Oleh : Bambang Sadono

Agenda politik terpenting di tahun 2020 ini adalah pemilihan kepala daerah serentak. Hajat akbar ini walaupun hanya akan melibatkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur di 9 provinsi, namun juga akan digelar di 224 kabupaten dan kota yang berada di 32 provinsi. Artinya pilkada serentak ini, kontraksinya tetap akan terasa secara nasional. Di Jawa Tengah akan terjadi di 21 kabupaten/kota.

Ini agenda yang tidak hanya akan mengurasi emosi politik dan sosial, tetapi juga sekaligus dampak ekonomis dan finasialnyanya sangat tinggi. Mengapa hal ini terjadi, antara lain karena berbeda-bedanya persepsi, antara masyarakat yang akan memilih, kandidat yang akan dipilih, dan partai politik yang akan mendukung para calon tersebut.

Masyarakat pemilih tidak hanya punya motivasi tunggal untuk mendapatkan pemimpin daerah yang ideal, berjuang untuk kesejahteraan masyarakat, berbudi pekerti tak tercela, serta bisa menjadi motivator bagi aparat pemerintah maupun warga daerah yang bersangkutan. Ada yang memanfaatkan kesempatan Pilkada untuk kepentingan perseorangan maupun kelompok. Semua calon diharapkan berkomunikasi dengan bersaing satu sama lain dengan menunjukkan nilai lebihnya, termasuk dalam memberikan sumbangan. Sehingga belum sampai menjadi calon resmi saja, seorang kandidat harus sudah mengeluarkan banyak dana untuk bersosialisasi.

Bagi calon sendiri, mengabdi untuk kepentingan masyarakat juga tidak menjadi alasan tunggalnya. Ada juga yang berhitung, antara modal yang akan dikeluarkan, dengan manfaat ekonomis yang diperolehnya, selain tentu saja kehormatan sebagai pejabat nomor satu di daerah. Kewenangan di bidang anggaran, perizinan, pengangkatan pejabat, penerimaan pegawai baru, adalah dampak kekuasaan yang sering dimanfaatkan.


Membeli Tiket

Banyak wacana kontestasi elektoral selalu dimulai dengan pertanyaan berapa biaya yang dibutuhkan. Bahkan pertanyaan yang diajukan pada calon atau kandidat, bukan kesiapan memimpin daerah dengan visi dan programnya, tetapi justru menakar berapa dana yang sudah disiapkan. Ironisnya ini pula yang sering dilakukan oleh partai-partai yang dalam aturan perundnag-undangn diberi kewenangan untuk mengajukan calon.

Dengan berbagai alasan untuk sumbangan ke partai, biaya survei, baiaya kampanye pemenangan, dan sebagainya, intinya calon yang ingin didukung harus menyetor sejumlah dana kepada partai, atau oknum partai. Apalagi bagi partai yang tidak punya calon internal. Sehingga pilkada bukan lagi sarana partai untuk menunjukkan eksistensinya sebagai kekuatan politik, yang melalui kepala daerah akan mewujudkan misinya, tetapi sekadar menjadi alat angkut yang bisa diual belikan, atau setidaknya disewakan.

Tiket pencalonan inilah yang diperjuangkan dan persaingkan secara keras oleh para calon. Sehingga banyak yang rela untuk menyediakan pos dana khusus, yang sering disebut sebagai mahar partai. Selain biaya sosialisasi langsung ke konstituen, juga diperlukan biaya untuk membeli tiket, belum lagi praktek money politic yang sudah mewabah dengan sangat parah di masyarakat saat ini.
Jadi apa yang akan dicari dalam Pilkada seperti ini ? Baik bagi masyarakat yang memilih, partai yang mengusung calon, maupun oleh para kandidat sendiri.


Mimpi Pilkada Ideal

Bukan berarti pilkada ideal tidak ada, setidaknya dalam mimpi. Setelah mengalami Pilkada langsung, bahkan dengan serentak, maka hasilnya sudah mulai bisa dipetakan. Mana kepala daerah yang berprestasi, perilakunya terjaga, komunikasinya baik, dan mana kepala daerah yang ujung karirnya, bahkan ada yang patah di tengah jalan, berada di kasus hukum, dan lembaga pemasyarakatan. Ada juga yang dalam batas-batas yang meragukan, antara penilaian buruk dari publik, namun belum sampai terkena jerat hukum.

Semua itu bisa dirunut rekam jejaknya. Apakah para kepala daerah yang mengakhiri masa jabatannya dengan penuh prestasi dan apresiasi, dimulai saat pencalonannya dengan membayar mahar, melakukan money politic, sehingga menjabat dengan beban finansial relatif berat untuk ditanggungnya. Masyarakat bisa menilai, apakah pilihan langung benar-benar menghasilkan pemimpin amanah, atau sekadar kontes formalitas yang hasilnya tidak pernah jelas.

Seandainya semua stakeholder Pilkada, mempunyai keinginan yang sama, untuk menghasilkan pemimpin yang ideal, momen pemilihan langsung seperti ini tidak akan menjadi mimpi buruk. Masyarakat akan dengan ikhkas dan sungguh-sungguh mencari pemimpin yang akan menjadi cermin kualitas mereka. Partai politik menjalani fungsi idealnya sebagai penjamin kualitas calon yang diusungnya. Kandidat juga punya tekad untuk mengabdi, karena sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Jika demikian, Pilkada akan menjadi momentum sejarah yang bermakna. Bukan sekadar ritual seremonial, yang menghabiskan energi, menguras emosi dengan tanpa hasil berarti, kecuali sekadar formalitas itu sendiri.
Apa yang kaucari Pilkada ?