Saya sudah mewawancarai puluhan narasumber berkaitan dengan Pilkada 2024, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, di Jawa maupun luar Jawa. Mulai dari kandidat, pimpinan partai politik, pengamat, tokoh media, hingga tokoh masyarakat.

Dari serangkaian wawancara tersebut, ada dua hal besar yang membayang-bayangi proses Pilgub, Pilbub, maupun Pilwakot ini.

Pertama, bayang-bayang kuat dari otoritas partai politik untuk menentukan calon. Banyak calon yang merasa gamang karena tidak mudah mendapatkan dukungan parpol, terlebih karena keputusan akhir ditentukan oleh pimpinan pusat masing-masing.

Bayang-bayang lain yang mulai menguat di beberapa wilayah adalah perpanjangan koalisi Pilpres. Dua kubu menguat di mana-mana dengan berbagai variasinya. Ada kubu Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang bisa disederhanakan menjadi Koalisi Prabowo-Jokowi. Ada juga Koalisi Non KIM, seperti Koalisi PDIP dan lain-lain.

Semua partai politik, kelompok kepentingan, atau figur berpengaruh saling adu kekuatan untuk menjadikan Pilkada 2024 sebagai legitimasinya. Di permukaan, yang muncul sebagai parameter umum adalah tingkat elektabilitas, yang diukur melalui survei.

Kedekatan sebagai kader partai, hubungan keluarga, interaksi dalam berbagai aktivitas, dan jasa dalam pemenangan Pilpres menjadi unsur algoritma rekomendasi yang dikejar para calon.

Di balik semua itu, kemampuan finansial menjadi bahan bisik-bisik atau bahkan terang-terangan yang akan menentukan apakah kandidat bisa mendaftar pada bulan Agustus atau tidak.

Semua menunggu perintah partai atau perintah tokoh. Perintah Pak Prabowo, Pak Jokowi, dan Bu Mega adalah titah yang paling banyak ditunggu dan diperhitungkan.

Sepintas, yang terasa di lapangan adalah manifestasi pengaruh para King Maker, yang sangat berkepentingan dengan Pilkada 2024, baik demi penguatan pengaruh politik, kekuasaan, maupun gengsi perseorangan atau kelompok.

Munculnya dominasi Khofifah-Emil Dardak di Jawa Timur adalah salah satu potret adu pengaruh antar kekuatan politik dan para tokoh tersebut.

Di Jawa Tengah, munculnya Kapolda Ahmad Lutfi yang dispekulasikan sebagai kandidat yang diendorse Presiden Jokowi membuat peta kompetisi Pilgub menjadi goncang. Partai-partai dengan dukungan kursi besar di DPRD provinsi seperti mati langkah.

Tarik ulur dan strategi penentuan calon Gubernur Jakarta dan Sumatera Utara adalah bagian dari bayang-bayang besar yang sedang beradu di balik skenario Pilkada 2024 ini.

Sementara, persaingan menuju November 2024 ini diwarnai cukup kuat oleh dua kepentingan besar, arus pendukung pemenang Pilpres dan mereka yang ingin melawannya.

Jangan-jangan perjuangan untuk menunjukkan siapa yang lebih hebat menjadi lebih prestisius dalam kemenangan Pilkada daripada Pilpres 2024.