan tema “Penguatan Kesehatan Mental Remaja”.

Sebagai dosen sekaligus psikolog, Lusi menjelaskan pentingnya the appraisal theory of stress, sebuah teori yang dikembangkan oleh Richard Lazarus. Teori ini berfokus pada bagaimana individu menilai dan menginterpretasikan stres dan pengalaman emosional, yang menekankan bahwa proses penilaian (appraisal) sangat penting dalam menentukan bagaimana seseorang merespons stres. Stres bergantung pada bagaimana individu menilai dan mengatasi situasi yang menantang.

Dalam proses diskusi, hampir semua santri aktif bertanya dan merefleksi apakah sudah cukup resilien dalam menghadapi permasalahan. Di akhir diskusi, peserta diajarkan sugesti diri dan cara menenangkan diri ketika menghadapi masalah.

Fenomena bunuh diri di kalangan remaja di Indonesia merupakan isu kompleks yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Data terbaru menunjukkan bahwa tekanan akademik, bullying, masalah keluarga, dan gangguan mental menjadi faktor signifikan yang perlu diatasi. Dukungan dari orang tua, sekolah, dan masyarakat sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi remaja.