
CATATAN HUKUM AKTUAL
Oleh Bambang Sadono
JawaTengah.Online — Djoko Tjandra ditangkap. Kisah terpidana korupsi Bank Bali yang terjadi sejak tahun 1999 ini bagaikan drama, berbabak-babak. Babak pertama setidaknya ketika terpidana korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali ini melarikan diri setelah kasusnya punya kekuatan hukum tetap, dan dia harus dieksekusi untuk menjalani pidana. Kabur ke luar negeri, yang akhirnya menetap di negara tetangga Papua Nugini, pasti tidak mudah, dan merupakan drama tersendiri.
Babak pertama, harus keluar dari Indonesia, melalui pintu pintu imigrasi. Kemungkinan harus berkejaran dengan waktu, agar kepergiannya tidak terendus oleh jajaran Kejaksaan Republik Indonesia, yang secara hukum memang bertugas dan berwenang untuk melaksanakan eksekusi. Pasti ada drama untuk memperoleh informasi kunci mengenai putusan Mahkamah Agung, sampai kapan harus lari, ke mana, dan lewat mana. Sejumlah bantuan pasti dibutuhkan, dan bagaimana cara mengaturnya. Jajaran penegak hukum Indonesia pasti juga berdrama sendiri, dengan merasa kecolongan, dan bertekad untuk menangkap, dan mengirim Djoko Tjandra ke penjara Indonesia.
Babak kedua, ketika secara terang benderang, mantan Direktur PT Era Giat Prima (EGP) tersebut sudah berada di Papua Nugini, bahkan menyatakan pindah kewarganegaraannya. Drama terjadi, karena di Port Moresby, Indonesia juga mempunyai perwakilan diplomatik, ada kedutaan besar yang seharusnya mengurus buronan kelas elite, yang secara politis menjadi perhatian publik itu. Sementara tim pemburu buronan, untuk kasus korupsi yang disebut sebagai extra ordinary tersebut selalu mencitrakan bekerja mati matian untuk menangkap kembali pemilik banyak propeti papan atas di Indonesia tersebut. Bertahun tahun, drama tersebut berlangsung namun sepi dari penonton tanah air. Dan semua seakan tenang tenang saja dan tidak ada masalah. Djoko Tajandra terus mementaskan dramanya, dan menjalani babak-babak selanjutnya.
Babak ketiga ketiga dibuka dengan adegan yang sangat fantastis, sehingga membuat publik tercengang, kagum, bingung, marah, dan bahkan miris. Setelah melarikan diri sejak tahun 2009 Djoko Tjandra, berhasil kembali masuk ke Indonesia antara 2019 atau setidaknya 2020. Bahkan diduga beberapa kali keluar masuk ke negeri ini dengan aman aman saja. Bahkan ada dugaan dikawal oleh oknum jenderal polisi.
Publik pasti kagum akan kecerdasasan dan kegigihkan Djoko Tjandra, untuk mengurus haknya menuntut keadilan. Dimulai pada 8 Juni 2020, ke Jakarta untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bahkan sempat mengurus KTP yang sekian tahun mati di Kelurahan Grogol. Dan berhasil membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Walaupun sudah sekian lama mengaku sebagai warga negara Papu Nugini. Yang membuat publik bingung, karena semuanya seperti berjalan mulus. Walaupun kemudian ada informasi yang bocor, bahwa semua tahapan itu tentu ada “harga”nya.
Kemudian yang membuat publik marah karena merasa begitu mudahnya lembaga negara, bahkan penegak hukum begitu mudahnya dikelabui. Atau begitu mudahnya membantu dengan mengelabui dirinya sendiri. Yang mungkin membuat miris adalah pengaruh kasus ini terhadap harapan kepada hukum sebagai banteng terakhir penegakan keadilan. Kalau bentengnya begitu rapuh, bagaimana kemampuannya menjaga keadilan yang menjadi primadona negara hukum, yang menjadi mimpi seluruh bangsa.
Dari tahun 2009 sampai dengan 2020 atau setidaknya 2019, sebenarnya ada babak sunyi yang tak kalah dramatis. Ketika sejumlah nama yang terkait kasus yang sama seperti Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil Kepala BPPN), dan lain lain harus menjalani proses hukum, bahkan sempat dipenjara, Djoko Tjandra bahkan dengan nyaman membangun kerajaan bisnisnya di Malaysia. Dari Kualalumpurlah bisnis raksasa Djoko Tandra, termasuk yang di Indonesia dikendalikan. Apakah babak yang tak kalah dramatis di Malaysia ini tidak terendus baik oleh perwakilan diplomatik kita, atau bahkan juga oleh lembaga hukum maupun intelejen Indonesia. Atau boleh kalau publik menduga mungkin ada yang sengaja tutup mata.
Babak berikutnya adalah babak hiruk pikuk, yang seperti pertandingan bola tanpa pola. Tidak jelas mana kawan dan mana lawan. Korban berjatuhan, ada yang kena kartu kuning, bahkan kartu merah. Lurah Grogol dianggap salah dalam proses pemberian KTP kepada Djoko Tjandra dan Gubernur Anis Baswedan mencopotnya sebagai Lurah. Setidaknya tiga jenderal polisi dihentikan dari jabatannya, bahkan diproses secara pidana. Ada dugaan terkait dengan pencabutan status cekal Djoko Tjandra. Pejabat kejaksaan juga diperiksa Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan Agung, diduga terkait poses peninjauan kembali. Dan pengacara Djoko Tjandra juga ditetapkan jadi tersangka. Para pakar hukum dan anggota legislatif berteriak keras, menuntut hukum ditegakkan, dan meminta presiden Joko Widodo turun tangan.
Media berminggu minggu menjadikan drama banyak babak ini sebagai topik bahasan. Yang tak kalah menarik, tabir drama yang dramatis ini terbuka, bukan karena kegagahperkasaan seorang penegak hukum atau aparat pemerintah yang memang harus menjaga tegaknya hukum dan marwah negara. Tetapi oleh seorang detektif partikelir yang berdedikasi dan agak nekad, Boyamin Saiman, koordinator Masyarakat Anti Korupasi Indonesia (MAKI). Bahkan ada kesan banyak lembaga negara dan lembaga pemerintah yang sibuk melindungi nama baik lembaga maupun pejabatnya, sehingga kemudian bisa mengesankan justru seperti membela kepentingan Djoko Tjandra.
Setelah Djoko Tjandra tertangkap, drama berseri ini seakan akan menghadapi babak baru. Siapa yang akan memainkan peran, dan jadi aktor utama dalam babak ini. Siapa yang menyusun skenario dan siapa yang akan bertindak sebagai sutradaranya. Dan yang jauh lebih penting, penonton pasti menunggu dengan harap harap cemas mengani akhir cerita ini. Apakah akan berakhir dengan happy ending, akhir yang menghadirkan pesan siapa yang salah harus menanggung resikonya. Atau bahkan akhir cerita yang menggantung.
Salah satu skenario yang mungkin akan dimainkan adalah pernyataan Menko Polhukam Prof. Mahfud MD. Ia mengatakan bahwa Djoko Tjandra masih berhak mengajukan peninjauan kembali kasusnya. Kemungkinan ada dua, tidak dikabulkan sehingga tetap harus menjalani pidana, atau dikabulkan berarti terbebas untuk menjalani hukum.
Mungkin ada skenario lain yang bisa diprediksikan, apakah selain kasusnya yang sudah berkekuatan hukum tetap ,Djoko Tjandra juga harus menghadapi peradilan kasus baru. Mulai dari pelarian dirinya, pindah kewarganegaraan, keluar masuk Indonesia tanpa dokumen yang sah, juga kalau mungkin bisa dibuktikan rangkaian pemberian gratifikasi atau suap kepada banyak aparat negara yang telah memfasilitasinya.
Karena babaknya belum dimainkan, bahkan skenario juga belum jelas, termasuk siapa akan menjadi sutradaranya, kita harus sabar menunggu untuk bisa menontonnya babak selanjutnya. Itupun terbatas apa yang akan disuguhkan di atas panggung. Drama yang mungkin lebih seru di balik layar, tentu hanya para pelakon sendiri yang akan mengetahui apa yang akan dan mana yang tidak akan dimainkan di atas panggung.
Dunia ini memang panggung sandiwara. Masing masing kita punya perannya sendiri. Akan mengambil peran sebagai apa, dan bagaimana cara memainkannya. Apapun peran kita, dan bagaimana pun cara kita memainkannya, sejarah akan mencatatnya, dan anak cucu akan membaca, menonton, dan memaknainya kelak. Tetapi ini tentu hanya untuk mereka, yang menyadari bahwa hidup ini memang sedang menyusun sejarah masing masing.
31 Juli 2020