Oleh Bambang Sadono

MENJELANG “dead line” pendaftaran calon Pilkada 2024, 27 Agustus, dinamikanya makin cepat dan keras. Pemilihan Gubernur Jakarta, misalnya eskalasinya mengkacaubalaukan kalkulasi politik yang normal.

Para pengamat politik, biasanya menghitung perkiraan calon yang potensial menang terutama dari survei dukungan publik. Baru kemudian dilihat dari dukungan politik sebagai persyaratan pencalonan. Kemudian dukungan logistik sebagai penyempurna faktor yang berpengaruh pada kemenangan.

Namun untuk kasus Jakarta, hasil dari banyak lembaga survei yang menempatkan Anies Baswedan (AB) di atas angin, disusul Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), ternyata di lapangan prakteknya berbeda. Ridwan Kamil (RK) yang dalam survei ada di bawah AB dan Ahok, justru mendapat posisi unggulan, karena para pesaingnya gagal mendapatkan dukungan politik untuk menjadi kandidat.

Menarik, kasus AB yang berpotensi tidak mendapatkan kendaraan untuk menjadi calon. Ironisnya PKS sebagai pemenang Pileg dengan 18 kursi gagal mengusung. Tidak berhasil mencari koalisi, walaupun hanya membutuhkan 4 kursi tambahan, sebagai syarat minimal mencalonkan.

Walaupun merupakan anomali politik, calon tunggal memang bisa dan sudah pernah terjadi. Melawan praktek kotak kosong, selain di Jakarta bisa terjadi di Banten, Sulawesi Selatan, dan tempat yang lain. PDI Perjuangan di Jawa Tengah, bahkan menargetkan agar kadernya di beberapa daerah bisa tanpa rival, alias melawan kotak kosong.

Mengapa kasus Jakarta menarik, tidak hanya karena RK bukan calon unggulan, tetapi proses rekayasanya agar menjadi calon kuat, bahkan satu-satunya calon, terkesan dramatis. Terjadi pergerakan massif, untuk sebuah koalisi besar yang diberi nama Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM-Plus).

Gelombang Besar

Adakah pengaruh dari peta Pilgub Jakarta ini ke wilayah lain di Indonesia. Penulis di Kompas, Senin 1 Juli 2024 (Kompetisi Dua Kubu dalam Pilkada 2024) masih menyebut kompetisi akan mengerucut pada kubu Koalisi Pemenang Pilpres-Plus dan Koalisi PDI Plus. Mengerucut ke dua kubu makin menjadi kenyataan, namun agaknya koalisi KIM-Plus sedemikian rupa, sehingga koalisi PDIP kehilangan plus-nya.

Kasus Jakarta merupakan model yang cukup unik untuk menuju dua kubu, atau jika PDIP tidak punya golden tiket, bisa jadi akan muncul calon tunggal. AB yang pada saat Pilpres diusung oleh PKS, Nasdem, dan PKB, pelan tapi pasti akan ditinggalkan ketiganya, dengan alasan beragam. Walaupun PDIP berjanji tak akan membiarkan calon koalisi besar KIM menghadapi kotak kosong, namun menunaikannya tidak mudah.

Salah satu godaan terbesar dari partai di luar KIM untuk bergabung dengan PDIP, adalah kesempatan yang lebih besar untuk ambil bagian dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Makin mendekati tanggal pelantikan presiden baru, 20 Oktober 2024, terlihat jelas ketiga partai pengusung AB saat Pilpres, akan merapat ke koalisi pemerintah.

Mundurnya Airlangga Hartarto sebagai ketua umum DPP Partai Golkar, “by design” atau tidak, langsung atau tidak, pasti akan berpengaruh pada hadirnya gelombang besar hadirnya dua kubu, dengan meninggalkan PDIP dengan segala variasinya. KIM-plus akan semakin merapikan diri, agar semakin solid. Di beberapa daerah yang Partai Golkar agak berbeda, pemimpin baru kemungkinan besar akan meluruskannya.

Di banyak daerah, memang masih ada beberapa variasi. Koalisi besar di Pilgub Jatim, masih memungkinkan PKB dan PDIP berkoalisi untuk mengusung calon yang menantang jago KIM plus, Khofifah-Emil Dardak. Di Jawa Tengah PDIP leluasa untuk mengusung calonnya sendiri. Tinggal PKB akan bergabung ke mana.

Nada-nada nya, gelombang besar yang sudah menyapu Golkar dan menenggelamkan AB, bukan tidak mungkin akan melanda ke daerah lain. Entah siapa yang akan jadi korban, atau dikorbankan.

Pengaruh pada Pilkada

Apa pengaruh pola Pilkada Jakarta ditambah dengan bergantinya pimpinan puncak Partai Golkar. Ada yang mengatakan tidak akan berpengaruh pada keputusan mengenai calon yang sudah diumumkan. Namun bagi yang pesimis selalu berpedoman, sebelum ada janur melengkung, pasangan pengantin (baca calon Pilkada) masih bisa berubah.

Betapa menarik manuver PKB yang mengatakan akan mendukung AB di Pilgub Jakarta, namun tidak sepakat kalau calon wakilnya langsung diputuskan sendiri oleh PKS. Tak kalah unik, Partai Nasdem yang mengatakan kalau di Jakarta, AB tidak ada yang bisa mengalahkan. Anehnya Nasdem juga tak kunjung memutuskan untuk mendukung. Paling menawan akrobatik PKS yang menyatakan tenggang waktu AB untuk mencari dukungan partai yang bisa menggenapi syarat minimal pencalonan sudah lewat.

Dari manuver PKB, Nasdem, dan PKS tersebut bisa disimpulkan tidak akan mendukung Anies. Namun yang jauh lebih penting keputusan tersebut diambil oleh pengurus pusat partai, yang tidak hanya berhak mengatur kebijakan politik di Jakarta. DPP masing masing partai itu juga yang mempunyai otoritas untuk membuat merah, hijau, kuningnya peta Pilkada di seluruh Indonesia.

Potongan peta-peta kecilnya bisa dicermati. Partai Golkar harus mengubah kebijakan membawa RK Jakarta, meninggalkan lahan suburnya di Jawa Barat. Ibarat hamparan padi yang tinggal panen harus ditinggalkan, demi kesepakatan lain yang lebih besar, atau kepentingan lain yang lebih besar.

Di Sumatera Utara Golkar juga harus merelakan kader terbaiknya, ketua partai dan mantan wakil gubernur Musa Rajekshah untuk menepi dari pencalonan. Di Banten, mantan walikota Tangerang Selatan, Airin kelihatannya juga mengalami nasib serupa. Padahal keduanya sudah dipersiapkan dan mempersiapkan diri bertahun tahun.

Di Jawa Tengah, Partai Gerindra harus mengalah. Ketua partai provinsi Sudaryono harus meninggalkan mimpinya menjadi gubernur, sebagai gantinya sementara mendapat pos wakil menteri.

Kalau Golkar dan Gerindra saja yang merupakan kekuatan utama KIM di sana sini harus mengalah, apakah hal yang sama juga akan terjadi pada “new kids on the block”, seperti PKB, Nasdem, maupun PKS.

Peta Politik ke Depan

Bagaimana cara menjelaskan polarisasi Pilkada secara nasional, dilihat dari dampak kasus Pilkada Jakarta. Kalau spekulasi akan terjadi dua pola besar, KIM Plus di satu sisi dan PDIP di sisi yang lain, bukan tidak mungkin ini cerminan pola dan peta politik ke depan, paska pelantikan presiden dan wakil presiden baru.

Sampai saat ini, publik menangkap bahwa kemungkin PDIP bergabung pada pemerintahan baru semakin menipis. Bahkan berbagai serangan terbuka sering dialamatkan pada pemerintahan Jokowi-Maruf Amin yang akan diteruskan oleh Prabowo-Gibran. Masuk akal, kalau kekuatan dan kepentingan yang berkait dengan lancarnya pemerintahan ke depan juga mulai menata figur yang akan memimpin daerah sejak awal.

Dimulai dari momentum PIlkada 2024. Bukan hanya soal pemenangan calonnya. Tetapi juga sejak penentuan dan seleksi siapa yang dianggap layak untuk menjadi calon, dan berpotensi besar memimpin daerahnya masing-masing.

Partai-partai mulai bersiap untuk menyelenggarakan even nasionalnya yang strategis, Partai Nasdem sudah menyatakan akan mengundang presiden Jokowi untuk membuka dan Presiden terpilih Prabowo untuk menutup.

PKB sudah siap juga dengan muktamar, dan Prabowo sudah menyatakan siap hadir.

Gongnya gempa besar di Golkar. Kalau tidak ada yang dikejar mengapa harus buru-buru. Golkar sudah menetapkan agenda Munas Desember 2024. Kalau tidak ada urgensinya, kenapa Agustus sudah harus ada perubahan.

Pencalonan Pilkada, tampaknya akan menjadi ajang kepiawaian para “King Maker“.

Penulis Pemandu Kanal Inspirasi untuk Bangsa, mantan anggota DPR dan DP RI.

Dikutip Dari Suara Merdeka (12 Agustus 2023)